Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Perjalanan Ibu dan Anak Desa di Jawa Tengah Jadi Korban Kerja Paksa di Malaysia
3 Februari 2022 8:11 WIB
·
waktu baca 12 menitSeorang ibu dan anaknya yang disebut "sebagai korban perdagangan orang dan kerja paksa" di Malaysia, menceritakan apa yang mereka alami, mulai dari dijanjikan kerja dengan upah besar oleh perekrut sampai tak digaji.
Lasri dan anaknya Nur Kholifah, yang berasal dari desa Bogorejo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dibantu oleh seorang pekerja migran lain untuk keluar dari rumah majikan dan ditampung di KBRI, Malaysia.
Mereka bekerja di Malaysia sejak November 2019 dan mengatakan belum digaji saat disuruh keluar tanpa diberi upah.
"(Yang dijanjikan saya kerja) membantu di rumah, ngasuh anak. Bukan kerja di kilang (pabrik suku cadang kendaraan milik majikan). Tapi di sini kerja 24 jam dari pagi sampai tengah malam...tidak hanya di rumah, tapi juga di kilang," cerita Lasri.
"Anak yang sakit (usia 21 tahun dan lumpuh dan harus dijaga) tidak tidur kalau malam. Tapi begitu di kilang pagi hari, kami ngantuk dan kena marah. Tidak pernah berhenti. Disuruh lap meja. Baru mau makan, dipanggil lagi, kalau enggak buru-buru, dimarahi," cerita Lasri. Putrinya, Nur Kholifah mengatakan berat badannya turun sekitar 17 kilogram karena kondisi yang mereka alami.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan apa yang dialami ibu dan anak ini hanya puncak gunung dari kasus "kerja paksa" yang banyak menimpa pekerja migran Indonesia di sektor rumah tangga.
"Gaji tak dibayar, ada yang sekitar setahun, ada yang 12 tahun, delapan tahun, sembilan tahun, ini sangat biasa. Majikan dengan sengaja tak memberi gaji ini sebetulnya salah satu bentuk forced labour (kerja paksa)."
"Orang tak bisa lari karena gaji ditahan. Ini sangat sangat biasa. Mungkin cukup masif kasus seperti ini. Apa yang bisa kita ungkap baru sebagian kecil, puncak gunung es. Banyak orang yang ingin minta pertolongan tapi tak mampu, mereka tak boleh pegang HP, tak boleh keluar rumah. Jadi kasus forced labour, di sektor rumah tangga, cukup masif," kata Hermono kepada BBC News Indonesia.
Hermono juga mengatakan "kerja paksa" ini dilakukan oleh mereka di semua tingkatan masyarakat, dari "orang biasa sampai terhormat, dari pejabat sampai orang biasa."
Juli tahun lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan kejahatan utama Malaysia dalam perdagangan manusia adalah kerja paksa.
AS menurunkan tingkat Malaysia ke Tier-3, tingkatan terendah dalam laporan tahunan tindak pidana perdagangan orang.
Laporan itu menyebutkan, Malaysia terus "melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, dan tidak menangani atau menyelesaikan tuduhan yang kredibel tentang perdagangan tenaga kerja."
Diantar perekrut ke Malaysia
Pada awal November 2019, Lasri, 53, dan anaknya Nur Kholifah, 21, mengaku ditawari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia oleh Ali Ahmadi, yang tinggal tak jauh dari desa mereka.
Ali yang pernah menjadi pekerja migran di Malaysia kini membuka toko serba ada (toserba) dan juga bekerja sebagai agen tiket pesawat. Lasrini mengaku, Ali mengantarkan ia dan anaknya ke Malaysia hingga bertemu calon majikannya di Johor Baru.
Bahkan, Lasri dan anaknya menyebut Ali sebagai pemasok pembantu rumah tangga untuk majikan yang sama selama lebih dari 10 tahun. Mereka mengatakan bertemu dengan pembantu lain asal Indonesia yang juga diantar oleh Ali.
Ali Ahmadi - yang dijumpai oleh wartawan Arif Syaefudin di Rembang, Rabu (02/02) - mengaku menawarkan pekerjaan sebagai PRT dan mengantarkan langsung mereka ke Malaysia.
Kepada wartawan Arif Syaefudin yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Ali membantah terlibat dalam pengurusan surat kerja Lasri dan anaknya.
Dubes Hermono mengatakan cara Lasri dan anaknya "agak kurang lazim karena diantar langsung perekrut di Malaysia" di tengah kekurangan tenaga kerja termasuk pembantu rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir.
