Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Mengapa Brad Pitt Adalah Bintang Film Terbaik di Abad 21
16 Agustus 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 7 menitCaryn James
BBC Future
Dalam film terbarunya Bullet Train, Brad Pitt menampilkan humor garing dan menertawakan diri sendiri, yang telah memberinya status unik dan awet di Hollywood, tulis Caryn James.
Awalnya dia adalah pemuda ganteng di Thelma and Louise, peran kecil yang membuat pemirsa bertanya-tanya, "Siapa dia?" pada tahun 1991.
Kemudian dia adalah adik dari sang narator dalam film arahan Robert Redford A River Runs Through It (1992).
Dia semakin terkenal sebagai setengah dari "Brad dan Jen" saat menikah dengan Jennifer Aniston, kemudian setengah dari "Brangelina" selama tahun-tahun pernikahannya dengan Angelina Jolie.
Sementara itu, penampilan dan pernikahannya mungkin telah menutupi sesuatu yang lain. Brad Pitt telah membangun portofolio karya yang hanya bisa diimpikan oleh sebagian besar aktor.
Dengan penampilannya di berbagai genre film selama tiga dekade, dan strategi humas yang cerdas, Brad Pitt adalah contoh tentang bagaimana mengelola karier sebagai bintang film.
Baca juga:
Film komedi aksi terbarunya Bullet Train mencerminkan karier itu. Pitt memerankan karakter yang sekonyol nama julukannya, Ladybug, seorang pembunuh bayaran dengan topi ember yang culun.
Di sela-sela upayanya menghalau para pembunuh bayaran lain di kereta Jepang berkecepatan tinggi dan mencuri tas kerja yang penuh dengan uang tunai, Ladybug berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih kalem, dengan tulus mengucapkan kata-kata mutiara yang seakan-akan dikutip dari buku self-help.
"Jadikan ini pelajaran tentang toksiknya amarah," kata Pitt dengan nada datar setelah satu adegan perkelahian.
Bullet Train adalah pertunjukan aksi, tetapi fitur yang membedakan film ini dari film-film aksi lainnya adalah nada sinisnya.
Nada itu dibentuk dan dipertahankan sepanjang film oleh penampilan bintang utamanya. Menonton film ini, Anda hampir bisa membuat argumen bahwa Pitt memang aktor drama yang sangat baik, tetapi dia jauh lebih baik lagi dalam komedi.
Kekuatan sejatinya lebih kompleks dari sekadar mengenakan topeng komedi atau tragedi. Penampilan-penampilan terbaik Pitt adalah jenis yang memenangkannya Oscar sebagai stuntman Cliff Booth di Once Upon a Time in... Hollywood (2019): drama yang penuh dengan humor garing. Sebagai Cliff, senyumnya semacam seringai, tapi terkesan nakal dan tidak menyebalkan.
Sebagai Aldo Raine, komandan pasukan pembasmi Nazi dengan logat selatan yang kental dalam Inglourious Basterds (2009), Pitt membawa unsur humor dan absurditas ke tema hidup-atau-mati film tersebut.
Kombinasi serius tapi lucu itu adalah sweet spot-nya, dan gaya akting tersebut juga efektif di luar dua film Quentin Tarantino itu.
Pitt tidak langsung menemukan sweet spot-nya. Dia memberikan penampilan dramatis yang kuat dan dihormati hampir sejak awal karirnya.
Dia menentang citra pretty boy-nya sebagai pasien di rumah sakit jiwa di 12 Monkeys (1995) dan sebagai alter ego anarkis di Fight Club (1999).
Komedi datarnya jarang muncul, tetapi mereka ada. Ia memerankan karakter kocak dalam Burn After Reading (2008) karya Joel dan Ethan Coen sebagai pelatih kebugaran yang slengean, mengendarai sepeda, dan tidak terlalu cerdas.
Namun tidak ada yang benar-benar bisa mengalahkan dengan penampilan gantengnya. Dia mendapat nominasi Oscar untuk 12 Monkeys, film yang dirilis pada tahun yang sama ketika dia dinobatkan sebagai Sexiest Man Alive oleh majalah People.
Titik baliknya adalah Inglourious Basterds. Di situlah dia pertama kali dikena dengan senyuman sinisnya, dan aksen selatan yang kental serta potongan rambut standar tentara membantunya keluar dari bayang-bayang "pretty-Brad".
Skenario Tarantino yang menciptakan karakter itu, tetapi Pitt benar-benar menghidupkannya, membawa campuran drama dan kecerdasan itu ke film-filmnya yang lain.
Itu adalah keputusan karier yang cerdas, berbeda dari jalur kebanyakan bintang besar di generasinya.
George Clooney, 61 tahun, belum pensiun dari akting tetapi semakin beralih ke produksi dan penyutradaraan film-film tentang isu sosial.
Tom Cruise, 60 tahun, berpegang teguh pada peran jagoan, dengan Top Gun: Maverick tahun ini dan serangkaian film Mission Impossible yang tampaknya tak ada habisnya.
Matt Damon, 51 tahun, bertransisi dari Jason Bourne menjadi ayah yang bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga dalam film-film seperti Stillwater (2021).
Tetapi Pitt, 58 tahun, telah memilih peran yang lebih beragam. Dalam satu dekade terakhir ini, ia telah membintangi mulai dari drama Perang Dunia Kedua hingga satire kontemporer, serta sejumlah cameo yang berkesan.
