Konten Media Partner

Mengapa Bantuan Kemanusiaan Dijadikan Alat Perang oleh Junta Militer Myanmar?

4 April 2025 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Mengapa Bantuan Kemanusiaan Dijadikan Alat Perang oleh Junta Militer Myanmar?

Lebih dari 2.700 orang tewas dalam gempa bumi dahsyat yang melanda Myanmar pada 28 Maret 2025.
zoom-in-whitePerbesar
Lebih dari 2.700 orang tewas dalam gempa bumi dahsyat yang melanda Myanmar pada 28 Maret 2025.
Setelah gempa terjadi, 72 jam pertama adalah waktu genting untuk menyelamatkan korban yang terjebak di reruntuhan. Akan tetapi, yang terjadi di Myanmar justru sebaliknya: petugas penyelamat yang berusaha mengakses beberapa daerah yang paling parah terdampak gempa diadang oleh otoritas militer.
Hal ini diungkapkan oleh beberapa kelompok bantuan dan hak asasi manusia yang mendistribusikan bantuan kemanusiaan pascagempa berkekuatan 7,7 magnitudo pada Jumat (28/03) silam.
Padahal, pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, sudah meminta bantuan kemanusiaan internasional—sesuatu yang teramat jarang terjadi.
"Saya meminta negara mana pun, organisasi mana pun, atau siapa pun di Myanmar untuk datang dan membantu," ujarnya dalam pidato tak lama setelah bencana itu terjadi.
Dia mengeklaim telah "membuka semua jalur untuk bantuan asing".
Namun, kenyataan di lapangan tidaklah demikian.
"Saya sudah berkomunikasi dengan sejumlah orang yang terlibat dalam upaya penyelamatan di Sagaing dan Mandalay," tutur John Quinley, direktur kelompok hak asasi manusia internasional Fortify Rights, kepada BBC.
"Mereka mengatakan bahwa [militer] memberlakukan jam malam... jalan-jalan ditutup, pos pemeriksaan sangat panjang, dan ada pemeriksaan barang dan jasa yang masuk secara besar-besaran. Belum lagi banyak interogasi."
"Seharusnya mengizinkan orang-orang itu untuk masuk bisa jauh lebih mudah," tambahnya.
"Junta militer Myanmar mengatakan itu semua demi keamanan, tetapi saya tidak yakin itu alasan yang sebenar-benarnya."
Sekarang, waktu krusial selama 72 jam setelah gempa terjadi sudah lewat.
Ketika artikel ini ditulis, lebih dari 2.886 orang di Myanmar dipastikan tewas akibat gempa bumi tersebut.
Gempa bumi berkekuatan 7,7 magnitudo tersebut adalah yang terkuat yang pernah melanda Myanmar dalam lebih dari satu abad.
Pada Selasa (01/04) malam, serangan terhadap konvoi bantuan semakin memperburuk kekhawatiran.
Tepat pukul 21.21 waktu setempat, konvoi sembilan kendaraan Palang Merah China yang membawa pasokan bantuan gempa diserang oleh militer, menurut Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).
TNLA adalah kelompok perlawanan di Negara Bagian Shan. Mereka mengunggah laporan ihwal serangan itu dalam unggahan Telegram pada Selasa (01/04) malam.
Konvoi tersebut tengah menuju Mandalay ketika tentara memberondong mereka dengan senapan mesin.
Serangan ini memaksa kelompok yang mendistribusikan bantuan itu untuk berbalik arah.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Seorang juru bicara junta militer Myanmar kemudian mengonfirmasi bahwa tentara Myanmar melakukan penembakan tersebut.
Menurut dia, aparat militer tidak diberi tahu bahwa konvoi bantuan akan lewat.
Juru bicara mengeklaim tembakan peringatan sudah dilepaskan setelah iring-iringan kendaraan tidak berhenti.
Namun, John Quinley menyebut ini bukan kali pertama junta menyerang pekerja kemanusiaan.
"Mereka memilih dan memilah kapan bantuan bisa masuk. Jika mereka tidak bisa memantau dan menggunakannya sesuai keinginan mereka, mereka membatasi bantuan," katanya.
"Mereka juga secara aktif menyasar pekerja kemanusiaan."

Baca juga:

