Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Neraka di Bumi: Warga Gaza Terpaksa Hidup di Tengah Sampah akibat Blokade Israel
25 Juli 2024 9:45 WIB
·
waktu baca 10 menitSejumlah lembaga bantuan kemanusiaan sampai kehabisan kata-kata untuk menggambarkan keadaan di Gaza akibat blokade Israel sejak akhir 2023 lalu. Kehancuran akibat serangan Israel dan blokade ini membuat warga Gaza terpaksa hidup di tengah air limbah dan tumpukan sampah.
Infeksi dan penyakit--yang sebenarnya mudah dicegah dan diobati--telah menjalar di wilayah yang kini menghadapi suhu harian lebih dari 35 derajat Celsius dan pasokan air yang terbatas.
Louise Wateridge, juru bicara Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA), menggambarkan Gaza sebagai “neraka di Bumi” bagi 2,2 juta penduduknya.
Israel telah menolak laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan dan LSM mengenai situasi tersebut. Israel bahkan menuduh beberapa pegawai UNRWA memiliki hubungan dengan Hamas dan Jihad Islam.
Tuduhan ini belum terbukti secara independen, namun menyebabkan sekelompok negara donor menarik dana dari organisasi tersebut pada Januari lalu.
“Situasinya sangat buruk dalam hal penyakit, sanitasi dan kebersihan,” tegas Wateridge kepada BBC Mundo dari kamp pengungsi Nuseirat, di Gaza tengah.
“Ratusan ribu orang hidup dalam kondisi yang penuh sesak dan tidak sehat”.
Kondisi ini telah mengubah Jalur Gaza menjadi sarang infeksi. Hepatitis A, kudis, disentri atau diare akut umum terjadi di antara penduduk wilayah tersebut. Para dokter khawatir bahwa dengan meningkatnya suhu, wabah kolera akan merebak jika kondisi kehidupan tidak berubah secara drastis.
Namun daftar ancamannya tidak berhenti di situ: Otoritas Kesehatan Gaza mengeklaim telah mendeteksi virus polio dalam sampel air limbah yang dikumpulkan di Jalur Gaza.
Informasi tersebut dikuatkan oleh Israel, yang telah memerintahkan agar semua tentara yang dikerahkan di wilayah tersebut divaksinasi atau menerima dosis booster.
Penduduk setempat mengatakan bau dari berton-ton sampah yang menumpuk dan mayat-mayat yang tertimbun di bawah reruntuhan – yang saat ini tidak mungkin untuk dievakuasi – sungguh tak tertahankan.
Ini semua ditambah dengan air limbah yang keluar dari pipa-pipa yang pecah akibat bom sehingga tidak dapat mencapai instalasi pengolahan yang juga telah hancur akibat serangan tentara Israel.
Serangan Israel telah menewaskan hampir 39.000 orang di Gaza, sejauh ini.
Sebagian besar masalah ini disebabkan oleh hancurnya jaringan infrastruktur air dan sanitasi di Jalur Gaza.
Menurut laporan terbaru lembaga Oxfam, warga Gaza hampir tidak memiliki akses terhadap 4,74 liter air per orang per hari untuk minum, memasak atau mencuci – jumlah yang sebenarnya setara dengan jumlah air ketika menyiram toilet.
“Jumlah ini kurang dari sepertiga standar minimal air minum yang dinilai masyarakat internasional dibutuhkan dalam situasi darurat (15 liter), dan 94% lebih sedikit dari jumlah yang mereka miliki sebelum perang,” kata Lama Abdul Samad, pakar air dan sanitasi Oxfam dan penulis laporan, kepada BBC Mundo.
Dalam situasi normal, WHO merekomendasikan antara 50 hingga 100 liter air per orang per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menghindari masalah kesehatan.
Menurut PBB, 90% penduduk Gaza terpaksa mengungsi, dan banyak dari mereka tinggal di tempat penampungan yang terbuat dari plastik, kain, dan sampah apapun yang bisa ditemukan warga.
Tempat berteduh yang tidak melindungi dari panas, bau, “atau dari tikus dan serangga yang berlarian ke mana pun Anda melihat; Siapa pun yang Anda ajak bicara di sini memberi tahu Anda tentang gigitan kalajengking, nyamuk, atau lalat,” jelas Louise Wateridge.
Masalah air
Sejak perang dimulai pada 7 Oktober – setelah Hamas membunuh lebih dari 1.200 orang di Israel dan menculik 152 orang lainnya – pemerintah Israel memerintahkan blokade total terhadap Jalur Gaza.
