Konten Media Partner

Pernah Jadi Masalah Besar, Apa yang Terjadi dengan Lubang Ozon Bumi?

4 April 2022 15:32 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lapisan ozon terletak di antara 10-15km di atas permukaan Bumi.
zoom-in-whitePerbesar
Lapisan ozon terletak di antara 10-15km di atas permukaan Bumi.
Di tahun 1990-an, lubang di lapisan ozon yang menyelimuti planet ini adalah krisis global yang mendesak. Jika manusia mengabaikannya, hari ini kita akan mendapati ada beberapa lubang serupa.
Di akhir tahun 70-an, Jonathan Shanklin, seorang meteorologis di British Antarctic Survey, menghabiskan sebagian besar waktunya di kantornya yang terletak di Cambridge, berkutat dengan setumpuk data dari benua paling ujung di selatan Bumi.
Shanklin bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya digitalisasi catatan kertas dan nilai komputasi spektrofotometer Dobson - instrumen yang mengukur perubahan lapisan ozon yang ada di atmosfer.
Tahun berlalu, Shanklin mulai melihat ada sesuatu yang terjadi - setelah hampir dua dekade melakukan pengukuran yang cukup konstan, dia memperhatikan bahwa tingkat ozon mulai menurun pada akhir 1970-an.
Awalnya, para atasan Shanklin tidak sepakat dengan keyakinannya bahwa ada sesuatu yang terjadi - ini membuatnya frustrasi.
Pada tahun 1984, lapisan ozon di atas stasiun penelitian Teluk Halley di Antartika telah kehilangan sepertiga ketebalannya dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya.
Shanklin dan rekannya, Joe Farman dan Brian Gardiner, menerbitkan temuan mereka pada tahun berikutnya, menunjukkan adanya hubungan fenomena ini dengan senyawa buatan manusia yang disebut chlorofluorocarbons (CFC), yang digunakan dalam aerosol dan perangkat pendingin.
Penemuan mereka tentang penipisan lapisan ozon di atas Antartika ini kemudian dikenal sebagai lubang ozon.
Berita tentang penemuan kemudian menyebar dan membunyikan peringatan di seluruh dunia.
Proyeksi bahwa perusakan lapisan ozon akan berdampak buruk pada kesehatan manusia dan ekosistem memicu ketakutan publik, memobilisasi penyelidikan ilmiah dan mendorong pemerintah dunia untuk berkolaborasi dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun setelah era itu berlalu, pemberitaan tentang salah satu masalah lingkungan paling parah yang pernah dihadapi umat manusia seperti hilang dari radar.
Lebih dari 30 tahun sejak penemuannya, apa yang kini terjadi pada lubang di lapisan ozon?

Sebuah fenomena penting

Ozon sebagian besar ditemukan di stratosfer, lapisan atmosfer yang terletak antara 10 km hingga 50 km di atas permukaan bumi.
Lapisan ozon ini membentuk perisai pelindung tak terlihat di atas planet ini, menyerap radiasi sinar ultraviolet (UV) yang merusak dari matahari. Tanpa itu, kehidupan di Bumi tidak akan mungkin ada.
British Antarctic Survey pertama kali mulai mengukur konsentrasi ozon di atas Antartika pada 1950-an. Beberapa dekade sebelum masalah tampak terlihat.
Pada 1974, ilmuwan Mario Molina dan F. Sherry Rowland menerbitkan sebuah makalah yang berteori bahwa CFC dapat menghancurkan ozon di stratosfer Bumi.
Sampai saat itu CFC dianggap tidak berbahaya, tetapi Molina dan Rowland menyatakan bahwa asumsi itu salah.
Ilustrasi. Seorang anak menggunakan tabir surya saat beraktivitas di bawah terik matahari.
Temuan mereka ini diserang oleh industri, yang bersikeras produk mereka aman. Di antara para ilmuwan, penelitian mereka diperdebatkan.
Berbagai prakiraan menunjukkan bahwa penipisan ozon akan kecil - antara 2-4% - dan banyak yang mengira itu akan terjadi dalam jangka waktu berabad-abad.
Penggunaan CFC terus berlanjut dan pada 1970-an, zat ini ada di mana-mana di seluruh dunia, digunakan sebagai pendingin di lemari es dan AC, dalam kaleng semprot aerosol dan sebagai agen pembersih industri.
Baru pada satu dekade kemudian, pada tahun 1985, British Antarctic Survei mengkonfirmasi adanya lubang di lapisan ozon dan mengaitkannya dengan CFC - membenarkan teori Molina dan Rowland, yang akhirnya dianugerahi Hadiah Nobel 1995 dalam bidang kimia.
Lebih buruk lagi, penipisan terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
"Itu benar-benar sangat mengejutkan," kata Shanklin, sekarang seorang rekan emeritus di British Antarctic Survey.
Sejak saat itu, para ilmuwan berlomba-lomba untuk mencari tahu bagaimana dan mengapa ini terjadi.

