Konten dari Pengguna

Dekonstruksi Ruang Kehidupan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
24 Desember 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sepatu lusuh, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sepatu lusuh, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah kota besar yang super sibuk, dengan gemerlap lampu yang seakan menelan langit malam, ada seorang pria bernama Johan. Ia bukan siapa-siapa, setidaknya begitu yang dipercayai semua orang, bahkan termasuk dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Johan merupakan sosok yang sering terlihat duduk di bangku taman, mengenakan kemeja lusuh yang warnanya memudar oleh waktu. Orang-orang yang melintas sering kali mencemooh dalam diam, memandang dirinya sebagai simbol kemalasan dalam dunia yang memuja kesibukan.
Akan tetapi di balik kemalasan dirinya yang tampak jelas, ada dunia yang tidak terlihat. Johan, dengan sepatu berlubang miliknya, menjadi seorang pengamat kehidupan yang tajam. Ia memperhatikan setiap detail kecil; seorang ibu yang menggenggam tangan anaknya dengan cemas, seekor burung yang berjuang melawan angin kencang, atau bayangan pohon yang bergoyang seolah-olah sedang menari.
Jelaslah, dunia Johan terkait horison yang tidak dicatat dalam laporan keuangan atau diabadikan dalam media sosial. Ia menjadi tokoh narator dalam sunyi, seorang pelukis tanpa kanvas.
ADVERTISEMENT
“Sepatu ini,” gumamnya suatu hari, sembari memandang sepatu petani yang ia beli di pasar loak seharga lima puluh ribu rupiah. “Sepatu ini pernah berjalan di sawah yang basah, merasakan tanah yang hidup. Tapi sekarang, sepatu tersebut hanya ada di kota yang sibuk, di mana tanah bahkan tak pernah menyentuh kaki.”
Johan tak pernah tahu bahwa di balik pikirannya yang sederhana, ada kejeniusan yang jarang ditemukan. Ia tidak memikirkan strategi besar atau mencoba membuat narasi agung tentang dirinya sendiri. Baginya, hidup adalah soal melihat dan merasakan. Namun, dunia tidak peduli pada keheningan. Dunia memuja suara keras, kegemerlapan, dan kehebohan. Dan Johan bukan bagian dari itu.
Hingga suatu hari, seorang pelukis tua bernama Don Karet, yang dikenal dengan karya-karyanya yang memutarbalikkan realitas, menemukan Johan di taman. Don, dengan topi lebar dan cat yang mengotori tangannya, berhenti di depan Johan.
ADVERTISEMENT
“Sepatu itu,” kata Don, menunjuk sepatu petani di kaki Johan. “Bolehkah aku melukisnya?”
Johan mengerutkan alis, bingung. “Mengapa? Ini hanya sepatu tua.”
“Justru itu,” jawab Don. “Kau tahu, sesuatu yang tua dan sederhana sering kali menyimpan cerita lebih dalam daripada apa yang terlihat di permukaan. Sepatu ini, dengan lumpur yang mengering, bisa menjadi jendela ke dunia yang telah dilupakan.”
Maka, Johan memberikan sepatu satu-satunya. Don membawa sepatu itu ke studio kecilnya di pinggir kota, di mana ia menghabiskan berminggu-minggu melukis. Hasilnya adalah sebuah karya memikat, menggambarkan sepatu itu dengan latar yang memancarkan kekuatan dan kehangatan dari kerja keras petani.
Lukisan itu, yang diberi judul “Sepatu Jiwa Berlumpur,” menjadi terkenal. Orang-orang berbondong-bondong ke galeri untuk melihatnya. Mereka berbicara tentang bagaimana sepatu itu mengingatkan diri pada akar manusia, tanah dan peluh yang membangun dunia ini.
ADVERTISEMENT
Dalam sekejap, sepatu petani lusuh itu berubah dari sesuatu yang seharga lima puluh ribu rupiah menjadi artefak bernilai miliaran.
Kendati demikian, di tengah gemerlap itu, Johan tetap tidak dikenal. Namanya tak pernah disebutkan dalam pameran, dan ia sendiri tidak peduli. Ia kembali ke bangku taman, kali ini tanpa sepatu. Orang-orang tetap memandang sinis sebagai pria malas, meski di kakinya kini hanya ada tanah yang dingin.
Pada akhirnya, Johan ditemukan tergeletak di pinggir kota. Ia meninggal dengan tenang, seperti bayangan yang akhirnya menyatu dengan malam. Tak ada yang menangis, tak ada yang peduli. Di atas makamnya, yang hanya diberi nisan kayu sederhana, tertulis: “Bukan untuk Siapa-siapa.”
Namun, mereka yang tahu kisah Johan -- meski hanya segelintir -- memahami bahwa tulisan itu bukan tanda ketidakberartian. Sebaliknya, kisah tersebut merupakan perlawanan diam-diam terhadap keangkuhan dunia yang selalu haus akan pengakuan. Johan tidak hidup untuk menjadi siapa-siapa; ia hidup agar dapat melihat, merasakan, dan mengingatkan dunia bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan.
ADVERTISEMENT
Lukisan Don Karet tentang sepatu Johan tetap menjadi karya yang diingat. Namun, cerita sejati di balik sepatu itu perlahan memudar, terkubur oleh narasi besar yang diciptakan oleh dunia seni. Johan, dengan segala diamnya, menjadi bukti bahwa nilai sejati tidak selalu membutuhkan panggung.
Dalam kesunyian hidupnya, ia telah membalikkan narasi dunia; dari kota gemerlap menjadi desa yang sederhana, dari keramaian menjadi keheningan, dari abu-abu menjadi jelas. Dan dalam diam, ia tetap menjadi saksi bagi mereka yang tahu cara melihat.