Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Walkot Medan Apresiasi Tembak Mati Begal, Padahal Presiden Sesalkan Petrus
14 Juli 2023 8:45 WIB
·
waktu baca 8 menitLembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyebut, pernyataan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang mengapresiasi polisi karena menembak mati terduga begal, berpotensi memicu maraknya "praktik eksekusi dan pengadilan jalanan".
Pernyataan Bobby juga dinilai problematik karena pada Desember 2022 lalu, mertua Bobby, Presiden Joko Widodo atas nama negara mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 atau yang lebih dikenal dengan akronim 'Petrus'.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai aksi pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat yang ditambah sikap permisif elite penguasa, dapat mengulang kembali peristiwa 'Petrus'.
Berdasarkan data KontraS, sepanjang Juli 2022-Juni 2023 terjadi setidaknya 29 peristiwa pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 41 orang.
Komisi Nasional HAM dan Amnesty International Indonesia menegaskan, penembakan mati terhadap terduga pelaku kejahatan begal merupakan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), seperti hak atas kehidupan, hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk terbebas dari perlakuan tidak manusiawi.
Selain itu, penembakan mati juga disebut mencederai Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, dalam aturan Kapolri itu, penggunaan kekuatan senjata api menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) yang bertujuan untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
Dalam akun Twitternya , pada Senin (10/07), Bobby Nasution mengapresiasi tindakan Polrestabes Medan yang telah menembak mati salah satu pelaku begal di Kota Medan.
Menurut Bobby, begal dan pelaku kejahatan sangat menganggu ketenangan dan keamanan masyarakat di Kota Medan.
Sebelumnya, Kapolrestabes Medan Kombes Pol Valentino Alfa menyampaikan , anak buahnya telah menembak mati seorang terduga pelaku pembegalan karena dia melakukan perlawanan saat akan ditangkap di kawasan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.
"Ia merupakan salah satu dari empat pelaku yang melakukan perampokan di sebuah salon Jalan Flamboyan Raya, Simpang Pemda, Kota Medan," kata Valentino , Minggu (09/07).
"Pelaku Jarot ditangkap di kawasan Sunggal pada dini hari tadi. Namun pada saat ditangkap pelaku ini melakukan perlawanan yang membahayakan nyawa petugas dengan menembakkan senjata airsoft gun sebanyak enam kali ke arah petugas kita,"ungkapnya.
Selain menembak mati Jarot, lanjut Valentino, polisi juga menangkap empat terduga pelaku lainnya dan satu orang terduga pelaku penadah, yang disebut telah berulang kali diduga melakukan kejahatan.
"Selain beraksi di Jalan Flamboyan Raya, para pelaku ini juga beraksi di sejumlah lokasi lainnya, seperti di sebuah minimarket di Jalan Lintas Binjai - Stabat, Desa Tandem Hulu II, Deli Serdang, di Perumahan Jalan Sri Gunting, Kecamatan Sunggal, Jalan Setia Budi dan Jalan Dr Mansyur," jelasnya.
Di Polrestabes Medan dan Polres Belawan, Bobby kembali meminta agar aparat bertindak tegas untuk menghentikan aksi kekerasan atau begal di jalanan. Bila perlu, kata Bobby, pelaku begal dan lainnya, ditembak mati.
LBH Medan: Memicu maraknya praktik jalanan
Namun, pernyataan Bobby dan tindakan kepolisian itu mendapat kritikan dari organisasi dan pegiat HAM.
Wakil Direktur LBH Medan, Muhammad Alinafiah Matondang mengatakan, pernyataan Bobby yang meminta dan bahkan mengapresiasi penembakan mati terduga begal di luar jalur hukum seperti "menebarkan dan menyerukan aksi preman jalanan".
"Jika dilakukan tembak mati secara serampangan tanpa prosedur, tentu akan marak terjadi namanya eksekusi jalanan, pengadilan jalanan. Artinya pernyataan Bobby ini sama saja menebarkan, menyerukan adanya preman jalanan, sama dengan sikap-sikap kriminal jadinya," kata Alinafiah saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (13/07).
Bahkan katanya, dukungan terhadap penembakan mati akan membentuk persepsi di masyarakat bahwa tindakan itu dapat dilakukan.
"Bisa jadi masyarakat melakukan itu [pembunuhan]. 'Boleh kok matikan begal', itu kan bahaya, bisa menimbulkan kerusuhan di masyarakat… Pernyataan Bobby ini justru akan menimbulkan pelanggaran HAM," katanya.
Alinafiah mengatakan, pembunuhan di luar hukum merupakan tindakan yang "diharamkan" karena melanggar asas praduga tidak bersalah, dan tidak melalui proses peradilan.
"Bagaimana jika yang ditembak tidak bersalah? Sementara dia sudah mati, bisa mengembalikan nyawanya? Kan tidak bisa," tambahnya.
"Di balik ketidakseriusan Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, menantunya [Bobby] malah menebar seruan untuk pelanggaran HAM… Dia seharusnya mengoreksi diri sebagai pejabat, apa yang dia lakukan selama ini? Mengapa tingkat kriminal tinggi di masyarakatnya? Itu yang dibenahi, bukan malah mendukung aksi seperti ini," kata Alinafiah.
Atas kritikan itu, Bobby Nasution menjawab, "Kena marah ya saya… Saya mewakili begal, terima kasih," katanya sambil tersenyum saat menghadiri Rakernas APEKSI di Kota Makasar, (12/07), dilansir dari Tribunnews.com.
