Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Wanita di Sorong Dibakar Hidup-hidup, Kenapa ODGJ Masih Diperlakukan Buruk?
26 Januari 2023 8:25 WIB
·
waktu baca 5 menitAksi sejumlah orang di Sorong , Papua Barat Daya, yang membakar hidup-hidup seorang perempuan yang mengidap gangguan jiwa karena dituduh sebagai penculik anak tak bisa dilepaskan dari masih kuatnya "stigma buruk dan sikap polisi yang menyepelekan kasus kekerasan terhadap ODGJ".
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, mengatakan masyarakat dan polisi menganggap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ ) bukan manusia yang memiliki rasa sakit, malu, atau terhina sehingga merasa boleh melakukan apa saja.
Kapolresta Sorong, Happy Yudianto, berkata pihaknya telah menangkap satu pelaku berinisial IZ. Pelaku berperan menyiramkan bensin dan membakar korban .
"Tersangka sudah ada satu orang yang diamankan. Pelaku utama, jadi ini yang menyiram bensin dan membakar," ujar Kapolresta Sorong, Happy Perdana Yudianto.
Ia juga berkata, sejumlah pelaku lain masih dalam pengejaran. Mereka yang masih buron adalah provokator dan orang yang membeli bensin untuk disiram ke tubuh korban.
Mengapa Korban Dianiaya?
Menurut keterangan dua saksi yang ada di lokasi, yakni Absalom Bodory dan Hamzah Bodory, kejadian penganiayaan bermula dari "kecurigaan" warga di Kompleks Kokoda terhadap gerak-gerik korban Wagesuti yang yang tampak kebingungan.
Sebelumnya, sudah beredar isu soal penculikan anak di media sosial.
Dari kecurigaan itu, beberapa warga bertanya kepada korban, tapi jawabannya menurut Absalom dan Hamzah membuat kesal warga karena dianggap tidak jelas.
Apalagi korban disebut mirip dengan ciri-ciri penculik anak yang tersebar di medsos.
Sekitar pukul 07.00 WIT, Ketua RT dan tokoh masyarakat Suku Kokoda yaitu Idris Ugaje menghubungi anggota Bhabinkamtibnas untuk menginformasikan bahwa warga setempat sedang mengamankan seseorang.
Tapi tak berlangsung lama, warga telanjur meluapkan amarah dengan melucuti pakaian korban serta memukulinya hingga babak belur.
Seorang anggota polisi dari Polsek Sorong Timur yang tiba di lokasi berupaya menyelamatkan korban dari amukan warga, namun diikuti oleh orang-orang yang masih ingin menganiaya.
Ketika tiba di jalan kompleks, tiba-tiba sejumlah orang dari Suku Kokoda menyiramkan bensin ke korban dan mengenai personel Bhabinkamtibnas, Fahri Husein.
Adapun saksi Absalom dan Hamzah menyebut berusaha melerai korban dari amukan massa.
"Tetapi salah seorang dari massa menyalakan korek gas dan membakar korban," kata kedua saksi kepada wartawan Rianti yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (25/01).
"Personel Bhabinkamtibnas Fahri Husein mencoba menghindar dari kobaran api, sedangkan Absalom dan Hamzah yang terkena siraman bensin ikut terbakar," tambahnya
Melihat korban terbakar dalam kondisi hidup-hidup, personel Polsek Sorong Timur dan beberapa warga yang ada di lokasi kejadian membantu memadamkan api yang membakar tubuh Wagesuti dengan air dan alat seadanya.
Kemudian mereka membawa perempuan itu ke RS Sele Be Solu dengan menggunakan mobil milik warga.
Di rumah sakit, korban mendapat penanganan medis. Begitu pula dua saksi Absalom dan Hamzah yang menderita luka bakar hingga 27% dan 18%.
Sekitar pukul 08.50 WIT, Wagesuti dinyatakan meninggal lantaran luka terbakarnya mencapai 90%.
Polisi: Korban Mengidap Gangguan Jiwa
Kapolresta Sorong, Happy Perdana, memastikan korban Wagesuti adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Ini karena saat penyelidikan sebelumnya pada Sabtu (21/01), ketika korban dianiaya dengan isu serupa di Pasar Ikan Jembatan Puri, korban tidak bisa memberikan keterangan dengan baik.