“Kami akan mengepung Gaza secara total… Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada gas: semuanya ditutup,” kata Menteri Pertahanan Yoav Gallant saat itu.
Hanya 12% air yang dikonsumsi di Gaza berasal dari Israel, namun aliran tersebut ditutup oleh perusahaan air publik Israel, Mekorot, pada 9 Oktober.
Selama beberapa bulan ini, meskipun pada titik tertentu jaringan pipa diaktifkan kembali, “jalur yang memasok ke utara terputus 95% dari sepanjang waktu dan jalur yang menuju ke Khan Yunis telah terputus sebanyak 81%,” jelas Lama Abdul Samad.
Sebagian besar air yang dikonsumsi di Gaza sebelum perang berasal dari Jalur Gaza sendiri.
Namun serangan Israel telah menghancurkan hampir seluruh infrastruktur air dan sanitasi di wilayah tersebut, menurut Oxfam. Lembaga itu mengecam Israel “menggunakan air sebagai senjata perang” lantaran tindakan tersebut bertentangan dengan konvensi hukum kemanusiaan internasional.
Pembatasan yang diberlakukan Israel terhadap masuknya bahan bakar, yang diperlukan untuk menghidupkan pompa air, telah memperburuk masalah ini.
Menurut Abdul Samad, Israel hanya menyediakan seperlima dari kebutuhan bahan bakar yang diminta oleh organisasi bantuan kemanusiaan yang bekerja di bidang air dan sanitasi.
Di antara infrastruktur yang hancur tidak hanya terdapat jaringan pipa, tetapi juga tangki, sumur, pabrik desalinasi, laboratorium tempat analisis air dan bahkan gudang tempat penyimpanan pipa dan suku cadang, yang juga tidak diizinkan oleh blokade Israel untuk dibawa ke Gaza.
Dan tidak hanya itu: 70% dari semua stasiun pemompaan air limbah, serta seluruh instalasi pengolahan, telah hancur, jelas pakar Oxfam.
“Itulah sebabnya kami melihat banjir di Jabalia dan limbah di lingkungan Khan Yunis,” tambahnya.
Lama Abdul Samad mengatakan tingkat kehancuran seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya
Dia memberikan dua contoh sebagai perbandingan.
“Di Suriah, setelah 10 tahun perang, tingkat kerusakan mencapai 50%, menurut Komite Internasional Palang Merah. Di Yaman, setelah sembilan tahun, kerusakan air dan sanitasi mencapai 40%."
"Di sini kita melihat lebih dari 70% [dalam sembilan bulan] dan di tempat-tempat seperti Kota Gaza, ini bisa sampai 100%.”
Selain itu, memperbaiki apa yang sudah hancur merupakan tugas yang hampir mustahil.
Louise Wateridge menjelaskan, karena Israel tidak mengizinkan suku cadang masuk ke Jalur Gaza, para pejabat UNRWA terpaksa membongkar kendaraan-kendaraan tua dan mengambil suku cadang yang dapat digunakan demi menggerakkan pompa air sumur.
“Mereka harus kreatif dan menggunakan apa pun yang sudah ada di Jalur Gaza untuk memperbaiki keadaan,” kata juru bicara organisasi tersebut.
Sampah
Wateridge menggambarkan situasi yang berulang di seluruh Gaza: “Saat ini saya sedang melihat ke luar jendela ke tumpukan sekitar 100.000 ton sampah tepat di depan pintu saya, tempat anjing sedang menggali dan saya juga sering melihat anak-anak mengais [sampah] untuk mencari makanan, bahan-bahan untuk membuat tempat berteduh, atau benda-benda yang dapat dijadikan bahan bakar karena tidak ada gas untuk memasak.”
Sampah yang membusuk, bau dan menjadi sarang tikus dan segala jenis serangga, ada di mana-mana.
Bahkan sebelum perang, akibat blokade yang diberlakukan Israel terhadap Jalur Gaza pada tahun 2007, jumlah truk sampah di Gaza atau peralatan untuk memilah dan mendaur ulang sampah perkotaan tidak mencukupi.
Namun sejak 7 Oktober, Israel telah memblokir akses ke daerah perbatasan, yang merupakan lokasi dua tempat pembuangan sampah utama di Jalur Gaza , Juhr al-Dik, yang melayani wilayah utara, dan Al Fujari, yang melayani wilayah tengah dan selatan.
UNRWA memperkirakan, hingga 10 Juni, lebih dari 330.000 ton sampah padat telah terkumpul, cukup untuk memenuhi 150 lapangan sepak bola. Ditambah lagi rata-rata 2.000 ton lebih per hari.
