Konten Media Partner

Puluhan Ribu Orang Berunjuk Rasa Menuntut Keadilan bagi Korban Tragedi Itaewon

7 November 2022 9:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pengunjuk rasa di dekat lokasi kejadian di Itaewon memegang posters bertuliskan: "Pada 6:34 negara tidak hadir [untuk para korban]"
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjuk rasa di dekat lokasi kejadian di Itaewon memegang posters bertuliskan: "Pada 6:34 negara tidak hadir [untuk para korban]"
Oleh Tessa Wong dan Youmi Kim
BBC News, Seoul
---
Sambil memegang lilin putih dan poster hitam, para pengunjuk rasa yang berkumpul di seluruh Seoul, Korea Selatan, berduka atas meninggalnya para anak muda dalam tragedi Itaewon - dan menyampaikan teguran keras kepada pemerintah.
Kemarahan publik terus meningkat atas tragedi terbesar di Korea Selatan dalam hampir satu dekade itu. Ribuan orang berkumpul untuk berdoa dan berdemo di seluruh ibu kota.
Pada 29 Oktober, kerumunan massa yang mematikan menewaskan 156 orang - kebanyakan anak muda - dan melukai 196 lainnya saat perayaan Halloween di distrik Itaewon, yang terkenal dengan kehidupan malamnya.
Dalam sepekan, pihak berwenang melakukan penyelidikan, menggerebek kantor pemerintahan kota dan polisi setempat, serta stasiun pemadam kebakaran.
Kepala kepolisian nasional telah meminta maaf, seperti halnya Presiden Yoon Suk-yeol, yang telah berjanji untuk meningkatkan tindakan pengendalian massa di masa depan.
Namun, itu belum cukup untuk memuaskan dahaga publik akan keadilan.
Banyak yang merasa sangat malu karena pihak berwenang telah gagal melindungi anak-anak mudanya - sebuah ironi bagi negara yang dikenal dengan citra anak mudanya yang dipopulerkan melalui K-pop di panggung internasional.
Para pengunjuk rasa menyalakan lilin untuk memperingati kematian 156 orang dalam tragedi Itaewon.
Baca juga:
Ribuan orang turun ke jalan untuk berunjuk rasa di dekat Balai Kota Seoul.
Pada Sabtu, aktivis dan kelompok politik memimpin gelombang kemarahan itu dengan setidaknya tujuh aksi duka dan protes di seluruh ibu kota.
Yang terbesar digelar oleh Candlelight Action, aliansi kelompok progresif yang rutin mengadakan protes politik terhadap Presiden Yoon, bahkan sebelum tragedi Itaewon.
Mereka melakukan aksinya di dekat Balai Kota. Dua jalur jalan utama ditutup untuk menampung puluhan ribu pengunjuk rasa.
Banyak yang membawa poster berwarna hitam yang bertuliskan "Mundur adalah ungkapan belasungkawa". Pesan itu ditujukan untuk Presiden Yoon.
Di atas panggung, para pembicara bergiliran menentang pemerintah dalam pidato-pidato yang diselingi dengan pertunjukan lagu-lagu sedih dan doa-doa yang dibacakan oleh para biksu Buddha.
"Meskipun pemerintah jelas bertanggung jawab, mereka mencari pelaku dari organisasi yang tidak relevan ... insiden itu terjadi karena pemerintah tidak memainkan peran yang sangat mendasar," kata salah satu pembicara.
"Mundur, pemerintahan Yoon Suk-yeol! Mundur, pemerintahan Yoon Suk-yeol!" kerumunan meneriakkan kalimat itu sambil melambaikan lilin dan poster mereka.
Sebelumnya, di hari yang sama di Itaewon, 200 pengunjuk rasa dari berbagai kelompok politik pemuda berkumpul di dekat lokasi kejadian.
Mengenakan pakaian hitam dan masker wajah, mereka mengangkat tinggi-tinggi poster yang bertuliskan: "Pada pukul 6:34 negara hadir [untuk para korban]".
Kalimat itu mengacu pada panggilan darurat pertama ke polisi, beberapa jam sebelum tragedi itu benar-benar terjadi. Total ada 11 panggilan yang dilakukan malam itu.
Setelah hening selama satu menit sambil menghadap ke gang, kepala mereka tertunduk, dan mereka berbaris tanpa bersuara, menyusuri jalan raya utama Itaewon yang sibuk.
Mereka memegang bunga krisan putih, yang dalam budaya Korea merupakan bunga kesedihan, dan poster hitam bertuliskan: "Kita bisa menyelamatkan para korban dan pemerintah harus mengakui tanggung jawab mereka."
"Awalnya saya merasa sedih. Tapi sekarang saya marah. Saya di sini karena kejadian ini sebenarnya bisa dicegah. Orang-orang itu seumuran dengan saya," kata mahasiswa berusia 22 tahun, Kang Hee-joo.
Di pemberhentian terakhir mereka, sebuah tugu peringatan perang, para aktivis pemuda itu bergiliran menyampaikan pidato.
"Masyarakat ini tidak normal, kita tidak aman. Pemerintah tidak memenuhi tanggung jawabnya, mengorbankan anak-anak muda ... pelajaran apa yang kami petik dari kejadian Sewol?" kata salah satu pembicara, merujuk pada bencana feri 2014 yang menewaskan lebih dari 300 orang, sebagian besar siswa sekolah menengah.
"Mereka selalu menjanjikan perubahan di setiap pemilu. Tapi kenapa selalu ada bencana sosial? Ini yang dipertanyakan anak muda," kata yang lain.
Dua jalur jalan utama ditutup untuk menampung puluhan ribu pengunjuk rasa di Seoul.
Kembali ke Balai Kota, lautan lilin berkelap-kelip saat malam tiba, menyinari wajah para pengunjuk rasa yang memakai masker dalam cahaya yang hangat. Banyak dari mereka adalah orang setengah baya atau lebih tua.
Yeom Sung-won, yang memiliki dua anak yang masih kecil, masih bisa mengingat dengan jelas insiden Sewol.
"Kejadian itu sangat menyedihkan. Dan sulit dipercaya kejadian serupa terjadi lagi. Itu sebabnya saya datang ke sini," kata arsitek berusia 59 tahun itu dengan mata berkaca-kaca. "Hati saya hancur, ini sangat tidak masuk akal."
"Pemerintah telah mengabaikan mereka. Seharusnya melindungi warganya dan mengamankan keselamatan mereka, apa pun yang terjadi."