Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Strategi Pengusaha Glodok Bertahan dari Mal Sepi dan Gempuran Niaga Online
17 Januari 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 11 menitSejak era pandemi, transaksi tatap muka antara calon pembeli dan para pedagang kian menurun dan digantikan situs penjualan online. Hal ini ditandai dengan kian sepinya sejumlah mal atau pusat perbelanjaan. Namun, kenyataannya, masih ada sejumlah pedagang yang mempertahankan toko di tengah mal-mal sepi. Alasannya? Hasil penjualan di toko lebih banyak ketimbang jumlah pesanan yang masuk akun e-commerce mereka.
Memasuki Harco Glodok lewat pintu putar kaca, pengunjung akan langsung disambut pemandangan kios-kios yang masih buka setelah libur tahun baru.
Sebagian besar mengobral aksesoris elektronik dan perangkat kantor yang ditawarkan kepada pengunjung yang lalu-lalang.
Namun, naik ke lantai atas, jumlah kios-kios yang tutup lebih banyak dibandingkan dengan kios-kios yang buka di lantai bawah.
Kecuali satu-dua yang masih melayani pelanggan di tengah lorong-lorong penuh penutup besi.
Salah satunya adalah sebuah toko yang terletak di lantai atas ujung kiri. Toko itu merupakan satu-satunya toko ‘hidup’ di tengah dua gerai yang sudah tutup.
Toko itu milik Vincent yang menjaganya seorang diri. Ia bersembunyi di balik tumpukan rak-rak tinggi berisi kardus.
Vincent sudah berjualan kipas angin di Glodok selama 20 tahun. Usaha tersebut merupakan turunan dari keluarganya yang giat berbisnis sejak tahun 1970-an.
Pria berumur 56 tahun itu mengatakan 75% dari omzetnya berasal dari langganan, dan hanya sebagian kecil dari penjualan e-commerce.
“Pembeli online masih relatif [sedikit] ya, masih belum begitu ramai. Dalam seminggu mungkin bisa dua atau tiga pembeli,” ujar Vincent yang duduk di belakang meja kayu, dikelilingi kardus-kardus berisi kipas angin, semua siap kirim.
Vincent mengatakan toko offlinenya membawa rezeki lebih dibandingkan akun Tokopedianya. Ia menerima sekitar 30 sampai 35 pesanan per hari dari orang yang telah berlangganan dengan tokonya sejak tahun 1990-an sampai awal 2000-an.
Para langganannya pun, menurut Vincent, masih lebih memilih berbelanja langsung ke tokonya ketimbang membeli produknya lewat situs niaga online.
Oleh karena itu, ia tetapi kukuh mempertahankan tokonya. Ia sendiri sudah berpindah lokasi tiga kali, semula di LTC Glodok Hayam Wuruk, kemudian di Pasar HWI Lindeteves, dan kini di Harco Glodok.
Meski sudah menetap di lokasi baru, Vincent mengaku tokonya masih relatif sepi peminat meskipun pengunjung sudah bermunculan sejak pandemi melandai.
“Orang yang lewat banyak, puluhan setiap hari. Tapi yang nanya barang, pengunjung gitu ya, paling 4-5 [orang],” katanya.
Di gedung sebelah, yakni Glodok Plaza, penjual perangkat kamera Andi (40) merasakan hal yang sama ketika membuka cabang toko daring di Tokopedia dan Shoppee.
Penjualan online untuk produk-produknya tidak sampai 50% dari omzet. Hasil penjualannya masih didominasi langganan. Meski begitu, ia merasa pengunjung Glodok Plaza masih sama sepinya seperti pelanggan online.
“Karena kami sudah ada dari dulu, langganan sudah ada. Kalau mengandalkan traffic di sini sudah parah. Tidak seperti zaman 1990-2000an, dulu ramai banget kan,” kata Andi.
