Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Setahun Kematian Mahsa Amini, Perempuan Iran: Saya Bebas Memakai Busana Apa Saja
16 September 2023 10:00 WIB
·
waktu baca 10 menitSetahun pascakematian Mahsa Amini, yang kehilangan nyawa di dalam tahanan usai ditangkap karena tuduhan melanggar aturan hijab, bagaimana kehidupan perempuan di Iran kini?
Seorang perempuan muda menyusuri jalan Kota Teheran dengan rambut yang terurai dan celana jins robek. Sedikit bagian perutnya tampak, terkena panas matahari.
Di dekatnya, sepasang kekasih yang belum menikah berjalan bergandengan tangan.
Perempuan muda itu mengangkat kepalanya dengan tegak ketika diminta oleh polisi moral Iran untuk mengenakan jilbab.
Dia berkata kepada mereka: "Sialan kalian!"
Aksi pembangkangan terhadap kesatuan polisi yang sebelumnya ditakuti itu hampir tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat Iran tahun lalu.
Pembangkangan itu dapat terjadi setelah kematian Mahsa Amini.
Perempuan 22 tahun itu meninggal dunia di dalam tahanan polisi moral, setelah dituduh tidak mengenakan jilbab dengan benar.
Hukum jilbab yang 'dilanggar'
Protes massal yang selama berbulan-bulan mengguncang Iran setelah kematian Mahsa Amini kini mereda. Namun kemarahan yang menyulut protes tersebut belum padam sampai sekarang.
Perempuan Iran harus menemukan cara baru untuk menentang rezim.
Seorang diplomat Barat di Teheran memperkirakan bahwa di seluruh negeri, rata-rata sekitar 20% perempuan kini melanggar hukum Republik Islam dengan turun ke jalan tanpa mengenakan jilbab.
“Banyak hal telah berubah sejak tahun lalu,” kata seorang mahasiswa musik berusia 20 tahun di Teheran, yang kami panggil Donya, melalui platform media sosial terenkripsi.
Dia adalah segelintir dari sekian banyak perempuan yang kini menolak mengenakan jilbab di depan umum.
“Saya masih tidak percaya dengan hal-hal yang kini saya berani lakukan. Kami menjadi jauh lebih kuat dan berani."
“Meskipun saya merasa takut setiap kali melewati polisi moral, saya tetap menegakkan kepala dan berpura-pura tidak melihat mereka,” katanya.
"Saya memakai apa yang saya suka sekarang ketika pergi keluar."
Namun Donya segera menambahkan bahwa risikonya juga tinggi, dan dia tidak gegabah. "Saya tidak akan memakai celana pendek. Dan saya selalu membawa jilbab di tas saya kalau-kalau ada masalah serius."
Donya mengatakan kepada saya bahwa dia mengenal beberapa perempuan yang telah diperkosa di dalam tahanan, dan menceritakan tentang laporan-laporan tentang seorang perempuan yang dijatuhi hukuman memandikan mayat sebagai hukuman karena tidak mengenakan jilbab.
Semua perempuan yang saya ajak bicara merujuk pada kamera pengintai yang memantau jalanan untuk menangkap dan mendenda mereka yang melanggar aturan berpakaian.
Diplomat Barat tersebut memperkirakan bahwa proporsi perempuan yang menolak mengenakan jilbab di depan umum di lingkungan mewah Teheran utara bahkan lebih tinggi dari 20%.
Namun, dia menekankan bahwa pemberontakan tidak hanya terjadi di ibu kota.
“Ini adalah masalah generasi yang lebih dari sekadar geografis… ini bukan hanya milik orang-orang terpelajar yang cerdas, tapi pada dasarnya setiap anak muda yang memiliki ponsel pintar.”
Diplomat itu menggambarkan protes yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini merupakan sebuah “titik balik” yang besar dan berdampak bagi rezim Iran, yang telah mencoba mengendalikan cara perempuan berpakaian dan berperilaku selama lebih dari empat dekade.
“Hal ini mengubah [rezim] ke jalan satu arah dengan akhir yang buntu,” katanya. “Satu-satunya hal yang kami tidak tahu adalah berapa panjang jalannya.”
Pemberontakan yang dipimpin oleh perempuan ini merupakan tantangan paling serius terhadap rezim teokratis Iran sejak revolusi tahun 1979.
Dalam menumpas pemberontakan tersebut, kelompok hak asasi manusia mengatakan rezim Iran telah membunuh lebih dari 500 orang.
Ribuan orang terluka, beberapa di antaranya menjadi buta setelah ditembak di bagian wajah.
Setidaknya 20.000 warga Iran ditangkap, dengan laporan penyiksaan dan pemerkosaan di penjara.