“Kami setiap hari meminta akses ke tempat pembuangan sampah kepada pihak berwenang Israel, namun permintaan kami ditolak, sehingga sampah benar-benar menumpuk di mana-mana,” ungkap Louise Wateridge.
Dalam penelitian yang diterbitkan baru-baru ini oleh LSM Belanda, Pax, terdapat setidaknya 225 tempat pembuangan sampah informal di seluruh Jalur Gaza, termasuk 14 tempat pembuangan sampah darurat yang ditetapkan oleh PBB.
Organisasi itu mengakui bahwa kemungkinan besar angka sebenarnya lebih tinggi lagi, karena tempat pembuangan sampah yang lebih kecil mungkin tidak terlihat dalam citra satelit yang mereka gunakan untuk menyisir daerah tersebut.
Risiko bagi masyarakat yang sudah rentan sangat besar, kata Pax dalam laporan “Perang dan Sampah di Gaza”.
Menurut Pax, risiko itu mulai dari penyakit pernapasan akibat menurunnya kualitas udara karena pembakaran sampah dan bau sampah yang membusuk, hingga bahaya yang dihadapi orang-orang yang menggali sampah, tempat mereka terpapar limbah medis yang beracun maupun limbah industri.
Selain itu, terdapat pula risiko “sup kimia” yang terdiri dari bahan organik terlarut, komponen anorganik, logam berat, dan senyawa organik xenobiotik akan mencemari lahan pertanian dan akuifer, “yang pada akhirnya memungkinkan zat beracun menembus rantai makanan dan kembali ke manusia,” Pax memperingatkan.
Dan di mana ada sampah, di situ ada parasit dan serangga.
Kecoa, lalat, nyamuk, cacing, dan kalajengking... mereka semua datang ke tempat sampah terkumpul dan menyelinap melalui celah-celah tenda berbahaya tempat ratusan ribu orang bertahan hidup.
“Mereka ada di mana-mana,” juru bicara UNRWA memperingatkan.
“Saat ada lalat, naluri alami kita adalah mengusirnya. Kita bahkan tidak memikirkannya. Di sini saya melihat anak-anak di rumah sakit dengan 10 atau 15 lalat terbang di sekitar kepala mereka dan mereka bahkan tidak terganggu karena terbiasa dengan serangga tersebut.”
Kebersihan
Serangan Israel telah menyebabkan 39.000 kematian, namun kondisi kebersihan yang buruk di Jalur Gaza kemungkinan dapat menambahkan angka kematian tersebut.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet, sekelompok peneliti memproyeksikan, dengan mempertimbangkan angka-angka dari konflik lain, bahwa kematian tidak langsung di Gaza bisa mencapai 186.000 jiwa.
Perkiraan tersebut dipertanyakan oleh para ilmuwan lain, namun terlepas dari proyeksi tersebut, kenyataan di lapangan sudah membuktikannya: satu dari empat warga Gaza, atau 26% dari total populasi, menderita sakit parah akibat penyakit yang mudah dicegah, menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hingga 28 Mei, tercatat 729.909 kasus penyakit terkait air dan sanitasi.
Yang menjadi perhatian khusus adalah 485.300 kasus diare cair akut, termasuk 112.882 anak di bawah usia 5 tahun, serta 9.700 kasus diare berdarah (dugaan disentri) dan 81.000 kasus penyakit kuning akut (dugaan hepatitis A).
Sebagian besar penduduk tidak memiliki apa-apa untuk mencuci diri atau pakaian atau barang-barang mereka karena hampir tidak ada sabun akibat blokade.
“Apoteker UNRWA mengatakan kepada kami bahwa mereka terus-menerus mengobati anak-anak yang menderita diare, kutu, penyakit kulit, bisul karena tidak mandi, namun penyakit tersebut tidak sembuh karena anak-anak tersebut kembali mengalami kondisi tidak sehat yang sama yang menyebabkan penyakit itu sendiri,” kata Louise Wateridge.
Hal yang sama terjadi di rumah sakit, di mana kurangnya produk pembersih dan disinfektan akibat blokade Israel menyebabkan pasien yang terluka parah terbaring di kasur yang berlumuran darah.
Dokter pun harus bekerja di unit perawatan intensif dengan jendela terbuka dengan banyak lalat dan nyamuk masuk karena kekurangan bahan bakar untuk menyalakan AC.
“Di rumah sakit Nasser, pekan lalu, para dokter sedang membersihkan luka parah akibat pemboman air karena tidak ada yang lain. Rumah sakit itu penuh dengan anak-anak yang kehilangan anggota tubuh,” keluh juru bicara badan pengungsi Palestina. “Ini mengerikan.”