"Tanya kepada masyarakat, kondisinya, para korban-korban begal di Kota Medan yang sudah banyak. Kalau saya, wajib mendukung masyarakat. Itu kalau saya ya," tambah Bobby.
Penembakan mati adalah pelanggaran HAM
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyesalkan penembakan terhadap begal yang terjadi di Kota Medan karena merupakan tindakan pembunuhan di luar hukum yang melanggar HAM.
"Yang penting untuk didorong adalah bagaimana sebuah kejahatan, dan penjahatnya harus diproses secara hukum, dengan proses yang fair, memberikan efek jera dan memberikan keadilan bagi para korban, dan bukan main hakim sendiri," kata Anis.
"Itu bentuk pemunduran dari penghormatan hak asasi manusia," tambah Anis.
Senada, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan, penembakan mati merupakan tindakan yang melanggar prinsip HAM seperti hak atas kehidupan, hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk terbebas dari perlakuan tidak manusiawi.
"Tidak pantas seorang kepala daerah mendukung tindakan di luar hukum, apalagi jika dilakukan aparat kepolisian… Kami khawatir pernyataan Wali Kota Medan tersebut dapat menjadi legitimasi bagi pembunuhan di luar hukum dalam kasus-kasus lainnya," kata Wirya.
"Hal itu sangat berbahaya karena tindakan tersebut dilakukan tanpa proses peradilan yang adil, sehingga bisa berdampak bahkan pada individu yang belum terbukti bersalah," tambahnya.
Untuk itu Amnesty mendesak Bobby untuk menarik pernyataannya yang mendukung cara penembakan mati terhadap terduga pelaku kejahatan.
Sekitar 29 pembunuhan di luar hukum, 41 orang tewas
Berdasarkan data KontraS, sepanjang Juli 2022 hingga Juni 2023, terjadi setidaknya 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang.
Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan salah satu insiden yang dipantau adalah kasus penembakan mati yang dialami Deki Susanto di Sumatra Barat pada 2021 lalu.
Andi mengatakan, Deki dituduh melakukan tindak pidana terkait kasus perjudian. Kemudian, katanya, aparat kepolisian mendatangi rumah Deki yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Andi melanjutkan, saat itu polisi disebut tidak menggunakan seragam, tidak memperlihatkan surat tugas dan tanda pengenal, serta terlihat membawa senjata api.
"Aparat masuk ke rumah, menggeledah seisi rumah dan korban ditemukan di area dapur. Polisi langsung menyergap korban."
"Karena korban merasa ketakutan ditodong dengan senjata api maka korban langsung melarikan diri dari pintu belakang. Sesaat baru lari keluar rumah, tiba-tiba korban ditembak di bagian kepala belakang, penembakan tersebut terjadi di hadapan istri dan anaknya.
"Setelah korban tergeletak tidak bernyawa, istri korban menjerit histeris dan tanpa alasan yang jelas polisi menembakkan senjata ke atas sebanyak sekitar empat kali," tambah Andi.
Atas tindakan itu, terdakwa Brigadir K dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan selama tujuh tahun karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan.
Berpotensi mengulang peristiwa 'Petrus'
Merujuk dari kasus-kasus tersebut, Andi melanjutkan, peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dapat terjadi jika perilaku aparat yang melakukan penembakan mati terhadap terduga pelaku kejahatan, kemudian didukung oleh sikap permisif bahkan dukungan dari elite penguasa.
"Mungkin saja muncul berbagai kasus selayaknya peristiwa penembakan misterius (petrus) pada masa Orde Baru," kata Andi.
Andi menjelaskan, peristiwa 'petrus' merupakan satu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, yang hingga kini belum juga tuntas diselesaikan.
Di Masa Orde Baru, tambah Andi, orang-orang yang dianggap melakukan tindakan kriminal dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan.
"Tindakan semacam itu merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak asasi manusia. Tentunya kita tidak ingin masa kengerian dan kekejaman tersebut kembali terjadi di masa sekarang," kata Andi.
Penembakan misterius, 'petrus', terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia pada periode 1982-1985.
Rangkaian peristiwa ini telah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat karena lebih dari 1.000 orang yang dicap preman dibunuh tanpa diadili terlebih dulu
Mencederai aturan Kapolri
Selain melanggar HAM, Wirya Adiwena dari Amnesty mengatakan, penembakan mati di luar jalur hukum juga bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh kepala Polri dalam menindak kejahatan.
Peraturan itu adalah Perka Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting, mengatakan, aturan itu dengan jelas menjabarkan situasi apa jika upaya penembakan dapat dilakukan.
Girlie memaparkan, senjata api diperbolehkan dengan tujuan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan. Selain itu, senjata api dapat dilakukan bila terdapat ancaman yang bersifat segera dan dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi dan masyarakat.
Kemudian, kata Girlie, penggunaan senjata api oleh aparat dapat dilakukan untuk mengantisipasi kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan umum, seperti membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, atau menghancurkan objek vital.
Berdasarkan aturan itu, Girlie menyatakan bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan.
"ICJR meminta Walikota Medan untuk berhati-hati bicara tembak mati pelaku kejahatan. Dorongan demikian dari kepala daerah dapat mengakibatkan situasi pelanggaran HAM yang serius dari mulai masalah prosedur sampai dengan salah sasaran," kata Girlie.