Konten Media Partner

Jawa di Suriname: Mengapa Dawet, Soto, dan Pecel Sangat Populer di Suriname?

8 Agustus 2023 9:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jawa di Suriname: Mengapa Dawet, Soto, dan Pecel Sangat Populer di Suriname?
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Saoenah (kadang tertulis Saoena) di Paramaribo, Suriname, punya nama lain: Pasar Jawa.
Sesuai namanya, setiap hari Minggu pasar itu menjadi wadah pertemuan bagi orang-orang Jawa yang tinggal di Paramaribo dan sekitarnya.
Selain sebagai tempat jual beli dan wadah temu kangen, Pasar Saoenah adalah cermin perkembangan kebudayaan Jawa. Pada satu sisi kuliner asal Jawa semakin populer, sedangkan di sisi lain bahasa Jawa lambat-laun memudar, terutama di kalangan anak-anak muda.
Saya datang ke Pasar Saoenah saat hari masih pagi.
Pasar yang penampakannya mirip dengan pasar-pasar tradisional di Indonesia -- lengkap dengan los beratap seng -- ramai dengan orang-orang yang menyiapkan barang dagangan mereka di atas meja-meja kayu yang ditata rapi.
Selagi melangkah, saya mendengar alunan lagu-lagu pop Jawa dari penyanyi kondang almarhum Didi Kempot. Dipadu dengan aroma makanan, kesan bahwa Pasar Saoenah adalah sepetak bumi Jawa tak terelakkan. Padahal, secara geografis, pasar ini letaknya sekitar 18.000 kilometer dari Pulau Jawa di Indonesia.
Saat matahari beranjak tinggi, makin banyak pengunjung yang datang dari berbagai kota serta dari beberapa negara lain seperti Kanada dan Belanda. Sebagian besar adalah orang-orang yang masih punya kerabat di Suriname.
Para pengunjung mencari makanan Jawa seperti nasi goreng (di Suriname lebih sering disebut sebagai nasi saja, tanpa embel-embel goreng), mi goreng (bami), pecel (petjel), oseng kacang panjang, babat goreng, kering kentang, sate ayam, soto ayam (sebutan populernya adalah saotoajam), ayam goreng, ayam bakar, dan aneka sambal.
Saoto bisa dikatakan ikonik. Terkenal di mana-mana. Hidangan ini terdiri dari kuah kaldu ayam, suwir daging ayam, taoge, bihun, bawang goreng, dan telur rebus. Sangat mirip soto ayam, namun dengan kuah yang lebih bening.
Jika mengincar kudapan, ada dadar gulung, kacang telur, kacang bawang, rempeyek, dan aneka keripik. Haus? Jangan khawatir, ada es cendol yang di Suriname lebih dikenal dengan dawet.
"Senang saya berjualan di sini. Saya berjualan nasi, bami, babat, sayap ayam goreng, saoto," kata Eijke, warga Paramaribo, kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.
Bersama suaminya, Eijke sudah 10 tahun berjualan di Pasar Saoenah.
Tidak jauh dari lapak Eijke, ada Marijke dan anaknya Gary yang berjualan sambal, kerupuk, rempeyek, dan keripik.
"Aku wis suwe dodolan neng kene... (saya sudah lama berjualan di sini)," kata Marijke dengan bahasa Jawa ngoko.
Ngoko adalah tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa yang dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, dengan orang yang lebih rendah kedudukannya, atau dengan orang yang lebih muda.
Sebagian besar orang Jawa di Suriname menggunakan bahasa Jawa ngoko.
"Meski harga barang-barang di sini naik, jualan saya [tetap] laris," sambungnya. Meja dagangannya penuh dengan kacang dan aneka jenis keripik yang dibungkus kantong plastik. Percakapan terhenti oleh pengunjung yang membeli keripik singkong.
