Konten dari Pengguna

Menemukan Relevansi Pendidikan Lingkungan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
16 Desember 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi habitat persawahan, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi habitat persawahan, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Ketika mengingat kembali pelajaran ilmu Biologi di masa sekolah dulu, saya merasa diri beruntung karena dapat merasakan pengalaman belajar yang sungguh terhubung dengan alam sekitar. Pada tahun 1987, salah satu topik yang saya pelajari di SMP mengenai habitat. Saat itu, saya melakukan pengamatan langsung terhadap habitat sawah di sebelah rumah.
ADVERTISEMENT
Pengalaman mengamati membuka mata saya terhadap keajaiban tersembunyi di balik lumpur dan genangan air sawah. Saya menyaksikan ikan-ikan seperti ikan sepat, cere, sili, betik, betok, lele, dan gabus berenang di antara tanaman padi. Saya juga melihat kehadiran kepiting, keong siput dan kondang, udang-udang kecil, cacing sawah, belut, bahkan ular yang semuanya membentuk ekosistem yang saling bergantung.
Pelajaran yang demikian tentu saja mengajarkan saya bahwa lumpur yang terlihat kotor sebenarnya menyimpan segudang misteri. Di dalamnya terdapat unsur-unsur yang memungkinkan padi tumbuh subur, menyuplai kebutuhan pangan manusia. Interaksi antara organisme yang hidup di habitat tersebut mencerminkan kompleksitas dan harmoni alam. Dari sini, saya memahami bahwa realitas memunculkan teori, dan teori pada giliran dapat digunakan memahami realitas. Lebih dari itu, saya menyadari betapa penting menjaga dan merawat alam sebagai tempat tinggal, rumah kita bersama.
ADVERTISEMENT
Pengalaman belajar Biologi tersebut mencerminkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya teoretis, tetapi juga praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya, di era modern ini, koneksi antara pendidikan dan alam acap kali terputus. Anak-anak di perkotaan, misalnya, mungkin tidak memiliki kesempatan merasakan langsung keajaiban alam seperti yang saya alami di sawah. Mereka lebih sering terpapar pada layar gawai daripada pada interaksi langsung dengan lingkungan sekitar.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang terhubung dengan alam memiliki dampak positif terhadap perkembangan kognitif, emosional, dan sosial peserta didik. Menurut data dari Child Mind Institute (2022), peserta didik yang menghabiskan waktu di alam terbuka menunjukkan peningkatan konsentrasi, pengurangan tingkat stres, dan kemampuan problem-solving yang lebih baik. Dengan demikian, mengintegrasikan alam ke dalam kurikulum pendidikan bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga turut membentuk karakter dan keterampilan hidup secara holistik.
ADVERTISEMENT
Alam dalam kenyataan merupakan “guru” yang bijaksana, memberikan pelajaran tentang siklus kehidupan, adaptasi, dan keberlanjutan. Misalnya, interaksi antara ikan, keong, dan belut di sawah mencerminkan keseimbangan ekosistem yang rapuh namun kuat. Ketika salah satu elemen terganggu, seluruh sistem menjadi runtuh. Pelajaran demikian relevan dengan kehidupan manusia, di mana kerjasama dan harmoni menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan komunitas.
Mengintegrasikan pelajaran mengenai alam dan lingkungan ke dalam kurikulum sekolah menjadi salah satu cara menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Hal ini dapat dimulai dengan pendekatan sederhana, seperti mengajak siswa mengamati ekosistem di sekitar mereka, melakukan proyek penghijauan, atau mempelajari siklus air dan tanah melalui eksperimen langsung.
Selain itu, pendekatan interdisipliner dapat digunakan dalam mengajarkan bahwa isu lingkungan tidak terpisah dari bidang lain. Misalnya, pelajaran ekonomi dapat mencakup diskusi tentang dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian masyarakat, sementara pelajaran seni dapat menginspirasi siswa dalam menghasilkan karya yang menggambarkan keindahan dan kerentanan alam.
ADVERTISEMENT
Kita hidup di planet yang memiliki kerumitannya sendiri, dan di situlah kita tinggal. Oleh karena itu, merawat alam bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Upaya tersebut membutuhkan partisipasi dari semua pihak, mulai dari individu hingga pemerintah. Pada tingkat individu, kita dapat memulai dengan langkah sederhana seperti mengurangi penggunaan plastik, mendaur ulang limbah, dan mendukung produk lokal ramah lingkungan.
Pengalaman belajar Biologi mengenai habitat sawah bukan hanya pelajaran akademis, tetapi juga pelajaran hidup. Ilmu hayat mengajarkan saya tentang pentingnya keseimbangan, adaptasi, dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Keanekaragaman hayati yang saya saksikan di sawah memberikan pelajaran mengenai kekayaan alam yang harus dijaga dan dilestarikan.
Semoga generasi muda dapat merasakan pengalaman serupa, di mana pelajaran tidak hanya berasal dari buku, tetapi juga dari interaksi langsung dengan alam. Dengan demikian, mereka dapat memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya. Pendidikan yang mengajarkan penghargaan terhadap alam akan membentuk generasi muda agar lebih sadar lingkungan dan siap menghadapi tantangan masa depan.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan akhir pelajaran Biologi tentang habitat yang saya alami pada tahun 1987 masih relevan hingga saat ini. Ilmu itu mengingatkan kita bahwa alam adalah rumah bersama, dan kita memiliki tanggung jawab merawatnya. Dengan mengintegrasikan pembelajaran berbasis alam ke dalam pendidikan, para pendidik dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijaksana dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Lumpur yang tampak kotor sebenarnya menyimpan keajaiban, dan tugas kita adalah menjaga agar keajaiban itu tetap hidup bagi masa depan.