Sebuah misteri kimia

Pada tahun 1986, saat musim dingin Antartika hampir berakhir, Susan Solomon, seorang peneliti dari Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional pemerintah AS, memimpin tim ilmuwan ke Pangkalan McMurdo untuk mencari jawaban.
Pada saat itu, para ilmuwan memperdebatkan tiga kemungkinan teori, salah satunya diusulkan oleh Solomon: bahwa jawabannya mungkin terletak pada sifat kimia di awan stratosfer area Kutub yang permukaannya mengandung klorin.
Ini hanya terjadi pada garis lintang tinggi dan hanya terbentuk selama suhu yang sangat rendah di musim dingin kutub.
"Itu adalah misteri besar," kata Solomon, yang sekarang profesor kimia atmosfer dan ilmu iklim di MIT. Penelitiannya menjelaskan bagaimana dan mengapa lubang ozon terjadi di Antartika.
"Semua data menunjukkan kombinasi peningkatan klorin dari penggunaan CFC oleh manusia dan keberadaan awan stratosfer kutub sebagai pemicu apa yang terjadi."
Poster tentang peningkatan kesadaran soal ozon di India.
Pemantauan satelit mengkonfirmasi penipisan ozon meluas di wilayah yang luas, sebesar 7,7 juta mil persegi (20 juta km persegi).
Ancaman serius yang ditimbulkan oleh penipisan ozon - meningkatnya kanker kulit dan katarak pada manusia, kerusakan pada pertumbuhan tanaman, tanaman pertanian dan hewan dan masalah reproduksi pada ikan, kepiting, katak dan fitoplankton, dasar dari rantai makanan laut - mendorong tindakan internasional dan berbagai kolaborasi.
Tetapi mengingat betapa seriusnya ancaman lubang ozon, mengapa sekarang kita tidak sering mendengarnya lagi?
"Karena ini bukan peringatan keras yang sama seperti dulu lagi," kata Laura Revell, profesor fisika lingkungan di University of Canterbury, Selandia Baru.
Sebagian besar karena langkah-langkah yang ditempuh secara internasional untuk mengatasi masalah ini sangat besar, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Kulkas yang diproduksi sebelum 1995 mengandung zat pendingin CFC, yang - bersama dengan zat perusak ozon lainnya - menjadi penyebab munculnya lubang ozon
Berpikir bahwa penipisan ozon akan kecil dan jauh ke masa depan, para pembuat kebijakan internasional awalnya mengambil pendekatan yang hati-hati untuk perlindungan ozon.
Pada tahun 1977, sebuah rencana aksi global diadopsi, menyerukan pemantauan ozon dan radiasi matahari.
Berbagai penelitian tentang efek penipisan ozon pada kesehatan manusia, ekosistem dan iklim dan penilaian biaya-manfaat dari tindakan pengendalian dilakukan.
Beberapa bulan sebelum penemuan lubang ozon oleh para ilmuwan Inggris, Konvensi Wina pada 1985 menyerukan penelitian lebih lanjut.
Tapi itu tidak termasuk kontrol yang mengikat secara hukum untuk pengurangan CFC, sehingga mengecewakan banyak orang.
Setelah penemuan lubang ozon tersebut, investasi besar dalam hal penelitian ilmiah, pengumpulan sumber daya ekonomi, dan tindakan politik internasional yang terkoordinasi membantu membalikkan keadaan.
Pada tahun 1987, Protokol Montreal diadopsi untuk melindungi lapisan ozon dengan menghapus secara bertahap bahan kimia yang mengikisnya.
Untuk mendukung kepatuhan, perjanjian tersebut mengakui "tanggung jawab bersama tetapi berbeda", jadwal penghentian bertahap untuk negara maju dan berkembang dan pembentukan dana multilateral untuk memberikan bantuan keuangan dan teknis untuk membantu negara berkembang memenuhi kewajiban mereka.
Selama tahun 1990-an dan awal 2000-an, produksi dan konsumsi CFC dihentikan. Pada tahun 2009, 98% bahan kimia yang disetujui dalam perjanjian telah dihapuskan.
Enam amandemen - yang diizinkan perjanjian ketika bukti ilmiah menunjukkan tindakan lebih lanjut diperlukan - menyebabkan pembatasan yang semakin ketat pada zat yang diperkenalkan untuk menggantikan CFC, seperti hidroklorofluorokarbon (HCFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).
Meskipun baik untuk lapisan ozon, penggantian ini ternyata buruk bagi iklim. Potensi pemanasan global dari HCFC yang paling umum digunakan, misalnya, hampir 2.000 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.
Manfaat perjanjian iklim telah menjadi efek samping positif.