Dan, tujuh pengunjuk rasa dieksekusi - salah satu dari mereka bahkan digantung di depan umum di atas crane. Seperti yang diharapkan, ini menciptakan efek yang mengerikan.
Perayaan setahun 'kematian' Mahsa Amini
Dalam upaya untuk mencegah kerusuhan lebih lanjut dalam peringatan setahun kematian Mahsa Amini, pihak berwenang kembali melakukan gelombang penangkapan.
Di antara mereka yang ditahan adalah aktivis hak-hak perempuan, jurnalis, penyanyi, dan kerabat orang-orang yang terbunuh dalam protes tersebut.
Akademisi yang dianggap tidak mendukung rezim juga telah dipecat dari pekerjaannya.
Namun tindakan pembangkangan diam-diam yang luar biasa terus berlanjut setiap hari.
Donya mengatakan orang-orang di Teheran terus merusak papan reklame pemerintah dan menulis "#Mahsa" dan "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan" - seruan protes - di dinding, dan sebagian besar di kereta bawah tanah.
“Pemerintah terus memusnahkan mereka tapi slogan-slogan itu terus muncul kembali.”
Donya, dan perempuan-perempuan lain yang saya ajak bicara, semuanya menekankan bahwa perjuangan ini bukanlah perjuangan yang dilakukan sendirian – banyak laki-laki yang juga ikut mendukung.
“Ada di antara mereka [pria] yang memakai kaus tak berlengan dan celana pendek, atau memakai riasan ketika pergi ke jalan, karena hal-hal tersebut haram untuk dikenakan oleh laki-laki."
"Beberapa laki-laki mengenakan hijab yang wajib di jalan untuk menunjukkan betapa anehnya jika memaksa seseorang untuk memakai sesuatu yang tidak mereka sukai.”
Polisi moral
Patroli polisi moral, yang untuk sementara dihentikan usai gelombang protes atas kematian Mahsa Amini, telah terlihat kembali dalam beberapa minggu terakhir.
Meskipun, Donya mengatakan, mereka tampaknya berhati-hati dalam berkonfrontasi secara langsung karena takut akan memicu kembali demonstrasi massal.
Pihak berwenang telah berupaya menerapkan kontrol dengan cara lain pada tahun lalu. Mereka telah menutup ratusan tempat usaha yang melayani perempuan yang tidak mengenakan jilbab, dan telah mengeluarkan denda serta menyita mobil yang dikendarai oleh perempuan yang tidak mengenakan jilbab.
Saat ini perempuan yang tidak mengenakan penutup kepala berisiko terkena denda hingga Rp181.000 (500.000 rial) atau hukuman penjara dari 10 hari hingga dua bulan.
Seorang perempuan bernama Bahareh, 32 tahun, mengatakan dia telah menerima tiga pesan teks peringatan di teleponnya dari pihak berwenang, setelah terekam dalam CCTV saat mengemudi di Teheran tanpa jilbab.
Dia mengatakan jika tertangkap lagi, mereka mungkin akan menyita mobilnya.
Menurut polisim di satu provinsi saja – Provinsi Azerbaijan Timur – 439 mobil telah disita pada 11 Agustus karena pelanggaran jilbab.
Pelepasan jilbab
Bahareh juga dilarang memasuki wilayah kota dan pusat perbelanjaan.
Yang paling parah, dia mengaku dilarang menghadiri perayaan di sekolah putranya, untuk menandai akhir tahun pertama anaknya di sana.
Bahareh mengingat kembali sensasi yang dia alami saat pertama kali melepas jilbabnya di depan umum pada bulan September lalu.
"Jantung saya berdebar kencang. Menyenangkan sekali. Saya merasa seperti telah melanggar sebuah tabu besar."
Sekarang dia sudah terbiasa dengan hal itu, dia bahkan tidak membawa jilbab ke mana-mana.
“Tidak memakainya adalah satu-satunya alat yang saya miliki untuk menunjukkan pembangkangan sipil saya, tidak hanya terhadap jilbab tetapi juga terhadap semua hukum kediktatoran, semua penderitaan yang dialami rakyat Iran selama 43 tahun terakhir."
"Saya akan terus berjuang untuk semua ibu dan ayah yang harus mengenakan pakaian hitam saat berkabung atas anak-anak mereka."
Sulit untuk mengukur dengan tepat berapa banyak orang yang ingin melihat berakhirnya Republik Islam.
Namun yang pasti, kemarahan terhadap rezim telah tersebar luas, menurut pembuat film Mojgan Ilanlou.
Mojgan dipenjara pada Oktober lalu selama empat bulan setelah melepas jilbab dan mengkritik pemimpin tertinggi Iran.
Perempuan itu kembali ditahan dengan singkat bulan lalu dalam upaya, katanya, untuk mengintimidasi dirinya.