Junta militer memulai perang saudara dengan pemberontak di Myanmar setelah merebut kendali negara itu pada 2021.
Sebelumnya, junta sudah pernah menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat perang.
Mereka melakukannya dengan hanya menyalurkan pertolongan ke daerah-daerah yang berada di bawah kendali junta.
Sementara daerah-daerah di luar kendali junta militer mengalami pembatasan bantuan.
BBC menyelidiki keseimbangan kekuatan di lebih dari 14.000 kelompok desa pada pertengahan November tahun lalu.
Ditemukan bahwa militer hanya memiliki kendali penuh atas 21% wilayah Myanmar, hampir empat tahun sejak awal konflik.
Rezim militer Myanmar telah terlibat dalam perang saudara melawan berbagai kelompok perlawanan lokal sejak merebut kekuasaan pada tahun 2021.
Pada 2023, Myanmar mengalami bencana Siklon Mocha dan Topan Yagi pada 2024. Masing-masing bencana itu mengakibatkan ratusan orang meregang nyawa.
Namun, militer menghambat upaya pertolongan di daerah-daerah yang dikuasai kelompok perlawanan dengan menolak melepaskan stok bantuan dari bea cukai
Selain itu, izin masuk bagi petugas bantuan juga dipersulit. Junta juga menolak melonggarkan pembatasan bantuan penyelamatan jiwa.
"Ini adalah tren yang mengkhawatirkan yang terjadi pada saat-saat krisis, seperti gempa bumi," kata Quinley.
"Junta memblokir bantuan apa pun ke kelompok-kelompok yang mereka anggap beraliansi dengan perlawanan yang lebih luas."
Kepala tim Myanmar di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, James Rodehaver, menduga junta merampas bantuan dari penduduk Myanmar sebagai bentuk hukuman.
"Junta melakukan itu karena sebagian besar penduduk setempat tidak mendukung mereka," katanya kepada BBC.
"Dengan menghalangi bantuan kemanusiaan, junta tidak hanya menghukum penduduk, tetapi juga membuat mereka tidak mampu hidup mandiri dan menjadi tangguh."

Baca juga:

Sudah ada tanda-tanda bahwa junta kemungkinan akan mengulangi taktik ini di Sagaing.
Di atas kertas, Myanmar bagian tengah—termasuk kota Sagaing dan Mandalay—dikelola oleh junta. Bantuan hanya dapat dikirim ke daerah tersebut dengan persetujuan mereka.
Namun, sebagian besar wilayah Sagaing dan Mandalay yang lebih luas dianggap sebagai kubu perlawanan.
Dugaan bahwa junta secara taktis menyabot bantuan untuk daerah-daerah ini telah memicu kecaman dari ratusan organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil.

Baca juga:

Mereka mendesak komunitas internasional untuk memastikan upaya bantuan sampai ke tempat-tempat yang paling membutuhkan, dan tidak disalurkan melalui pemerintah militer.
Salah satu pernyataan tersebut ditandatangani oleh 265 organisasi masyarakat sipil dan dirilis pada Minggu (30/03).
Menurut petisi itu, sebagian besar daerah yang terkena dampak terparah berada di bawah kendali dan administrasi kelompok perlawanan pro-demokrasi.
"Sejarah Myanmar mencatat mara bahaya dalam penyaluran bantuan melalui junta militer," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Sebagian besar upaya penyelamatan gempa bumi bergantung pada sukarelawan, yang harus menggali orang-orang dari reruntuhan dengan tangan kosong.
Di Sagaing, dampak mengkhawatirkan dari minimnya penyaluran bantuan sudah terlihat, menurut lembaga-lembaga bantuan.
Mereka melaporkan kekurangan makanan, air, dan bahan bakar di daerah itu. Di sisi lain, truk-truk yang membawa bantuan terdampar di pos-pos pemeriksaan militer di sekitar kota.
Ratusan warga yang kehilangan tempat tinggal terpaksa tidur di jalanan.
Tim penyelamat harus menggali reruntuhan dengan tangan kosong. Mereka sudah kehabisan kantong jenazah.
Menurut media setempat, warga-warga yang berusaha menolong korban gempa dipaksa untuk mendapatkan izin dari otoritas junta dengan menyerahkan daftar relawan dan barang-barang yang akan disumbangkan.
Sejumlah anggota Palang Merah China berupaya mencari korban gempa di antara reruntuhan bangunan di Mandalay, Myanmar, pada 31 Maret 2025.
Siasat membombardir responden dengan daftar periksa dan proses birokrasi yang panjang sudah rutin digunakan junta untuk membatasi kegiatan organisasi bantuan internasional di Myanmar, menurut berbagai sumber lembaga kemanusiaan kepada BBC.
Menurut undang-undang yang diberlakukan pada 2023, organisasi-organisasi tersebut harus memperoleh sertifikat pendaftaran untuk bisa beroperasi secara legal di Myanmar.
Semua lembaga itu juga sering kali diharuskan menandatangani nota kesepahaman dengan kementerian-kementerian terkait.
Seorang sumber, yang meminta BBC untuk tidak mengungkap identitasnya, mengatakan bahwa kelompok-kelompok bantuan sering kali diminta untuk menghapus aktivitas, bidang, atau wilayah tertentu dari proposal mereka.
Tidak ada ruang untuk bernegosiasi begitu junta mendesak penghapusan suatu klausul.
Area-area di mana junta tidak memiliki pengawasan atau kendali atas pekerjaan bantuan biasanya akan dilarang, imbuh sumber itu.
Pagoda Maha Myat Muni di Mandalay ambruk akibat gempa yang mengguncang Myanmar dan negara-negara di sekitarnya, pada 28 Maret 2925
Namun, lembaga-lembaga bantuan telah menemukan cara untuk mengakali pembatasan junta.
Banyak bantuan kemanusiaan di Myanmar dilakukan secara diam-diam. Mereka bekerja sama dengan kelompok-kelompok lokal yang bisa melewati pos-pos pemeriksaan tanpa menarik perhatian pihak berwenang.
Sebagian besar transaksi keuangan dalam bantuan kemanusiaan juga terjadi di luar sistem perbankan Myanmar.
Hal ini membuat pengawasan dan potensi penyelidikan dari bank sentral Myanmar bisa dihindari, ujar seorang sumber kepada BBC.
Dalam beberapa kasus, organisasi kemanusiaan membuka rekening bank di Thailand agar mereka dapat menerima dana bantuan secara pribadi, kemudian membawa uang dalam bentuk tunai melintasi perbatasan ke Myanmar.
Permasalahannya adalah metode-metode rahasia seperti itu membutuhkan waktu—berhari-hari atau berminggu-minggu—sementara penundaan bantuan kemanusiaan yang terlalu lama bisa berakibat fatal.