Di belakangnya, anak-anaknya yang lain berjualan lumpia, dadar gulung, oseng kacang panjang, nasi goreng, mi goreng, dan pecel.
Di sebelahnya, Gary sibuk menuang pecahan es batu ke kotak plastik berwarna biru muda berisi cendol. "Dawet, mas. Dawet pandan," kata Gary.
Di antara para pembeli dawet atau cendol, ada Satish, yang datang bersama istrinya.
"Segar, manis, enak ... rasanya berbeda dengan minuman lain. Di komunitas kami tidak ada minuman seperti ini. Makanan di komunitas Jawa rasanya lezat. Dawet ini adalah salah satu favorit kami," ujar Satish.
"Selain dawet, kami juga sering membeli telo (ketela) dan pisang goreng. Juga sate ayam," katanya.
Satish dan istrinya adalah pengunjung tetap Pasar Saoenah. Tentu saja ada pengunjung baru, seperti Shakirah dan Ezra.
Shakira yang belum lama ini tinggal di Paramaribo diberi tahu kawan-kawannya soal makanan Jawa yang dikatakan legendaris.
Pada hari Minggu tersebut ia mengajak kawannya dari Belanda, Ezra.
"Teman-teman mengatakan makanan Jawa spektakuler. Saya baru beberapa kali ke sini dan hari ini saya ingin lagi mencicipi makanan Jawa. Saya mau membeli dadar gulung," kata Shakira.
Di pasar ini, dadar gulung memang banyak dicari. Sepertinya orang suka dengan paduan dadar tepung, parutan kelapa dan gula jawa.
Ezra mengatakan rasa ingin tahu mendorongnya ke pasar ini. "Baunya menggoda," kata Ezra.
Tak lama kemudian Shakira dan Ezra mencari tempat yang nyaman di salah satu sudut pasar. Di tangan mereka ada beberapa bungkusan makanan. Mereka membeli nasi goreng, mi goreng, kering tempe, sate ayam, dadar gulung, sambal, dan es cendol.
"Saya sangat suka ... ada rasa pedas, asin, manis. Spektakuler. Teksturnya juga beragam. Sungguh enak," kata Shakira.
Ezra sementara itu menikmati lumpia dan sate ayam. "Lumpianya enak. Isi sayurnya segar. Saya juga suka dengan es cendol," kata Ezra.
Soedi, yang sudah berjualan makanan selama 20 tahun, mengatakan cita rasa makanan Jawa sangat khas, dengan bumbu yang intens, membuat banyak orang suka.
"Pelanggan saya tidak hanya dari Suriname, tetapi juga negara lain seperti Belanda. Mereka sering memborong makanan di sini," kata Soedi.
Pasar jadi tempat mengikat kekeluargaan
Pasar Saoneh tak hanya menyediakan aneka makanan Jawa. Pasar ini juga adalah titik pertemuan keluarga dan kerabat lintas negara, terutama bagi mereka yang tinggal di Belanda, seperti Edgar Moekiran dan Rubinem.
"Saya masih punya banyak famili dan kawan di sini," kata Edgar. Baginya Pasar Saoenah adalah tempat pertemuan ideal: bertemu kerabat dan kawan sambil menikmati aneka makanan Jawa.
Rubinem kali ini datang ke Paramaribo untuk merayakan ulang tahun sang kakak, Legiman.
Legiman bersama anak-anaknya berjualan sayur mayur dan buah di Pasar Saoenah.
Ribuan orang Jawa pindah ke Belanda setelah Suriname merdeka pada 1975. Kepindahan orang-orang Jawa ini dilatari kekhawatiran bahwa lepasnya Suriname dari Belanda akan memicu kerusuhan sosial.
Pasar Saoenah juga adalah titik pertemuan lintas generasi. Ada banyak keturunan ketiga dan keempat orang-orang Jawa yang dulu dibawa oleh Belanda. Mereka disatukan oleh elemen budaya bernama kuliner.