“Perempuan Iran telah melewati ambang ketakutan,” katanya kepada saya dari rumahnya di Teheran.
Meskipun, dia mengakui, penindasan yang baru-baru ini terjadi begitu “mengerikan” sehingga selama 10 hari pada bulan lalu dia memutuskan untuk menonaktifkan akun Instagram - tempat dia mengunggah foto dirinya yang tampil di depan umum.
“Ini adalah lari maraton, bukan lari cepat,” katanya, seraya menyamakannya dengan momen ketika Rosa Parks menolak menyerahkan kursinya kepada orang kulit putih di dalam bus, sehingga memicu gerakan hak-hak sipil AS.
“Penolakannya untuk menyerahkan kursinya bukan hanya tentang seseorang yang duduk di kursi."
'Perubahan sikap'
Ilanlou mengatakan sikap pembangkangan itu berhasil.
Sikap laki-laki terhadap perempuan sedang berubah, bahkan di wilayah yang lebih konservatif di negara ini, katanya.
Revolusi sosial sedang berlangsung.
“Masyarakat tidak akan kembali ke masa sebelum Mahsa,” tegasnya.
“Di jalan-jalan, di metro dan di pasar-pasar, laki-laki kini mengagumi perempuan dan memuji keberanian mereka… Hebatnya, bahkan di beberapa kota yang sangat religius seperti Qom, Masyhad dan Isfahan, perempuan tidak lagi mengenakan jilbab.”
Senada dengan yang diungkapkan diplomat yang berbasis di Teheran, dia menegaskan bahwa ini adalah pemberontakan yang melintasi kelas sosial.
Ilanlou mengatakan kepada saya bahwa dia berbagi kamar penuh kutu di penjara Qarchak tahun lalu dengan seorang perempuan muda miskin yang menjadi seorang ibu pada usia 11 tahun. Perempuan itu juga menolak mengenakan jilbab.
Dan itu bukan hanya hijab.
Ilanlou mengatakan perempuan kini mengajukan tuntutan lain, seperti persamaan hak dalam kontrak pernikahan.
Bagi Elahe Tavokolian - mantan manajer pabrik - dan lainnya, pengorbanan yang mereka lakukan sangat berat.
Dia sangat merindukan anak kembarnya yang berusia 10 tahun.
Dari kamar kos di pinggiran Kota Milan tempat dia tinggal sekarang, dia menelepon anaknya kapan pun dia bisa.
Saat Elahe berbicara tentang mereka, air mata mengalir di pipinya dari mata kirinya.
Elahe, yang belum pernah ambil bagian dalam protes sebelum September lalu, ditembak oleh pasukan keamanan Iran di Esfarayen, wilayah utara negara itu.
"Saya bersama anak-anak dan kami baru saja membeli perlengkapan untuk memulai sekolah. Mereka berlumuran darah saya."
Dia bisa melarikan diri ke Turki berbekal visa medis untuk selanjutnya menuju ke Italia. Di negara itu, ahli bedah mengangkat mata kanannya dan peluru yang menembusnya.
Dia masih memerlukan beberapa operasi lagi agar dia bisa menutup kelopak mata di atas mata palsunya yang terbuat dari kaca.
Dan, dia tidak tahu kapan waktu yang aman baginya untuk kembali ke Esfarayen, dan bertemu anak-anaknya lagi.
“Setiap kali berbicara, kami selalu membicarakan harapan bahwa kami bisa bersama lagi di Iran, di hari yang lebih baik.”
Untuk saat ini, hari-hari yang lebih baik itu tampaknya masih jauh. Kelompok hak asasi manusia mengatakan tidak ada pejabat Iran yang pernah dimintai pertanggungjawaban atas kematian Mahsa Amini dan tindakan keras yang dilakukannya.
Pemerintah Iran 'menolak berubah'
Rezim Iran terlihat tidak akan mundur, justru sebaliknya.
Rancangan Undang-Undang yang saat ini ada di parlemen – yang disebut RUU Jilbab dan Kesucian – akan menjatuhkan hukuman baru bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab, termasuk denda hingga Rp363 juta (1 miliar rial) dan hukuman penjara hingga10 tahun bagi “mereka yang tidak mematuhi… dengan cara yang terorganisir atau mendorong orang lain untuk melakukannya".
Hal ini digambarkan oleh para ahli hak asasi manusia yang ditunjuk PBB sebagai “bentuk apartheid gender”.
Pemerintah tetap “menolak untuk berubah”, menurut Jasmin Ramsey, wakil direktur LSM The Center for Human Rights Iran yang berbasis di New York.
Namun penduduk Iran juga menolak untuk menyerah, katanya.
“Iran tetaplah seperti sebuah kotak yang bisa terbakar kapan saja.”