Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Pajak Naik: Kenaikan PPN hanya 1% tapi Berisiko Tinggi dan 'Masyarakat Teriak'
31 Maret 2022 7:16 WIB
·
waktu baca 5 menitKenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN, yang akan dimulai Jumat 1 April 2022, dinilai pengamat ekonomi tidak tepat karena tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Sementara itu, Kementerian Keuangan bersikukuh menaikkan PPN sebesar 1 persen menjadi 11% dan menyebut inflasi masih berada dalam perkiraan pemerintah.
Namun, di lapangan, masyarakat, khususnya kalangan buruh tak punya pilihan untuk memangkas pengeluaran, termasuk untuk makan sehari-hari.
Berikut hal-hal yang sejauh ini diketahui tentang kenaikan PPN hingga 11%.
Mulai kapan rencana PPN dinaikkan?
Pajak pertambahan nilai atau PPN adalah pungutan pemerintah yang berasal dari setiap transaksi jual-beli barang atau jasa yang dibebankan kepada konsumen.
Namun, pembayaran kepada pemerintah melalui wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PPN diatur dalam Undang Undang No. 8 tahun 1983. Dalam regulasi ini disebutkan PPN tarifnya sebesar 10%.
Melalui aturan turunannya, besaran tarif ini bisa diubah minimal 5% dan maksimal 10%. Ketentuan ini tak berubah meski Undang Undang tersebut diubah pada 2009.
Namun, pada Undang Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ketentuan besaran tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%. Aturan ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021.
Pada BAB IV Pasal 7, disebutkan tarif PPN sebesar 11% mulai berlaku April 2022; dan sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Dengan kata lain, pemerintahan Joko Widodo adalah yang pertama menaikkan PPN sejak era orde baru.
Kenaikan pajak yang dibebankan pada konsumen ini berlangsung di tengah kenaikan barang kebutuhan, seperti minyak goreng, cabai, beras dan gula menjelang ramadan.
Apa yang melatarbelakangi kenaikan PPN?
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini rata-rata tarif PPN dari negara-negara yang tergabung dalam organisasi Keja Sama dan Pemnbangunan Ekonomi (OECD), berada di posisi 15%.
"Indonesia ada di 10 persen. Kita naikkan 11 (persen) dan nanti 12 (persen) pada tahun 2025," kata Menkeu sambil menambahkan, "Tapi Indonesia tidak berlebih-lebihan".
Selain itu, Menteri Sri Mulyani juga menekankan pajak merupakan gotong royong dari sisi ekonomi Indonesia dari yang relatif mampu. Hal ini karena pajak yang dikumpulkan akan digunakan kembali kepada masyarakat.
Apa saja barang-barang yang bebas PPN?
Tak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Berdasarkan UU HPP, jenis barang yang tidak dikenai PPN:
Sebagian barang dan jasa yang ditetapkan tak dikenai PPN ini, tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Lebih rinci tentang PPN nantinya akan dijelaskan melalui peraturan pemerintah. Namun, hingga Rabu (30/03) atau dua hari pemberlakuan PPN 11%, aturan ini belum dipublikasi pemerintah.
Bagaimana pun, sebagian harga barang ini telah mengikuti mekanisme pasar, termasuk kedelai yang berpengaruh terhadap produk turunannya seperti tahu dan tempe.
Kenapa kenaikan 1% berdampak besar?
Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani mengatakan meskipun kenaikan PPN sebesar 1%, tetap akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Karena sudah pasti kenaikan PPN ini dikenakan atas masyarakat, bukan oleh pengusahanya," kata Ajib.
Ia memperkirakan kenaikan PPN ini dapat menyumbang pada angka inflasi, dan menekan target pertumbuhan ekonomi. "Jadi kalau pun pemerintah membuat target ekonomi tinggi, di atas 5% misalnya. Tapi kalau inflasinya tinggi, itu sama juga bohong," katanya.
Sementara, pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengilustrasikan harga sepotong ayam goreng seharga Rp10.000, bisa naik hingga Rp11.600 jika kenaikkan PPN 1% diterapkan. Sebab, bahan-bahan produksinya juga ikut naik karena beban PPN.
"Sekarang kita realita saja, minyak gorengnya saja sudah naik," katanya.
"Masyarakat yang sudah berada dalam situasi teriak. Ini risikonya tinggi. Naikin inflasi lewat naikin harga PPN. Harga pangannya naik. Harga energi naik. Pajak naik. Kalau masyarakatnya nggak kuat, kan jadi risiko sosial politik," tambah Rizky.
Ia juga menyayangkan pemerintah masih belum bisa mengerem belanja negara "terutama kan pengen punya IKN."
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan tak ada penundaan kenaikan PPN. Kata dia, inflasi "masih berada dalam target pemerintah 2-4% untuk tahun 2022."
"Itu sudah termasuk dari dampak semua harga yang kita pantau, per saat ini. Dan, juga termasuk kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%.
"Nah, kita pastikan kebijakan-kebijakan yang sudah kita rencanakan dengan baik ini, kita pastikan dampak terhadap masyarakatnya tetap terjaga," kata Febrio.
Bagaimana reaksi dari masyarakat?
Sari Hidayani, adalah buruh di sebuah pabrik alas kaki di Tangerang, Banten, yang selama masa pagebluk gajinya tidak pernah naik.
Belakangan ini, ia harus mengerem pengeluaran, karena harga kebutuhan pokok naik ditambah lagi akan ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Yang paling sering dipangkas, ya kebutuhan seperti makan," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/03).
Sementara itu, kantong Upi Tri Asniwati tetap terguncang, karena harga barang kebutuhan sehari-hari yang terus merangkak naik.
Buruh pabrik tas di Jawa Barat, sekaligus orang tua tunggal tiga anak yang punya penghasilan sekitar tiga juta rupiah per bulan ini, mengatakan sudah cukup dalam kesulitan sejauh ini.
"Untuk saya pribadi, sangatlah pusing untuk mengatur keuangan seperti apa. Dari produktivitas juga, lemburan lagi tidak banyak," kata Upi.