"Dibawa langsung oleh orang yang rekrut. Agak kurang lazim. Di sini, dijual, dipekerjakan karena Malaysia menghadapi kekurangan tenaga kerja, termasuk PRT, jadi banyak majikan yang mau menerima walaupun tak ada dokumen dan statusnya ilegal."
Kerja 24 jam, biaya nasi putih dan lauk makanan dipotong dari gaji
Kedua ibu dan anak ini mengaku bekerja tanpa henti. Pagi hari, mereka membersihkan rumah. Setelah selesai mereka bekerja di kilang (pabrik suku cadang kendaraan milik majikan) hingga tutup.
Setelah itu, malam harinya, mereka kembali ke rumah untuk merawat anak majikan berusia 21 tahun yang lumpuh - memandikan, memberi makan, hingga menemani tidur.
"Kalau malam, anak majikan tidak mau tidur. Sehingga kami tidak tidur, jadi kerja satu hari satu malam tidak berhenti," kata Lasri.
Mereka mengatakan sudah berkali-kali menyatakan ingin keluar dan pulang ke Indonesia karena pekerjaan yang terlalu berat.
Namun, majikan selalu mengancam akan melaporkan ke polisi karena mereka tidak memiliki dokumen kerja yang legal, dan itu menyurutkan niat mereka.
Selain paspor, menurut Lasri dan Kholifah, majikan menahan telepon seluler dan hanya mengizinkan perangkat komunikasi itu digunakan sesekali.
Kediaman majikan juga selalu dikunci dan mereka terpaksa "curi-curi ke luar rumah untuk beli lauk, karena tidak boleh keluar."
"Handphone punya sendiri tak dikasih, kalau minta uang (gaji), marah seperti ke binatang…tapi majikan bilang kalau kami keluar dan tak punya surat, pasti ditangkap polisi dan dia bilang tak mau mengakui kami sebagai pembantu mereka," kata Nur Kholifah kepada wartawan di Malaysia, Vinothaa Selvatoray, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Lasri dan Kholifah mengatakan, selama bekerja dengan jam panjang, mereka "hanya diberikan nasi putih dan untuk lauk makanan akan dipotong gaji…Sementara roti dan kopi untuk sarapan juga harus menggunakan uang sendiri, dan makan malam mendapat sisa makanan setelah majikan selesai."
Walau jam kerja panjang dan tak menentu, Lasri mengatakan tidak pernah mengalami kekerasan fisik. Namun, "pernah disiram air, anak saya diludahi di depan saya, dan diancam pakai kayu rotan, 'kalau macam-macam, kamu saya bunuh pakai ini'".
Niat mereka untuk keluar dari "kerja paksa" akhirnya terlaksana pada pertengahan Januari lalu.
Mereka dibantu Pipih Sofyiah, tenaga migran yang mendapatkan informasi bahwa keduanya memerlukan bantuan dari kedai makan, tempat mereka membeli lauk. Pipih juga aktif dalam LSM Sarbumusi Malaysia, (Syarikat Buruh Muslim Indonesia), badan yang memperjuangkan hak-hak para pekerja.
Pipih mengatakan, ia meminta mereka melalui telpon agar tidak menandatangani apapun seperti yang diminta majikan saat keluar.
Lasri dan Kholifah akhirnya diantar Pipih ke tempat penampungan di KBRI, Kuala Lumpur.
'Kerja paksa' terjadi di semua level
Dubes Hermono mengatakan kasus "kerja paksa" yang dialami para pembantu rumah tangga ini terjadi dalam semua level masyarakat di Malaysia.
"Menurut saya forced labour (kerja paksa) yang paling parah dan masih ada adalah di sektor rumah tangga dan ini tak pernah ditangani secara serius. Makanya kami minta, Malaysia tandatangani MOU (perlindungan tenaga kerja) atau kita tetap stop pengerahan tenaga kerja."
Hermono mengatakan yang dilakukan KBRI bila ada kasus gaji tak dibayar adalah menghubungi majikan dan akan mengontak polisi bila majikan tak bisa dihubungi atau tak mau bekerja sama menyelesaikan masalah, atau ada kasus kekerasan fisik.
"Setiap hari dapat laporan seperti ini, kesimpulan saya di luar sana banyak sekali, tapi tak bisa dijangkau karena mereka di dalam rumah majikan."
"Ini masif, di seluruh level masyarakat dari orang biasa, sampai terhormat dari pejabat sampai orang biasa juga melakukan hal-hal yang sifatnya forced labour (kerja paksa), gaji tak dibayar, mempekerjakan undocumented workers (pekerja tak berdokumen resmi), tidak boleh berkomunikasi. Paspor ditahan, ini banyak sekali, kesimpulan saya ini masif, karena tiap hari terima laporan," kata Hermono lagi.