Pengurangan emisi

Pada 2010, pengurangan emisi karena Protokol Montreal adalah antara 9,7 hingga 12,5 gigaton setara CO2, kira-kira lima hingga enam kali lebih banyak dari target Protokol Kyoto, sebuah perjanjian internasional yang diadopsi pada tahun 1997 yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Adopsi Amandemen Kigali 2016, yang akan membatasi penggunaan HFC, akan membantu menghindari pemanasan global hingga 0,5 C pada tahun 2100.
"Anda dapat berargumen [Protokol Montreal] adalah undang-undang perlindungan iklim yang jauh lebih berhasil daripada perjanjian [iklim] lainnya yang kami miliki hingga saat ini," kata Revell.
Sejak diadopsi, Protokol Montreal telah ditandatangani oleh setiap negara di Bumi - hingga saat ini satu-satunya perjanjian yang diratifikasi secara universal. Ini secara luas dianggap sebagai kemenangan kerja sama lingkungan internasional.
Menurut beberapa model, Protokol Montreal dan amandemennya telah membantu mencegah hingga dua juta kasus kanker kulit setiap tahun dan menghindari jutaan kasus katarak di seluruh dunia.
Krisis ozon mengharuskan umat manusia untuk bekerja sama.
Seandainya dunia tidak melarang CFC, kita sekarang akan mendapati diri kita mendekati penipisan ozon besar-besaran .
"Pada tahun 2050, dapat dipastikan nyaris seluruh planet akan memiliki ozon yang berlubang-lubang, dan planet ini akan menjadi tidak layak huni," kata Solomon.
Solomon memuji tiga faktor untuk tindakan cepat mengatasi masalah: bahaya yang jelas dan memperlihatkan bahaya yang ditimbulkan oleh lubang ozon terhadap kesehatan manusia menjadikannya personal bagi orang-orang, citra satelit yang jelas membuatnya terlihat dan ada solusi praktis untuk itu - zat perusak ozon bisa menjadi diganti dengan cukup cepat dan mudah.

