Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kemenangan Erdogan Menyisakan Polarisasi di Masyarakat Turki
29 Mei 2023 12:00 WIB
·
waktu baca 5 menitPara pendukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengadakan selebrasi sampai larut malam setelah sang presiden – yang sudah menjabat 15 tahun lamanya – dipastikan akan menjabat lima tahun lagi.
“Keseluruhan negara dengan 85 juta penduduk telah menang,” kata Erdogan kepada para hadirin yang bersorak sorai di depan istana negara di Ankara.
Namun, upaya dia untuk menyerukan persatuan terasa hampa ketika dia mulai menjelek-jelekan lawannya, Kemal Kilicdaroglu.
Ia juga meyindir pemimpin Suku Kurdi yang berada di tahanan dan kebijakan-kebijakan pro-LGBT.
Lawan Erdogan dalam ajang pemilihan presiden itu sejauh ini tidak menerima kekalahannya.
Kilicdaroglu menyebutnya “pemilihan yang paling curang dalam beberapa tahun terakhir“.
Ia mengeklaim bahwa partai politik sang presiden menggerakan segala sumber daya pemerintah agar dapat mengalahkannya.
Seberapa besar cakupan suara yang diraih Erdogan?
Presiden Erdogan berhasil meraih kemenangan dengan jumlah suara hanya sekitar 52% berdasarkan hasil perhitungan suara resmi yang belum lengkap.
Sebab, hampir separuh pemilih di negara yang sangat terbelah itu tidak mendukung visi otoriter Erdogan untuk Turki.
Pada akhirnya, Kilicdaroglu tak mampu mengalahkan kampanye Erdogan yang terstruktur.
Meskipun ia berhasil melawan presiden sampai masuk ronde kedua untuk pertama kali sejak jabatan itu digelar secara langsung pada 2014.
Tetapi, ia hampir sama sekali tidak merusak keunggulan Erdogan pada putaran pertama. Dengan pungutan suara menunjukkan Kilicdarogul tertinggal dua juta suara dengan sang presiden.
Erdogan merayakan kemenangannya dengan gegap gempita. Ia berpidato di hadapan para pendukungnya di atas bus di kota terbesar Turki, Istanbul.
Kemudian, saat matahari terbenam, ia menyapa kerumunan yang terdiri dari 320.000 orang dari atas balkonnya di istana negara
“Bukan hanya kami yang menang, Turki menang,” ungkap Erdogan. Ia menyebutnya sebagai salah satu pemilu terpenting dalam sejarah Turki.
Ia mengolok-olok kekalahan lawan politiknya dengan mengatakan “Bye, bye, bye, Kemal”. Perkataannya kemudian diadaptasi menjadi seruan oleh para pendukungnya di Ankara.
Erdogan mengkritik keputusan partai oposisi untuk menambah jumlah anggota dalam pemungutan suara parlemen dua minggu sebelumnya.
Jumlah sebenarnya turun menjadi 129, sambungnya, karena partai tersebut telah menyerahkan puluhan kursi kepada sekutunya.
Ia juga mengutuk pihak oposisi karena kebijakan-kebijakan mereka yang mendukung kaum LGBT.
Menurut Erdogan, hal itu berseberangan dengan fokus kampanyenya yang mengangkat keluarga.
Walaupun hasil perhitungan suara final belum terkonfirmasi, Dewan Pemilihan Agung mengatakan sudah tidak bisa diragukan lagi siapa yang akan menang.
Baca juga:
Perayaan besar di pusat kota di tengah inflasi yang melonjak
Memang tidak biasa bagi istana negara Turki untuk membuka lahannya kepada publik, namun sama halnya dengan hasil pemilihan umum ini.
Masa kepemimpinan Erdogan akan berlanjut hingga menjadi seperempat dari satu abad.
Para pendukung datang dari seluruh penghujung Ankara untuk merayakan kemenangan itu. Terdengar seruan-seruan bahasa Arab dan beberapa menaruh bendera Turki di rumput sebagai alas untuk shalat.
Untuk satu malam itu saja, krisis ekonomi Turki dilupakan. Seorang pendukung Erdogan, Seyhan, mengatakan itu hanya sebuah kebohongan:
”Tidak ada yang kelaparan. Kami semua sangat senang dengan kebijakan-kebijakan ekonomi dia. Ia akan melakukan lebih baik lagi dalam lima tahun ke depan,” katanya.
Namun, sang presiden mengakui bahwa menangani inflasi merupakan isu paling penting bagi Turki.
Tetapi masih dipertanyakan apakah ia mampu mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah itu. Tingkat inflasi yang mencapai 44% dan sudah merambat masuk ke dalam segala aspek kehidupan penduduk Turki.
Harga bahan makanan, sewa rumah, dan kebutuhan sehari-hari telah melonjak.
Keadaan menjadi semakin buruk akibat enggannya Erdogan dalam mengamati kebijakan ekonomi umum dan menaikkan suku bunga.
Mata uang Turki, yakni Lira, telah mencapai rekor terendah dibandingkan dolar AS dan bank sentral kesulitan dalam memenuhi permintaan masa uang asing yang meningkat.
”Jika mereka terus berlanjut dengan suku bunga rendah, seperti yang telah diputuskan Erdogan, satu-satunya opsi lain adalah pengendalian modal yang lebih ketat,” kata Selva Demiralp, seorang profesor ekonomi di Universitas Koc di Istanbul.
Masalah ekonomi jauh di belakang benak pendukung Erdogan, yang terus mengagung-agungkan nama Erdogan di tengah para pemimpin dunia dan perjuangannya melawan ”teroris”. Dalam hal ini, yakni para militan suku Kurdi.
Presiden Erdogan telah menuduh lawannya berpihak pada teroris, dan mengkritik janjinya untuk membebaskan mantan salah satu pemimpin partai oposisi terbesar kedua di Turki, yakni Partai Rakyat Demokrat (HDP) yang pro-suku Kurdi.
Selahattin Demirtas telah mendekam di penjara sejak 2016, meskipun Pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa meminta agar ia dibebaskan.
Erdogan mengatakan selama dia berkuasa, Demirtas akan tetap berada di balik jeruji besi.
Ia juga berjanji akan memprioritaskan pembangunan area-area yang rusak akibat gempa beruntun Februari lalu dan mengirim kembali secara ”sukarela” para pengungsi Suriah.
Para pendukung memadati Taksim Square di pusat kota Istanbul, banyak dari mereka datang dari Timur Tengah dan Teluk.
Baca juga:
Warga Palestina dari Yordania menyelimuti diri mereka dengan bendera Turki di bahu mereka.
Seorang pendatang dari Tunisia, Alaa Nassar, mengatakan bahwa Erdogan tidak hanya melakukan perbaikan bagi negaranya sendiri, tetapi “dia juga mendukung orang Arab dan umat Muslim”.
Walaupun banyak yang menggelar perayaan atas kemenangan Erdogan, gagasan persatuan di negara yang terpolarisasi itu tampaknya lebih jauh dari sebelumnya.
Sejak kudeta yang gagal pada 2016, Erdogan telah menghapus jabatan perdana menteri dan mengambil alih kekuasaan itu. Sebaliknya, lawan politiknya berjanji akan membuka kembali posisi itu.
Oposisi Turki sekarang harus bersatu kembali menjelang pemilihan di tingkat daerah pada 2024 mendatang.
Liputan tambahan dari Istanbul oleh Cagil Kasapoglu.