Dengan begitu banyaknya kasus pekerja migran tak berdokumen ini, kata Hermono, pihaknya juga tidak dapat melaporkan apapun ke Kementerian Tenaga Kerja setempat dan diselesaikan pihak KBRI.
Dari 2017 sampai tahun ini terdapat lebih dari 1.700 pekerja migran yang ditampung di penampungan KBRI di Kuala Lumpur dengan sebagian besar kasus gaji tak dibayar.
Untuk kasus Larsini dan Kholifah, kata Hermono, KBRI berhasil menagih dan majikan telah membayar gaji mereka masing-masing sebesar RM7.500 (Rp25.7 juta) dan ongkos pulang sekitar RM1.500 (Rp5,1 juta). Keduanya direncanakan akan dipulangkan pada Jumat (04/02).
Hermono juga mengatakan berdasarkan UU Keimigrasian Malaysia, pekerja gelap dan majikan yang mempekerjakan "harus sama-sama dikenakan hukuman."
"Tapi dalam praktiknya, jarang majikan yang dikenakan sanksi. Jadi tak ada efek jera. Saya melihatnya, justru ada preferensi majikan memilih pekerja yang tak punya dokumen resmi, lebih murah, tanggung jawab kurang, gaji bertahun-tahun tak dibayar. Ini masalahnya adalah penegakan hukum di Malaysia terhadap majikan yang mempekerjakan pekerja tak berdokumen dan melakukan forced labour, sangat lemah, jadi tak ada efek jera."
Tetapi Hermono juga mengatakan ia mengakui ada kelemahan di Indonesia dalam pencegahan praktik perdagangan orang.
"Persoalan sekarang ada dua isu, satu kelemahan pencegahan di dalam negeri, menyangkut banyak instansi, BP2MI, imigrasi, polisi dan TNI. Dalam beeberapa kasus yang kita jumpai, instansi yang seharusnya melakukan pencegahan, justru bagian dari masalah. Ini yang menjadi masalah," tambahnya.
Di Malaysia, menurutnya, ada juga faktor pendorong, yaitu kekurangan parah pekerja rumah tangga.
Hermono mengatakan pihaknya akan menginfokan institusi terkait untuk mengejar pelaku pengiriman ibu dan anak ini ke Malaysia.
Suami Lasrini: Keluarga Ali bilang kerjanya resmi
BBC News Indonesia mendatangi kediaman Lasri dan anaknya di Desa Bogorejo, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (02/02).
Rumahnya berdinding dan beralasan semen, dan di depan pintu tertulis keluarga miskin penerima bantuan.
Wartawan Arif Syaefudin yang melaporkan untuk BBC News Indonesia bertemu dengan suami Lasri, Muzammil.
Muzammil yang mengenakan baju putih menunjukkan foto anaknya, dan bercerita proses awal keberangkatan.
"Dulu saya tanya, itu resmi atau tidak. Keluarganya Ali bilang resmi, tahunya sekarang ternyata kan tidak. Soal visa, paspor seperti apa, katanya bersih, ternyata ilegal itu kan," kata Muzammil.
Bahkan Ali, katanya, bercerita kerja di Malaysia enak, terjamin dan gaji besar.
Ia menambahkan, istri dan anaknya berangkat pada 8 November 2019 ke Batam menggunakan jalur laut dan didampingi oleh Ali, padahal dijanjikan naik pesawat.
"Seingat saya pas berangkat waktu itu sempat dikasih uang Rp1,5 juta sama Pak Ali lewat istri saya," katanya.
Selama bekerja, kata Muzammil, istri dan anaknya selalu mengeluh dengan pekerjaan yang berat dan tidak menerima gaji.
"Istri saya digaji enam bulan sekali, itu juga berebut, marah-marah, sampai menangis-menangis. Bahkan anak saya dari awal sampai sekarang tidak digaji," keluhnya.
Muzammil berharap agar istri dan anaknya dapat segera pulang ke rumah.
Sementara itu, Nuroshyid, Kepala Desa Bogorejo, Rembang, Jawa Tengah, mengatakan, suami Larsi sempat mengontaknya dan memberitahukan bahwa istri dan anaknya ingin pulang.
"Istrinya, katanya sudah dua tahun kerja, katanya tidak bisa pulang, katanya tidak digaji, mau melarikan diri, dan katanya disuruh ke kedutaan, lapornya seperti itu," kata Nurosyid kepada BBC News Indonesia.
Nurosyid mengatakan tidak mengetahui apakah ibu dan anak itu pergi secara resmi atau tidak karena mereka berangkat ke negara jiran tersebut sebelum ia menjabat sebagai kepala desa.