Berdasarkan survei JakPat, pada paruh pertama 2022 sebanyak 47% masyarakat Indonesia lebih memilih untuk membeli gawai dan peralatan elektronik di situs e-commerce. Sementara, hanya 24% responden memilih untuk datang langsung ke toko untuk membeli barang elektronik.
Kebanyakan dari gerai-gerai toko yang masih tersisa di pusat perbelanjaan daerah Glodok, Jakarta Pusat mengandalkan bisnis mereka di bidang perangkat elektronik seperti kamera, alat pengeras suara, dan lainnya.
‘Beli barang online itu bagaikan kucing dalam karung’
Wen memiliki toko perangkat suara di Glodok Plaza yang menjual beraneka jenis speaker, mic, dan peralatan lainnya. Berbeda dengan Vincent dan Andi, ia sama sekali tidak tertarik untuk membuka akun e-commerce di platform manapun.
“Ribet sih ya, ribet. Jadi kita nggak jualan [online], kita maunya di offline aja,” kata Wen dengan nada yakin.
Wen yang kini berusia 30, sudah berjualan di Glodok Plaza selama 10 tahun. Saudara ayahnya yang pertama memperkenalkannya ke usaha tersebut, yakni berjualan perangkat suara.
Alasan Wen tetap enggan menjual produknya di platform e-commerce karena ia percaya menjual barang di toko diperlukan agar dapat meyakinkan pelanggan akan kualitas barang yang hendak mereka beli.
“Kalau di online belinya itu, ya kucing dalam karung, kalau dapat [barang] bagus, bagus. Kalau dapet [barang] jelek, ya jelek,” tutur Wen.
“Karena memang dari dulu, belanja [di toko] lebih komplet, mereka bisa langsung lihat di tokonya juga.”
Sejauh ini, ungkap Wen, pesanan ‘online’ untuk tokonya hanya datang dari langganan yang memesan lewat nomor WhatsApp pribadinya.
Hal tersebut juga terjadi pada Vincent yang juga menerima pesanan dari nomor WhatsApp yang tertera di atas papan nama tokonya. Menurut dia, pesanan lebih banyak datang dari pembeli langsung. Itu pun, mereka lebih sering pergi ke toko langsung untuk melihat barangnya.
“Masyarakat kita masih belum merasa secure kalau beli macam-macam [barang online] dan produk saya juga butuh dijelasin, teknikalnya bagaimana.
“Nggak kayak orang beli beras, atau minyak goreng. Kan standar ya. Kalau ini kan nggak, ini butuh ngomong, penjelasannya dulu,” jelas Vincent.
Jefri, penjual perangkat percetakan dan aksesoris elektronik, memiliki pendapat berbeda.
Ia baru pindah ke gedung baru Harco Glodok setelah direstorasi ulang. Pria 60 tahun itu ingin berjualan di toko online karena menurutnya akan lebih ramai daripada tokonya yang sepi pengunjung.
“Memang kebanyakan toko [lain], ramainya dari online sih kalau dilihat-lihat. Karena kan orang Indonesia itu sifatnya agak sedikit malas gerak. Jadinya beli online. Kecuali dia mau dapat lebih ya, baru dia ke toko-toko,” kata Jefri.
Namun, tak semua pelanggan merasa seperti itu. Feri dan istrinya, yang saat itu tengah mengunjungi Harco Glodok, mengaku lebih suka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan rumah tangga. Sebab, menurutnya, ia dapat membeli banyak barang sekaligus saat jalan-jalan ke mal.
“Untuk barang-barang tertentu, kayaknya harus lihat langsung,” kata Feri yang saat itu sedang mencari alat pembersih udara sekaligus berburu kuliner.
Feri sudah beberapa kali pergi ke Harco Glodok. Bahkan, sejak era 1990-an ia sudah gemar datang ke pusat perbelanjaan itu. Tetapi saat wabah corona menyebar luas, ia sempat berhenti pergi ke Harco Glodok.
Kini, ia kembali untuk pertama kalinya setelah hampir dua tahun. Ia pun kaget dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada gedung baru.