Baca juga:

Sebagian pekerja bantuan berharap skala gempa bumi yang besar dan seruan bantuan internasional oleh Min Aung Hlaing mampu mengatasi hambatan yang terjadi selama ini.
Dengan begitu, penyaluran bantuan pun bisa lebih efisien.
"Pada masa lalu, kami menghadapi sejumlah tantangan," ujar Louise Gorton, seorang spesialis darurat yang berbasis di Kantor Regional Asia Timur dan Pasifik Unicef.
"Namun, skala keadaan darurat kali ini jauh lebih tinggi... Saya rasa akan ada tekanan kepada rezim untuk memastikan akses kemanusiaan yang bebas dan tidak terhalang."
"Kami akan terus mengirim kebutuhan yang sama, termasuk mencari cara yang tidak mencolok untuk menyalurkan bantuan."
Cara Bragg, manajer Catholic Relief Services (CRS) di Myanmar, mengaku masih terlalu dini untuk melihat apakah junta benar-benar akan "membuka semua jalan untuk bantuan asing".
Namun, timnya siap untuk menavigasi situasi kemanusiaan yang kompleks untuk memberikan bantuan.
"Tentu saja menjadi perhatian bahwa mereka [militer] mungkin mengarahkan bantuan ke tempat-tempat tertentu, dan bukan berdasarkan kebutuhan," kata Bragg, yang berbasis di Yangon.
"Tetapi sebagai pelaku kemanusiaan, CRS bekerja di bawah mandat kemanusiaan, dan akan sangat fokus untuk menyalurkan bantuan ke tempat-tempat yang membutuhkannya: ke daerah-daerah yang paling parah terkena dampak, terlepas dari siapa penguasanya."
Terlepas dari permohonan Min Aung Hlaing kepada komunitas internasional, indikasi awal menunjukkan pemimpin junta itu tampaknya tidak akan memprioritaskan aliran bantuan kemanusiaan.
Tidak lama setelah gempa bumi, jet-jet militer melancarkan serangkaian serangan udara di daerah-daerah yang terkena dampak, menewaskan lebih dari 50 warga sipil, menurut Dewan Konsultatif Persatuan Nasional (NUCC).
Kemudian, pada Selasa (01/04), Min Aung Hlaing menolak proposal gencatan senjata yang diajukan kelompok-kelompok perlawanan dalam upaya untuk memfasilitasi bantuan.
Operasi militer akan terus berlanjut sebagai "tindakan perlindungan yang diperlukan", ujar Min Aung Hlaing.
Satu hari kemudian, junta berubah pikiran dan menyetujui gencatan senjata selama 20 hari untuk mempermudah upaya bantuan.
Namun, masih harus dilihat apakah gencatan senjata ini akan bertahan.
Militer menekankan bahwa mereka akan "merespons dengan tepat" jika pemberontak melancarkan serangan.
Bagi banyak pengamat, kontradiksi antara permohonan bantuan dan serangan militer yang terjadi nyaris bersamaan itu konsisten dengan sejarah kemunafikan Min Aung Hlaing.
Panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing sebelum memberikan pidato dalam upacara peringatan Hari Angkatan Bersenjata negara itu di Naypyidaw pada 27 Maret 2025
John Quinley, dari Fortify Rights, mencatat bahwa pemimpin junta sudah "berbohong dalam berbagai kesempatan".
Dia menduga bahwa permohonan bantuan asing baru-baru ini lebih merupakan permohonan pengakuan internasional.
Dengan latar belakang itu, Quinley mengatakan sangat penting untuk memastikan bantuan gempa bumi sampai ke tempat yang paling membutuhkannya.
"Sebagai kelompok hak asasi manusia, kita perlu memantau betul-betul. Walau bantuan diperbolehkan masuk [oleh Min Aung Hlaing] tetapi apakah bantuan itu memang mencapai mereka yang membutuhkan?"
"Atau apakah pemimpin malah menggunakan bantuan itu sebagai alat kontrol? Apakah dia justru memblokir bantuan sebelum mencapai komunitas yang membutuhkan?" katanya.
"Saya meragukan kebenaran dari setiap ucapan Min Aung Hlaing."