Bedanya, generasi ketiga kebanyakan masih fasih berbahasa Jawa ngoko, sementara anak-anak mereka lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan bahasa sehari-hari di Suriname, Sranan Tongo.
Rata-rata mereka paham dengan ujaran bahasa Jawa tetapi kesulitan saat berbicara menggunakan bahasa ini.
Memang, makanan dan bahasa Jawa bernasib berbeda di Suriname. Yang satu sangat populer, sedangkan yang lainnya makin sedikit dipakai oleh anak-anak muda.
"Satu-satunya ekspresi atau tradisi budaya yang terus berkembang dan memberi pengaruh adalah kuliner," kata Rosemarijn Hoefte, peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, Belanda, dalam perbincangan dengan Mohamad Susilo.
"Banyak restoran dan warung [di Suriname]. Setiap pesta, apakah oleh orang Jawa maupun non-Jawa, menyediakan makanan Jawa. Kuliner Jawa hidup dan terus berkembang," kata Hoefte yang juga adalah guru besar sejarah Suriname di Universitas Amsterdam.
Makanan adalah satu-satunya elemen warisan budaya Jawa yang masih terjaga hingga sekarang di Suriname, kata Hoefte.
Ia menjelaskan secara umum, makanan-makanan Jawa tidak berubah, meski ada penyesuaian-penyesuaian kecil, ditandai dengan penggunaan bumbu dan bahan-bahan lokal. Misalnya soto, yang di Suriname dikenal dengan saoto. Kuahnya lebih bening.
Kemudian sambal. Sambal Jawa ala Suriname menggunakan cabai yang dikenal dengan Madame Jeanette dan Adjuma, yang rasanya jauh lebih pedas, dari sambal di Jawa, yang biasanya menggunakan cabai merah, cabai hijau, atau cabai rawit.
Makanan Jawa sangat populer dan sudah diadopsi oleh komunitas-komunitas non-Jawa di Suriname, seperti Afro-Suriname dan Indo-Suriname. Ketika mereka menyelenggarakan acara, menu seperti nasi dan mi goreng sering kali disajikan.
Lestarinya makanan Jawa antara lain didorong oleh kondisi saat orang-orang Jawa datang ke Suriname mulai 1890. Hoefte menuturkan orang-orang Jawa secara geografis terisolasi dari etnik-etnik lain yang telah dulu tiba.
Mereka hidup di perkebunan dan meski ada pekerja dari etnik lain, misalnya orang-orang dari India atau Afrika, ada pemisahan berdasarkan etnisitas di perkebunan-perkebunan besar.
"Ini membuat orang-orang Jawa bisa mempertahankan tradisi [karena tidak terpengaruh oleh tradisi dari etnik-etnik lain]," jelas Hoefte.
Kehidupan yang terisolasi dan juga rasa ingin mulih Njowo (kembali ke Jawa) membuat ekspresi budaya - antara lain kuliner - menjadi pelarian.
Dan hingga generasi-generasi berikutnya, makanan Jawa terwariskan hingga sekarang.
Keberadaannya lestari dan sudah diterima oleh kelompok-kelompok etnik lain di Suriname, seperti yang juga terlihat di Pasar Saoenah.
Selain Pasar Saoenah, masih ada satu tempat di Paramaribo yang juga dikenal sebagai pusat makanan Jawa. Letaknya di Blauwgrond, sekitar setengah jam dengan mobil dari pusat kota.
Di tempat ini, di kanan kiri jalan terdapat banyak restoran yang menyediakan makanan Jawa. Seperti di Pasar Saoenah, pengunjungnya beragam, tak hanya orang Jawa.
Blauwgrond, Pasar Saoenah, dan warung-warung yang mudah ditemukan di Paramaribo -- baik yang permanen maupun yang dijajakan dengan kendaraan di pinggir jalan -- menjadi saksi jayanya makanan Jawa di Suriname.