Konten dari Pengguna

Saatnya Healing atau Rekreasi dalam Keseharian

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
4 Desember 2024 11:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi healing, dalam konsep berpergian, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi healing, dalam konsep berpergian, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, saya kerap digoda agar pergi ke tempat jauh yang sepi, untuk healing atau rekreasi di sana. Saya juga ingin mendaki gunung atau menyusuri garis pantai, berjalan tanpa perlu berpikir banyak. Godaan demikian membuat saya berhenti sejenak memikir dan merenung pilihan healing mana yang tepat sesuai kesibukan dalam keseharian hidup tanpa harus berpikir jauh-jauh, sambil meraba-raba kembali makna atau pengertian dari healing itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Istilah "healing" rupanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perbincangan masyarakat, khususnya generasi muda, dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang yang mengaitkan proses penyembuhan demikian melalui perjalanan ke tempat-tempat eksotis, yang konon dapat membantu melepaskan diri dari tekanan hidup. Akan tetapi pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah benar healing dengan cara tersebut memberikan pemulihan sejati, atau justru sekadar pelarian yang bersifat sementara?
Pada awalnya, healing dimaknai sebagai upaya pemulihan diri dari stres atau tekanan emosional. Konsep tersebut mencakup berbagai aktivitas yang membantu seseorang mencapai keseimbangan mental dan fisik, seperti meditasi, olahraga, atau sekadar beristirahat di rumah. Namun demikan, dalam perkembangan selanjutnya, healing sering kali berubah makna menjadi ajang pembenaran untuk bepergian, mengejar pengalaman baru, dan memamerkan aktivitas diri di media sosial.
ADVERTISEMENT
Menurut survei yang dilakukan oleh sebuah platform perjalanan pada tahun 2023, lebih dari 65% generasi muda di Indonesia menganggap bepergian sebagai salah satu bentuk healing. Tempat-tempat populer seperti Bali, Lombok, hingga destinasi internasional seperti Perancis, Italia, Jepang dan Korea Selatan sering menjadi pilihan utama. Tidak jarang, biaya perjalanan tersebut menguras dompet, meninggalkan tumpukan tagihan yang menambah tekanan finansial setelahnya.
Tren perkembangan ini menunjukkan bahwa healing kerap kali direduksi menjadi gaya hidup konsumtif. Orang-orang cenderung fokus pada aktivitas yang tampak healing secara visual—berjemur di pantai, hiking ke gunung, atau menikmati sunset di tempat jauh—namun lupa bahwa pemulihan sejati tidak selalu memerlukan perjalanan fisik.
Bepergian tentu memiliki manfaat. Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa perjalanan dapat meningkatkan kebahagiaan, mengurangi stres, dan memberikan perspektif baru. Kendati demikian, ketika dilakukan secara berlebihan, dampaknya justru kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Secara finansial, bepergian yang terlalu sering dapat mengganggu stabilitas keuangan personal. Biaya tiket pesawat, akomodasi, makanan, hingga oleh-oleh dapat saja menumpuk, apalagi jika dilakukan tanpa perencanaan matang.
Sebuah laporan dari Bank Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa pengeluaran pariwisata di kalangan generasi muda meningkat hingga 20% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan sebagian besar menggunakan kartu kredit atau pinjaman. Hal ini menunjukkan kecenderungan konsumtif yang berisiko pada utang jangka panjang.
Secara psikologis, healing berbasis perjalanan juga tidak selalu efektif. Rasa lelah akibat perjalanan jauh, tekanan membuat momen perjalanan terlihat "sempurna" di media sosial, hingga kekecewaan ketika ekspektasi tidak terpenuhi, dapat menambah stres baru. Healing yang awalnya bertujuan memulihkan diri, malah berpotensi menjadi sumber ketidakpuasan.
ADVERTISEMENT
Saatnya mengubah cara pandang seseorang tentang healing. Pemulihan diri tidak harus selalu terkait dengan perjalanan atau pengeluaran besar. Sebaliknya, healing dapat dilakukan dalam keseharian dengan cara-cara sederhana namun bermakna, antara lain melalui:
Pertama, penting agar seseorang memprioritaskan istirahat cukup. Tidur berkualitas merupakan bentuk healing paling dasar yang sering terabaikan. Menurut American Psychological Association, tidur cukup dapat meningkatkan konsentrasi, mengurangi kecemasan, dan memperbaiki suasana hati.
Kedua, menjaga kesehatan mental melalui meditasi juga dapat menjadi salah satu solusi. Aktivitas ini tidak memerlukan biaya besar, namun terbukti efektif dalam membantu seseorang merasa lebih tenang dan fokus.
Ketiga, mengapresiasi hal-hal sederhana di sekitar. Menghabiskan waktu bersama keluarga, atau komunitas berjalan-jalan di taman, atau sekadar menikmati secangkir kopi atau teh hangat dapat menjadi momen healing yang tidak kalah berharga dibandingkan perjalanan jauh.
ADVERTISEMENT
Keempat, memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Mengidentifikasi apa yang benar-benar membuat seseorang bahagia dan menghilangkan kebiasaan atau hubungan merugikan menjadi langkah penting dalam proses pemulihan.
Healing berkelanjutan tidak memerlukan destinasi mewah atau perjalanan jauh. Justru, keseharian seseorang memiliki banyak potensi, yakni menjadi sumber kedamaian. Mengintegrasikan kebiasaan kecil yang mendukung kesehatan mental, fisik, dan emosional dapat memberikan efek lebih signifikan dibandingkan dengan pelarian sementara.
Dalam budaya Jepang, dikenal konsep ikigai. Ikigai (生き甲斐) merupakan istilah yang menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan. Ikigai juga sering digunakan sebagai alasan mengapa seseorang perlu bangun di pagi hari. Ikigai mengajarkan bahwa kebahagiaan terletak pada hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari, seperti menjalani pekerjaan dengan dedikasi atau menikmati waktu bersama orang tercinta. Mengadopsi pola pikir demikian dapat membantu seseorang memandang healing sebagai proses yang terus berlangsung, bukan sebagai aktivitas sesaat yang perlu dirayakan melalui bepergian.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan akhir, healing seharusnya menjadi proses pemulihan autentik dan berkelanjutan, bukan sekadar tren konsumtif yang membebani. Bepergian memang dapat memberikan kebahagiaan sementara, namun tidak selalu menjadi solusi jangka panjang dalam mengatasi stres. Saatnya memandang healing sebagai bagian dari keseharian, dengan fokus pada kebiasaan kecil yang membantu kita mencapai keseimbangan diri.
Dengan begitu, kita tidak hanya menghindari risiko kelelahan finansial dan emosional, tetapi juga menemukan makna lebih dalam pada hal-hal sederhana di sekitar. Healing dalam keseharian bukan hanya tentang melarikan diri, melainkan tentang kembali pada diri sendiri, dalam kedamaian nyata.