“Sekarang lebih rapi dan karena pandemi memang jadi lebih sepi. Saya biasanya ke gedung lama. Saya baru lihat yang ini, posisinya banyak yang berubah,” katanya sambil bernostalgia.
PPKM dicabut, pusat perbelanjaan semakin optimis
Pada Jumat (30/12), Presiden Joko Widodo mengumumkan dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Hal ini membawa secercah harapan bagi para pengelola pusat perbelanjaan.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan para pengusaha menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut PPKM.
Sebab, kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong serta mempercepat pemulihan kondisi usaha. Bahkan, APPBI menargetkan tingkat pengunjung mal dan pusat perbelanjaan dapat melebihi level pra-pandemi.
“Tingkat kunjungan ke Pusat Perbelanjaan pada tahun 2023 ini ditargetkan akan mencapai lebih dari sebelum pandemi ataupun paling tidak bisa mencapai 100% dibandingkan sebelum pandemi,” ungkap Alphonzus lewat pesan tertulis kepada BBC Indonesia.
Carlo Stevan, Vice President Advertising & Promotion Department untuk Harco Glodok, mengklaim bahwa jumlah tenant yang menyewa gerai di pusat perbelanjaan tersebut telah meningkat tiga kali lipat dibandingkan selama pandemi.
“Sekitar 1.800 tenant yang sudah masuk, saat pandemi hanya sekitar 600-an [tenant],” kata Carlo.
Menurut dia, Harco Glodok sendiri sudah mencatat kenaikan angka pengunjung sebanyak 60% dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski begitu Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan pencabutan PPKM tidak akan terlalu berdampak pada angka pengunjung.
Sebab, kata Andry, Covid sudah landai sejak PPKM level 1 diterapkan. Di sisi lain, ia mengatakan bahwa berkurangnya jumlah cuti bersama di akhir tahun jauh lebih berpengaruh terhadap angka pengunjung pusat perbelanjaan.
“Kemarin kita bisa melihat bahwa kita cuti bersama itu kan ditiadakan itu punya pengaruh yang cukup besar terhadap belanja ritel,” kata Andry.
Pusat perbelanjaan beralih fungsi
Silvi (22) pergi ke Harco Glodok bersama orang tua dan sanak saudaranya. Ia hendak mencari pengisi baterai handphone yang murah dan tahan lama setelah miliknya rusak.
Namun, ia tidak selalu belanja barang di mal. Ia mengaku lebih sering mencari produk di platform e-commerce karena sifatnya yang praktis dan ia juga tidak perlu meninggalkan rumah. Barangnya bisa langsung diantarkan hari esoknya juga.
“Saya kan sudah kebiasaan online jadi kalau saya rasakan, jadi lebih leluasa di rumah,” kata Silvi.
Dengan PPKM dicabut, ia merasa keinginannya untuk pergi ke pusat perbelanjaan juga bangkit lagi. Sebab, ia melihat mal sebagai tempat rekreasi yang dapat dikunjungi bersama dengan orang-orang terdekatnya.
“Kalau ada waktu senggang aja sih [pergi ke mal] . Kalau misalnya ada teman, bisa belanja bareng,” kata Silvi sambil menoleh-noleh ke arah sejumlah toko aksesoris dan busana yang ia lewati.
Alphonzus mengatakan bahwa pusat perbelanjaan sudah beralih berfungsi, tidak hanya sebagai tempat berbelanja saja. Khususnya bagi pusat perbelanjaan yang terletak di kota - kota besar.
Sebab, selama masa pandemi masyarakat tidak bisa dengan bebas berpergian bersama ataupun berinteraksi dengan sesamanya secara langsung. Oleh karena itu, pusat belanja harus dapat menjadi wadah koneksi sosial dan tempat berkumpul.
