Konten Media Partner

Kronologi Umat Kristen di Padang Diintimidasi dan Dibubarkan Saat Kebaktian

1 September 2023 6:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
Foto ilustrasi umat Kristiani beribadah.
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi umat Kristiani beribadah.
Belasan jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Solagracia di Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat, diintimidasi, diancam, dan dibubarkan saat mengadakan kebaktian di sebuah rumah kontrakan pada Selasa (29/8).
Juni Anton Zai, 26, telah melaporkan kasus ini ke kepolisian. Adapun Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) turut mendesak polisi memroses hukum pelaku.
Akan tetapi, polisi menyebut peristiwa itu "hanya kesalahpahaman" terkait "etika bertetangga", lalu memulangkan pelaku karena "mengidap gangguan jiwa". Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatra Barat juga berpandangan senada dan mendorong penyelesaian "dengan kearifan lokal".
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai respons aparat dan FKUB telah "mengabaikan" keadilan bagi korban yang telah dilanggar haknya untuk bebas beribadah.
“Yang paling bahaya, kalau penegakan hukum tidak terjadi, berarti ada pengabaian. Peristiwa ini pasti akan terulang kalau tidak ada penegakan hukum yang adil,” kata Halili kepada BBC News Indonesia, Kamis (31/8).
Kejadian ini juga menambah catatan buruk kasus-kasus intoleransi di Kota Padang, yang merupakan kota paling intoleran ketiga di Indonesia berdasarkan laporan Setara Institute pada 2022.

Kronologi versi korban: ‘Dia ancam kami, dia bubarkan kami’

Juni, yang merupakan seorang buruh harian lepas, mengontrak sebuah rumah di Kampung Nias 3, Padang, sejak awal Juli 2023.
Pada 29 Agustus, Juni mendapat giliran menjadi tuan rumah ibadah kebaktian jemaat GBI Solagracia.
Sebanyak 15 jemaat GBI memulai kebaktian sekitar pukul 20.10 WIB. Mereka bernyanyi dan berdoa. Ketika itulah seorang perempuan yang tinggal di belakang rumah kontrakan tersebut mendatangi para jemaat.
“Saya mendengar suara ibu itu [pelaku] dari belakang rumah kami. Dia sambil berteriak, sambil datang ke rumah kami, sambil memecahkan jendela kami,” terang Juni kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Padang.
“Kami terkejut, dan ibadah kami terbatas. Anak saya, bayi saya terkejut. Ibu itu teriak-teriak, membatalkan ibadah kami,” sambungnya.
Sontak, seluruh jemaat keluar dari rumah. Menurut Juni, perempuan yang berinisial L berteriak dan bertanya mengapa ibadah digelar. Perempuan tersebut, kata Juni, mengaku terganggu.
L datang bersama suaminya serta dua orang adiknya berinisial D dan N.
“Dia [suami L] bilang, ‘Ibadah itu bukan di sini, ini rumah orang tua kami’. Saya bilang, 'kita duduk, bicara baik-baik',” papar Juni.
“Mereka tidak mau bicara baik-baik. Mereka ancam kami. Ada adiknya, namanya D, dia sekalian bawa parang. Dia bikin kami takut.”
“Setelahnya adiknya dari [rumah] belakang itu, dia datang juga bawa kayu. Dia mau memukul adik saya yang duduk di motor. Saya tahan. Sambil mereka memukul-mukul kayu bilang, ‘Bubar, bubar’.”
BBC News Indonesia menerima video berdurasi 4 menit 22 detik dari Juni yang menunjukkan cuplikan peristiwa pada malam itu.
L menyebut bahwa rumah itu adalah miliknya. Seorang pria menyebut rumah itu adalah "rumah keluarga" yang dulunya milik neneknya.
Pria itu mengatakan bahwa Juni semestinya "mengonfirmasi dulu" kepada keluarga, RT, dan RW ketika hendak menggelar ibadah.
Di dalam video itu, Juni tampak merespons, "Kalau memang ibu yang punya rumah, otomatis kalau masalah ibadah ini, kan bisa konfirmasi, panggil yang punya kontrakan, 'Dek, tolong hentikan', tapi kalau main hakim seperti ini...".
Ucapan Juni kemudian dipotong oleh L yang mengatakan, "'Suka-sukaku, rumahku'".
"'Saya kan nggak ganggu ibadahmu. Saya ganggu ibadahmu enggak? Saya cuma pecahkan kaca rumah saya lho'," kata L.
"'Nggak ada aku main hakim, itu rumahku, kacaku'," sambung L dalam video tersebut.
Setelahnya, tampak pula seorang laki-laki lain, yang diduga adik dari L, membawa parang dan mengancam para jemaat.
Ketika diwawancara pada Kamis(31/08), Juni mengaku tidak tahu bahwa para pelaku adalah keluarga pemilik kontrakan itu.
Pada Juli lalu, dia mengontrak rumah itu dari seorang perempuan berinisial Y yang berdomisili di Pekanbaru, Riau.
Juni mengklaim sudah meminta izin kepada pemilik rumah perihal ibadah ini.
“Saya bilang sama Ibu Y, ‘Saya ini kan orang Kristen, bu. Saya ada dengan teman-teman organisasi, dan saya ini juga ada ibadah di rumah secara bergantian’,” kata Juni mengulang percakapan itu.
“Ibu Y bilang, ‘Boleh beribadah, kumpul di sini boleh'. Kami sepakati dengan catatan dan tanda tangan,” sambungnya.
Menurut Juni, mereka sudah menginfokan soal ibadah itu kepada RT setempat.
“Nggak mungkin saya lakukan ibadah kalau mereka nggak izinkan saya,” kata Juni, meski belakangan setelah insiden ini terjadi, Ketua RT justru menyebut kegiatan ibadah itu tak berizin.
Wartawan Halbert Chaniago telah berupaya meminta tanggapan L dan kerabatnya pada Kamis (31/8). Namun yang bersangkutan menolak diwawancarai.