Ragam itu adalah bagian dari formula yang cerdik. Tanpa satu pun persona di layar selain terlihat seperti Brad Pitt, dia dapat menghindari typecast (dikenal hanya sebagai peran tertentu) atau menjadi basi.
Menemukan 'sweet spot'
Dalam beberapa tahun terakhir, dia sendiri telah meledek citra cowok ganteng itu tanpa benar-benar meninggalkannya. Tampil di Bullet Train dengan topi konyol dan kaca mata kutu buku, seakan-akan dia bukan salah satu orang tertampan di dunia, adalah strategi yang sudah pernah dia gunakan dengan baik.
Dia juga dengan santai menyepelekan penampilannya dalam Once Upon a Time in Hollywood, dalam adegan meta dan komedi.
Bruce Lee berkata kepada Cliff (karakter yang diperankan Pitt), “Tahu enggak, kamu lumayan ganteng untuk pemeran pengganti.” Dengan seringainya yang khas, Pitt menjawab, “Banyak orang bilang begitu.”
Meskipun Pitt memenangkan Piala Oscar di kategori aktor pendukung terbaik untuk film tersebut, perannya dan peran Leonardo DiCaprio sebagai pemeran utama, hampir setara.
Penampilan Pitt sebagai Cliff begitu memikat, dia nyaris ‘mencuri’ film tersebut, seperti Raine mencuri Inglorious Basterds.
Bullet Train tidak menyentuh sweet spot Pitt; film itu berusaha, namun setengah hati. Dalam wawancara dengan ET Canada, Pitt berbicara tentang nada main-main film tersebut, menambahkan, “Tapi di bawah semuanya adalah tema tentang takdir, kehendak bebas,” yang dia sebut sebagai “pesan sebenarnya film ini, yang disampaikan melalui komedi.”
Bagaimanapun, meskipun ada banyak percakapan tentang takdir dan keberuntungan, Bullet Train terlalu mirip kartun untuk memuat drama yang serius. (Dan tidak perlu, karena sudah cukup asyik sebagai komedi aksi.)
Namun komentar tersebut menandakan bahwa Pitt sadar akan apa yang paling cocok baginya.
Selama bertahun-tahun dia telah mengambil beberapa peran bintang film generik, jenis yang bisa diperankan aktor terkenal lainnya tanpa mengubah DNA filmnya.
Dalam World War Z (2013), salah satu film Pitt yang paling laris , dia melacak virus yang menyebabkan wabah zombi. Dia adalah bintang utamanya, tetapi film ini tidak bisa disebut “film Brad Pitt” karena penampilannya tidak membentuk film tersebut.
Bullet Train adalah film Brad Pitt karena film tersebut tidak akan sama tanpa dia. Film ini sangat lucu ketika Ladybug bergumul dengan dua pembunuh bayaran British yang diperankan oleh Brian Tyree Henry dan Aaron Taylor-Johnson, aktor-aktor yang cocok dengan frekuensi Pitt, namun pada beberapa kesempatan terasa datar karena karakter dan aktor lainnya kekurangan selera humornya.
Strategi yang cerdas
Dalam satu dekade terakhir, Pitt telah membuat para penonton lebih kaget lagi dengan serangkaian film perang. Mulai dari Fury (2014), arahan David Ayer, film aksi Perang Dunia Dua, hingga War Machine (2017), satire tentang perang AS di Afghanistan.
Namun, keuntungan dari semua variasi itu ialah kehidupan pribadi Pitt tetap terpisah dari penampilan layar lebarnya. Kecuali ketika itu tidak terhindarkan, seperti di Mr & Mrs Smith, di mana dia bertemu dengan calon istrinya Angelina Jolie, dan By the Sea (2015), yang juga disutradarai oleh Jolie. Mereka memerankan pasangan suami-istri di ambang perceraian.
Di dunia nyata, perkawinan mereka berakhir pada 2016. Namun publisitasnya belum. Bahkan sekarang, sulit untuk mengikuti status legal mereka, di tengah pertarungan hukum seputar hak asuh anak dan harta gono-gini .
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Pitt telah mampu dengan lihat mengalihkan perhatian publik ke tempat lain sesering mungkin.
Kampanye promosi Oscar-nya untuk Once Upon a Time... in Hollywood diatur dengan sempurna, dengan pidato-pidato penerimaan yang sangat sederhana. Dan lihatlah strategi yang dia gunakan dalam tur publisitas Bullet Train, mengalihkan fokus dari masalah pribadinya dengan serangkaian fesyen karpet merah yang menarik perhatian.
Dia melompat ke udara dalam setelan jas hijau-neon pada premiere di Los Angeles. Setelan rok linen yang dia kenakan pada premiere di Berlin dimaksudkan untuk menarik perhatian, penampilan itu modis namun begitu slengean sehingga hampir tampak tidak modis, sesuai strategi PR-nya.
Film berikutnya Pitt setelah Bullet Train amat jauh dari aksi komedi. Dalam Babylon, arahan Damien Chazelle, yang berlatar di Hollywood tahun 1920-an dan akan dirilis pada Desember mendatang, dia memainkan karakter yang konon terinspirasi dari idola film bisu John Gilbert.
Peran tersebut merepresentasikan pesona konvensional Hollywood. Namun sikap Pitt yang jenaka dan santai tentang citra dan kariernya menunjukkan kepada kita cara menjadi seorang bintang film – bukan selebritas Instagram atau influencer, tetapi bintang film tradisional – di Abad 21.
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini di BBC Culture .