“Masyarakat Indonesia memiliki budaya yang senang berkumpul baik bersama keluarga, sanak saudara, teman, kolega, komunitas dan lain sebagainya
“Pusat perbelanjaan yang terus menerus hanya mengedepankan fungsi belanja maka akan langsung berhadapan dengan e-commerce,” kata Alphonzus.
Terbukti, menurut laporan Kontan (6/5/2021), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan meski angka kasus saat itu sudah menurun dan terdapat peningkatan pembelanjaan, bisnis ritel masih belum benar-benar pulih.
“Pemulihannya tidak signifikan walaupun ada peningkatan belanja 10% sampai 15% dari bulan sebelumnya,” kata Ketua Aprindo Roy Mandey pada konferensi pers yang digelar pada Mei 2021.
Bahkan, selama masa pandemi, Aprindo mencatat sebanyak 1.300 toko ritel di seluruh Indonesia gulung tikar. Hal tersebut membuat sejumlah pusat perbelanjaan kini dipenuhi gerai-gerai kosong.
“Otomatis daya beli akan tertahan, sehingga para ritel pasti mengeluarkan biaya yang besar dibandingkan pemasukan. Sehingga mereka memilih untuk tutup toko,” ujar Roy.
Outlook 2023 bagi pengusaha ritel
Perang di Ukraina, kenaikan harga-harga, suku bunga yang naik, dan penyebaran Covid di China membebani ekonomi global.
Pada Oktober, IMF memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2023.
Untuk perekonomian Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan tahun ini akan menjadi “ujian yang sangat berat”.
“Seluruh pemangku kepentingan termasuk dalam KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan] akan terus bekerja di dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional khususnya sektor keuangan,” kata Sri Mulyani.
Meski begitu, Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan Indonesia masih berada di zona aman jika dibandingkan negara-negara maju yang sudah mengarah ke jurang resesi.
“Indonesia masih cukup baik, inflasi tentunya kemarin ada peningkatan cuma masih terkontrol, saya rasa tidak memiliki pengaruh pada ritel secara keseluruhan,” kata Andry kepada BBC Indonesia.
Walau begitu, ia memperingatkan para pengusaha Indonesia masih perlu waspada terhadap ledakan Covid di China yang berpotensi menganggu rantai suplai. Kenaikan dolar juga akan membuat harga impor barang dari China ke Indonesia menjadi lebih mahal.
“Kita perlu berhati-hati dari sisi suplai, jika memang di wilayah seperti pusat manufakturing seperti China itu masih ada disrupsi yang mungkin akan berdampak kepada harga,” tegasnya.
Kenaikan harga impor dari China dirasakan Vincent yang mengaku ada kenaikan harga 5% sampai 10% bahan baku yang ia impor dari China sejak Desember. Tak hanya itu, ia sendiri masih berusaha membangkitkan usahanya setelah terkena imbas pandemi beberapa tahun terakhir.
“Sejak pandemi, kita itu sudah kena imbasnya. Sepi jualan, sepi pengunjung. Ada pembatasan orang masuk itu sudah berasa. Itu hilang pendapatan sekitar 50% sampai 70% selama pandemi. Baru mau bangkit, kena resesi lagi,” keluh Vincent.
Wen juga mengatakan ada kenaikan harga produknya yang mayoritas diimpor dari China. Meski begitu, ia tetap mengaku optimis terhadap kondisi ekonomi negara dan bisnisnya untuk 2023 mendatang.
“Harapannya di 2023 ini penjualan lebih bagus, ekonomi lebih bagus, jangan ada resesi deh,” ujarnya dengan mata penuh pengharapan.
Terkait kelangsungan tokonya, Wen mengaku baru-baru ini banyak pelanggan yang datang dan bertanya apakah mereka akan membuka toko online. Setiap kali ditanya, jawabannya tetap sama.
“Pelanggan yang nanya 'mas nggak mau buka toko di online'?, oh banyak. Cuman kan kita nggak mau. Kita lebih mengutamakan kualitas sih,” ungkap Wen.