Polisi pulangkan pelaku karena ‘gangguan jiwa’

Juni melaporkan insiden itu kepada Polresta Padang pada Rabu (30/08) pagi dengan harapan kasus ini dapat diusut secara pidana.
“Biar tidak terulang lagi ancaman saat ibadah,” kata dia.
Tetapi polisi malah memulangkan pelaku karena disebut "memiliki gangguan jiwa".
Ketika dikonfirmasi, Humas Polres Padang, Ipda Yanti Delfina, mengatakan bahwa yang terjadi adalah “kesalahpahaman antara pelapor dan terlapor”.
“Awalnya kami sudah mengamankan terlapor, dan diketahui terlapor ini mengalami gangguan jiwa. Jadi isu yang beredar bahwa ini menyangkut masalah agama, itu tidak benar. Ini hanya kesalahpahaman atau etika bertetangga saja,” kata Yanti.
Senada dengan polisi, Duski Samad dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatra Barat juga menyebut bahwa yang terjadi pada Selasa (29/08) malam lalu adalah “salah mengerti”.
“Problemnya bukan pada pengusiran. Keelokan bertetangga tidak dihargai dengan baik,” kata Samad.
FKUB juga mendorong penyelesaian kasus ini dilakukan dengan musyawarah dan dialog.
“Itu kan soal masyarakat, tentu solusinya berdamai dengan masyarakat. Salah satu solusi paling baik kan penyelesaian dengan kearifan lokal. Penyelesaian dengan kearifan lokalnya dikedepankan daripada penyelesaian hukum,” ujar Samad.
Tetapi, pendamping korban dari Pemuda Lintas Agama (Pelita) Padang mengatakan bahwa dalam proses mediasi pun korban “mendapat intimidasi”.
“Dibilang, ‘jangan dibesar-besarkan, kenapa harus divideokan, kenapa tidak dibicarakan baik-baik, ini kan cuma masalah sepele’. Narasi-narasi seperti, ‘Ini kan mayoritas Muslim, harusnya menghargai’ tanpa korban diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi,” kata Ketua Pelita Padang, Angelica Maria Cuaca.
Angelica juga mengatakan bahwa alasan gangguan jiwa yang disampaikan polisi “semestinya dibuktikan dengan diagnosis dari psikolog atau psikiater”.
“Kami akan terus kawal, penegakan hukum harus jalan. Dianggap ini bukan persoalan, dianggap ini nggak masalah, [seolah] boleh melakukan itu pada kelompok berbeda. Pemangku kebijakan juga menganggap harmonis itu seperti ini, semua diredam, semua baik-baik saja, bukan berlandaskan pada keadilan,” kata Angelica.