Naik bus dan kapal dari desa ke Johor Baru - bertemu "Polwan Walinda"
Perjalanan Lasri dan putrinya ke Malaysia bermula setelah dijanjikan Ali Ahmadi, gaji sebesar RM1,200 (Rp4,1 juta) untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan mengasuh anak.
Mereka baru menyadari anak yang mereka harus jaga adalah orang dewasa lumpuh berusia 21 tahun dan harus dijaga termasuk dimandinkan.
Dari desa, mereka naik bus ke Semarang dan kemudian menuju Jakarta, menginap semalam.
"Dari Tanjung Priok (pelabuhan di Jakarta), ke Batam. Dua hari tiga malam. Naik Kapal Kelud. Paspor dibawa agen, dan suruh tandatangan. Kalau ditanya, bilang kamu mau berkunjung ke rumah Polwan Walinda," cerita Lasri tentang perjalanan ke Malaysia pada November 2019.
Nama Polwan Walinda diperkirakan adalah nama sandi untuk mereka yang terlibat dalam perekrutan gelap ini.
"Dari Batam naik kapal selama empat jam ke Johor Baru, dan tak ada imigrasi lagi (pemeriksaan) di sana. Sampai sekitar jam 05:00 pagi, melewati hutan sawit, dibawa mobil van tertutup dan kami tak bisa melihat sopir." sambungnya.
Ali, kata mereka, ikut mengantar mereka termasuk dengan satu orang calon pembantu rumah tangga juga.
Lasri dan Kholifah mengatakan mereka bertemu majikan di satu pusat perbelanjaan dan mereka melihat "Ali minta uang lagi ke majikan dan langsung diberikan."
Ali Ahmadi mengaku menawari pekerjaan
BBC News Indonesia menjumpai Ali Ahmadi di tokonya, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (02/02), yang di depannya terpampang spanduk bertuliskan Agen Tiket Pesawat Murah.
Ali mengaku menawarkan pekerjaan sebagai PRT ke Lasri, dan juga mengaku menemani mereka ke Malaysia setelah ditanya yang bersangkutan "ingin bekerja di luar negeri."
"Dua tahun lalu. Orang dia (Lasri) kerja di sebelah sini. Dia datang ke saya, bilang punya utang, bagaimana bayarnya. Saya bilang kamu harus kerja kuat, kalau di sini tidak cukup."
"Bagaimana kalau kerja ke luar negeri, bagaimana caranya. Lah saya ada kenalan di Malaysia, dulu kan saya pernah kerja di Malaysia. Saya kenal orang di Malaysia yang punya anak cacat dan minta pembantu."
"Lalu dia (Lasri) bilang, saya kalau boleh sama anak saya (ke sana), ya tidak masalah, saya hubungkan. Saya hubungi langsung sama majikan, akhirnya sudah deal, saya disuruh mengantarkan," ungkap Ali.
Ali menambahkan, ia mengurus dokumen seperti paspor dan surat rekomendasi yang menghabiskan Rp5 juta, dan itu utang majikan yang diganti ke Ali setelah bertemu di Malaysia.
"Majikan yang bilang, nanti Pak Ali uruskan, habis berapa saya tanggung," kata Ali.
Ali juga mengatakan utang Lasri - untuk bayar utang dan pengurusan paspor - sekitar RM2.000 dibayarkan majikan dan akan dipotong gaji empat bulan.
Perjanjian kerja dan apa yang mereka kerjakan, kata Ali, dibicarakan sendiri oleh Lasri dan majikan di Malaysia itu.
"Saya (hanya) menjual tiket dan mengantar saja," kata Ali tentang perannya.
Ali menjelaskan, ia mengantarkan mereka menggunakan pesawat sampai ke Batam, berbeda dengan keterangan Lasri yang menggunakan kapal.
Ali pun menegaskan, Lasri dan anaknya adalah satu-satunya TKI yang dikirimkan ke Malaysia.
"Sebelumnya tidak ada, Bu Lasri ini yang pertama, bahasnya coba-coba saja," katanya.
Ali sendiri juga mengatakan pernah bekerja di Malaysia pada 1992 dan dikirim ke sana melalui Kepulauan Riau.
Berdasarkan laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Juli tahun lalu, kerja paksa, seperti yang dialami Lasrini dan putrinya, adalah kejahatan utama dalam perdagangan manusia di Malaysia.
Laporan itu menyebutkan, Malaysia terus "melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, dan tidak menangani atau menyelesaikan tuduhan yang kredibel tentang perdagangan tenaga kerja."
Indonesia dan Malaysia belum menandatangani MOU tentang perlindungan pekerja migran. Indonesia mengatakan sepanjang MOU belum diteken, pengiriman pekerja ke negara itu secara resmi akan tetap dihentikan.