Sementara itu, isu penculikan yang beredar di media sosial, kata Kapolresta Sorong, belum ada laporan resmi terkait kasus penculikan anak.
Mengapa ODGJ masih diperlakukan buruk?
Yeni Rosa menyampaikan bahwa pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas mental atau ODGJ, adalah manusia yang tidak memiliki perasaan sehingga diperlakukan secara tidak manusiawi.
"Istilahnya hilang ingatan total, tidak ada perasaan, jadi diperlakukan apa saja tidak akan merasa," tutur Yeni.
Stigma ODGJ bukan manusia seutuhnya tersebut, sudah berlangsung lama dan 'dikuatkan' secara hukum melalui Undang-Undang Hukum Perdata pasal 433 yang menyebutkan penyandang disabilitas mental tak memiliki hak hukum sehingga harus punya pengampu.
Dalam arti sederhana ODGJ disamakan seperti anak-anak.
Aturan diskriminatif, ditambah perlakuan pemerintah terhadap penyandang disabilitas mental, membuat masyarakat kerap main hakim sendiri dan aparat hukum tak serius menangani kasus yang menimpa mereka.
Itu mengapa dalam kasus di Sorong, Perhimpunan Jiwa Sehat melaporkan peristiwa tersebut ke Komnas HAM. Tujuannya supaya ada tekanan kepada Kapolsek agar menanggapi kasus pembunuhan ini dengan serius hingga ke pengadilan.
"Saya khawatir kalau kasus ini kalau tidak dikawal ketat oleh Komnas HAM akan dibiarkan," imbuhnya.
"Dan tidak ada pembiaran terhadap warga negara yang dilanggar haknya. Sejauh ini polisi Sorong sudah menangkap satu pelaku, tapi apakah kemudian akan dilanjutkan? Atau mendingin dan kemudian hilang begitu saja? Karena korbannya ODGJ," tambahnya.
Bukan hanya itu, peristiwa kekerasan seperti yang dialami perempuan dengan gangguan jiwa bernama Wagesuti di Sorong bukan yang pertama.
Kira-kira 12 tahun lalu di Jakarta, seorang pria dengan gangguan jiwa dan hidup menggelandang juga dituduh menculik anak karena kelakuannya yang dianggap mencurigakan yaitu mondar-mandir di sekitaran wilayah tersebut.
"Entah bagaimana akhirnya warga meneriakinya penculik, kemudian dipukuli sampai mati," ujar Yeni Rosa kepada BBC News Indonesia, Rabu (25/01).
Mengetahui kejadian itu tidak ada tindakan dari polisi untuk menangkap pelaku, karena menganggap ODGJ bukan kasus yang harus diseriusi.
"Makanya buat saya kejadian di Sorong bukan hal yang mengejutkan karena sudah berkali-kali terjadi dan yang membuat saya menyedihkan karena kasus ini terus-menerus terjadi," imbuhnya lewat sambungan telepon.
Bentuk kekerasan yang kerap dialami ODGJ, berdasarkan pantauan lembaganya antara lain pemerkosaan dan pemasungan.
Kekerasan seksual yang dialami perempuan ODGJ maupun pemasungan, klaimnya, terjadi di sejumlah panti sosial milik swasta. Pelakunya tak lain adalah pengurus panti tersebut.
Namun, kasus-kasus itu tak pernah ditindaklanjuti oleh polisi.
"Contohnya ODGJ di panti sosial, di dalamnya banyak terjadi kekerasan fisik dan seksual tapi apakah ada proses hukum? Tidak pernah ada, tidak ada upaya membawa pelaku ke muka hukum. Semua permisif kalau korbannya ODGJ," pungkasnya
Pada Agustus 2021, Perhimpunan Jiwa Sehat pernah mencatat sebanyak 11.049 kasus kekerasan pada penyandang disabilitas mental di 190 panti sosial.
Mereka dikurung dalam ruang sempit, dipaksa sterilisasi, hingga mengalami kekerasan seksual.