Umat Kristen diimbau tetap tenang

PGI mengatakan peristiwa itu “telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Kristen”. Umat Kristen diimbau untuk tetap tenang.
Terkait penyelesaian kasus, PGI berharap polisi dapat "menindak tegas pelaku yang telah mempertontonkan ancaman pembunuhan secara vulgar untuk menghentikan ibadah”.
Bagi PGI, upaya musyawarah dan dialog "tetap perlu dijaga dan dikembangkan", namun harus beriringan dengan penegakan hukum atas tindak pidana yang terjadi.
“…sehingga tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari dan memperluas keresahan di masyarakat,” kata Sekretaris Eksekutif PGI, Henrek Loka.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Padang, Japeri Jarab mengimbau semua umat beragama di Kota Padang “untuk menghormati toleransi umat beragama”.
“Itu semua sudah diatur, bagaimana cara melakukan ibadah, kemudian tempat ibadah, keamanan dalam beribadah, kemudian koordinasi dengan umat-umat yang ada di sekitar tempat ibadah,” kata Japeri.
"Etikanya, kalau kita membuat kegiatan keagamaan yang mungkin menganggu keamanan masyarakat luar, seharusnya dihentikan atau ditertibkan," ungkapnya.

'Tak menjamin hak kelompok beragama'

Halili Hasan dari Setara Institute menilai keberatan para pelaku terkait kegiatan ibadah "yang tak berizin" sebagai "alasan yang dibuat-buat".
Ini berbeda dengan isu pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas yang mensyaratkan adanya rekomendasi dari FKUB setempat berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Namun, SKB dua menteri itu pun telah banyak dikritik karena kerap menjegal hak kelompok minoritas untuk beribadah.
Dalam konteks kebaktian di rumah, Halili mengatakan bahwa tak ada pembatasan seperti itu.
"Kalau kebaktian tidak ada yang membatasi, seharusnya setiap orang dijamin untuk menjalankan kegiatan seperti itu, di rumah juga enggak apa-apa. Toh kalau kita saksikan ada syukuran di rumah kan biasa, pengajian dan maulidan kan biasa. Jadi seharusnya kebaktian juga nggak apa-apa," kata Halili.
Penyelesaian lewat musyawarah yang diupayakan dalam kasus ini pun dia nilai "tidak adil bagi korban". Apalagi dengan alasan bahwa apa yang terjadi adalah "kesalahpahaman" belaka.
Menurut Halili, proses hukum harus ditegakkan untuk menjamin peristiwa serupa tak terulang.
"Musyawarah sering ditempatkan sebagai tameng. Ketika mayoritanisme berkembang, ada tekanan dari kelompok konservatif, itu pasti alasan itu diada-adakan," kata Halili.
"Kalaupun betul musyawarah itu dilakukan, akan selalu muncul tekanan terhadap minoritas yang pada pokoknya memaksakan kerukunan, bukan jaminan hak terhadap kelompok beragama."
Kasus ini juga menambah daftar panjang pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Pada Mei 2023, jemaat Gereja Mawar Sharon di Binjai dibubarkan saat beribadah.
Sementara sepanjang 2022, Setara Institute mencatat terjadi 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di seluruh Indonesia.