Pemulihan yang lama

Saat ini, lubang ozon masih ada, terbentuk setiap tahun di atas Antartika pada musim semi.
Lubang itu akan menutup lagi selama musim panas karena udara stratosfer dari garis lintang yang lebih rendah bercampur, menambalnya sampai musim semi berikutnya ketika siklus dimulai lagi.
Tapi ada bukti bahwa lubang itu mulai menghilang - dan pulih kurang lebih seperti yang diharapkan, kata Solomon. Berdasarkan penilaian ilmiah, lapisan ozon diperkirakan akan kembali ke tingkat sebelum tahun 1980 sekitar pertengahan abad ini.
Penyembuhannya lambat karena umur molekul perusak ozon yang panjang. Beberapa bertahan di atmosfer selama 50 hingga 150 tahun sebelum meluruh.
Terlepas dari keberhasilan keseluruhan Protokol Montreal, ada kemunduran. Pada tahun 2018, misalnya, konsentrasi CFC-11, yang dilarang sejak 2010, ternyata tidak turun secepat yang diharapkan, menunjukkan bahwa ada emisi yang tidak diumumkan berasal dari suatu tempat.
Badan Investigasi Lingkungan melacak emisi ke pabrik-pabrik di China, yang memproduksinya untuk digunakan dalam busa insulasi.
Setelah diumumkan, pemerintah China dengan cepat menindak dan para ilmuwan mengatakan kita sekarang telah kembali ke jalurnya.
Bagi Shanklin, ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan jangka panjang variabel lingkungan, apakah itu CFC, suhu, atau indikator keanekaragaman hayati.
"Jika kita tidak memantau, maka kita tidak tahu apakah kita dalam masalah atau tidak, dan jika Anda tidak tahu Anda dalam masalah, Anda tidak dapat mengambil tindakan pencegahan. Saya pikir itu bagian penting dari cerita ini."
Dan masa depan bukannya tanpa risiko. Letusan gunung berapi besar biasanya mengakibatkan hilangnya ozon jangka pendek, sementara nitrous oxide, gas rumah kaca yang kuat yang dipancarkan dari aplikasi pupuk di pertanian, juga merupakan zat perusak ozon yang kuat.
Namun, zat-zat ini tidak dikendalikan oleh Protokol Montreal, Revell menjelaskan - dan emisi terus meningkat.
Lubang ozon terbuka di atas Antartika setiap musim semi dan menutup lagi selama musim panas. Lubang ini berhenti tumbuh pada 1990-an dan terus menyusut.
Ada juga aktivitas yang dampaknya belum sepenuhnya kita pahami tetapi mungkin menimbulkan risiko, seperti peluncuran roket dan rekayasa geo sulfat - gagasan bahwa kita dapat mencegah efek buruk pemanasan global dengan memompa aerosol ke stratosfer untuk mendinginkan iklim, dengan menyebabkan sinar matahari dipantulkan dari partikel aerosol tersebut.
"Sangat penting untuk mengingat pelajaran yang dipetik dari kisah lubang ozon dan memastikan kita terus menyadari apa yang terjadi di stratosfer," kata Revell.
"Risikonya adalah kita menyebabkan beberapa kerusakan tak terduga pada lapisan ozon jika penilaian semacam itu tidak dilakukan sebelumnya."
Ada kecenderungan untuk membandingkan lubang ozon dengan perubahan iklim, namun sementara Protokol Montreal menunjukkan bahwa kita dapat mengatasi masalah lingkungan yang besar, perbandingannya hanya sejauh ini.
CFC adalah komponen yang dapat diganti dari beberapa produk. Cakupan perubahan iklim membuatnya jauh lebih sulit untuk ditangani; bahan bakar fosil meresap sepanjang gaya hidup kita, mereka tidak dapat diganti dengan mudah dan sebagian besar pemerintah dan industri, sejauh ini, menolak pengurangan emisi bahan bakar fosil.
Bagi Shanklin, sangat menyedihkan bahwa kita berakhir di tempat kita sekarang terkait perubahan iklim. Kita masih berbicara tentang apa yang mungkin kita lakukan, ketika sudah ada contoh yang jelas untuk dipelajari.
"Munculnya lubang ozon menunjukkan betapa cepatnya kita dapat mengubah lingkungan planet kita menjadi lebih buruk dan pelajaran itu tidak ditanggapi dengan cukup serius oleh para politisi," kata Shanklin.
"Perubahan iklim adalah masalah yang lebih besar. Tapi itu tidak berarti para politisi dapat lari dari tanggung jawab untuk membuat keputusan yang diperlukan."
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, What happened to the world's ozone hole?bisa Anda simak di laman BBC Future.