Konten Media Partner

Kisah Eks Guru British Council di Afghanistan yang Bersembunyi dari Taliban

16 Januari 2022 8:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masih ada 100 eks staf British Council yang berada di Provinsi Helmand, Afghanistan. Mereka mendesak Inggris membantu relokasi mereka meninggalkan negara tersebut.
zoom-in-whitePerbesar
Masih ada 100 eks staf British Council yang berada di Provinsi Helmand, Afghanistan. Mereka mendesak Inggris membantu relokasi mereka meninggalkan negara tersebut.
Warga Afghanistan yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Provinsi Helmand untuk lembaga British Council mengatakan mereka masih bersembunyi dan "mengkhawatirkan aksi balas dendam dari kelompok Taliban".
Sekitar 100 orang eks staf British Council masih berada di Afghanistan dan sejauh ini ditolak masuk ke Inggris.
"Kami semua duduk-duduk di dalam, seperti dipenjara," kata satu orang di antaranya. Yang lain mengatakan kehabisan uang.
Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan, akan ada skema baru yang memungkinkan eks pegawai British Council di Afghanistan menetap di Inggris. Dikatakan pula, para guru ini bisa mengajukan melalui skema tersebut.
Namun, masih banyak staf yang bersembunyi sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.
British Council -- lembaga publik yang mempromosikan kebudayaan dan pendidikan Inggris di luar negeri -- mengatakan "jelas bahwa para eks guru ini menghadapi bahaya".
Kepala eksekutif British Council, Scott McDonald, mengatakan pihaknya menyadari situasi yang di alami eks koleganya di Afghanistan makin berbahaya, seiring dengan memburuknya situasi di sana.
Ia menggambarkan para mantan guru ini sebagai "wajah Inggris di Afghanistan".

'Dibunuh Taliban karena unggahan Facebook'

Rahimallah, bukan nama sebenarnya, mengatakan bekerja untuk British Council selama dua tahun di Provinsi Helmand meski ia sadar "ada risiko besar dan berbahaya". Di provinsi ini, Inggris mengirim pasukan hingga tahun 2014.
Puluhan ribu warga Afghanistan meninggalkan negara tersebut setelah Taliban berkuasa pada Agustus 2021.
Salah satu tugasnya adalah memberikan pelatihan tentang persamaan, keberagaman, dan inklusivitas kepada para guru sekolah.
Sering kali pelatihan yang ia lakukan mendapat penentangan dari warga setempat. Bahkan, guru-guru laki-laki yang berpendidikan tinggi menolak gagasan persamaan gender, kata Rahimallah.
"Tetapi kami harus melakukannya," katanya kepada BBC.
"Kami katakan kepada mereka bahwa lesbian, gay, dan biseksual harus diterima di masyarakat Afghanistan, namun mereka menolaknya. Mereka mengatakan apa yang saya lakukan bertentangan dengan nilai-nilai agama," ujar Rahimallah.
Sejak Agustus tahun lalu ia bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Sejak itu pula ia tak bisa bekerja maupun menemui keluarga.
Ia yakin kalau Taliban menemukannya, ia pasti akan dibunuh.
Ia bercerita seorang kerabatnya mengunggah tulisan di Facebook yang isinya menyebutkan Taliban tak akan mungkin menggaji para guru.
"Keesokan harinya, orang-orang intelijen Taliban menculiknya, menyiksanya, dan membunuhnya. Jenazahnya dibuang ke sungai. Itu semua gara-gara satu unggahan di Facebook," kata Rahimallah.
"Saya yakin mereka pasti akan melakukan hal yang sama terhadap saya," imbuhnya.
Mantan guru lainnya kepada BBC mengatakan, "Kami semua takut."
Guru perempuan ini mengatakan punya anak perempuan yang masih kecil dan meminta agar bisa dibolehkan bermain di luar.
"Kami bersembunyi dan tak bisa keluar rumah, kami harus berada di dalam rumah kami ... kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain begitu kami tahu Taliban mencari kami," ungkapnya.
Seorang guru lain mengatakan keluar rumah sekali dalam beberapa pekan, itu pun dengan menyamar.

Permintaan bantuan ke pemerintah Inggris

Usai penarikan pasukan asing, situasi di Afghanistan dianggap membahayakan bagi warga yang pernah bekerja untuk lembaga atau pihak internasional.
Masalah ini sudah disampaikan ke mantan atasan mereka, Joe Seaton, yang diharapkan bisa ikut membantu memperjuangkan nasib para eks guru ini.
Seaton mundur dari British Council pada 2020 setelah bertugas di Afghanistan selama 3,5 tahun.
Ia mengkritik lembaga itu karena "lebih memprioritaskan staf yang bekerja di kantor British Council di ibu kota Kabul".
Ia meyakini para mantan guru di Helmand memenuhi syarat untuk pindah dan menetap di Inggris dengan menggunakan skema kebijakan bantuan dan relokasi warga negara Afghanistan (ARAP).
Skema ini diluncurkan untuk membantu warga Afghanistan yang menghadapi ancaman keselamatan akibat profesi yang mereka lakukan selama ini untuk lembaga yang terafiliasi dengan pemerintah Inggris.
Seaton mengatakan sudah menjadi kebijakan luar negeri Inggris menangkal ekstremisme di Afghanistan.
"Apa yang dilakukan oleh para mantan pegawai [British Council] ini adalah mengatasi ideologi tersebut dengan mempromosikan persamaan, keberagaman, dan inklusivitas," kata Seaton.
"Mereka diburu di lapangan karena kerja-kerja tersebut," tambahnya.
Kementerian Luar Negeri dikecam karena proses evakuasi warga dari Afghanistan yang digambarkan "kacau".
Kementerian ini mengatakan "pekan lalu pemerintah membuka skema pemukiman warga negara Afghanistan (ARCS) yang memberi kesempatan kepada 20.000 orang yang terancam keselamatannya untuk memulai kehidupan baru di Inggris, termasuk mereka yang pernah bekerja untuk British Council, yang keselamatannya paling terancam".
British Council mengatakan mereka sudah mendesak pemerintah Inggris agar aplikasi para mantan staf mereka diproses secepat mungkin.