Konten dari Pengguna

Menghilangkan Writing Anxiety Menulis KTI

Benny Iswardi
ASN, Analis Kebijakan Madya
1 Agustus 2021 9:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Iswardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Firmbee dari pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Firmbee dari pixabay.com
ADVERTISEMENT
Namun tidak semua analis kebijakan merasa mampu menulis KTI. Padahal menulis adalah hal biasa bagi PNS. Setiap mengakhiri tugas pasti diakhiri dengan membuat laporan atau memorandum. Dalam karya tulis kedinasan ini, ada proses menelaah dan menganalisis masalah sebelum memberikan kesimpulan dan saran.
ADVERTISEMENT
"Beda pak," jawab seorang teman.
"Bikin laporan dan memorandum lebih mudah dibanding menulis KTI, bentuknya pointers bukan paragraf dengan kalimat yang banyak, bukan cerita yang panjang. Saya susah kalau menulis seperti itu," lanjutnya
"Tulisannya bagus di FB," jawab saya. "Tulisan di FB yang baca cuma teman," ia melanjutkan.
Beberapa hari lalu saya menghadiri acara berbagi pengalaman menulis dengan beberapa teman kantor yang antusias untuk mengirimkan karyanya ke media. Menurut saya acara ini baik, karena ini salah satu bentuk learning zone dan belajar mandiri, yang memenuhi prinsip-prinsip profesionalitas PNS yang duduk dalam jabatan fungsional.
Semangat teman-teman untuk menulis ke media memiliki nilai positif. Dengan terbiasa menulis, akan mengasah analis kebijakan melihat perspektif secara luas dan kepekaan melihat permasalahan kebijakan, sebelum memberikan solusi atas permasalahan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Media memiliki keunikan gaya bahasa. Dari media yang menggunakan gaya bahasa milenial, semi populer dan serius. Analis kebijakan dapat lebih santai menulis di media. Sangat berbeda dengan jenis KTI lain dengan bahasa dan penyajian tulisan yang harus memenuhi kaidah ilmiah. Apalagi menulis policy brief yang memiliki jumlah halaman 4 sampai dengan 8 halaman, tetapi sudah dapat memberikan beberapa alternatif solusi pelaksanaan kebijakan.
Permasalahan yang disampaikan teman-teman dalam acara itu, antara lain tidak punya ide untuk ditulis; takut dituntut, karena media dibaca khalayak umum; sudah punya ide, tetapi bingung mau mulai menulis darimana, sudah memiliki tulisan, namun merasa tulisannya jelek.
Perasaan itu hal wajar bagi penulis pemula, Al-Sawalha and Chow (2012) menyebutnya writing anxiety. Seseorang dalam kondisi writing anxiety ketika memiliki perasaan, keyakinan dan pikiran yang menghalangi untuk mulai menulis. Meskipun sebenarnya ia punya kemampuan untuk melakukannya. Jangankan bagi penulis pemula, penulis profesional pun mengalami kecemasan, kejenuhan atau kebuntuan untuk menulis.
ADVERTISEMENT
Untuk melawan hambatan menulis perlu dipompa semangat dengan mengucapkan hal-hal yang positif, misalnya saya sudah menulis dengan jelas, saya tahu yang menjadi minat pembaca, saya punya opini yang didasarkan data, saya mendengarkan dengan baik, saya mempunyai daya kritis (https://writingcenter.unc.edu).
Tidak ada resep jitu untuk memulai menulis. Untuk mendapatkan kepercayaan diri jangan memberikan beban berlebih dengan membandingkan karya penulis terkenal. Penulis berpengalaman telah berproses lama melalui latihan demi latihan dan jatuh bangun dalam mengasah kemampuan menulis.
Meminjam perumpamaan teman, "Untuk menciptakan sebuah KTI, kita bisa memilih cara perusahaan mobil menciptakan mobil listrik. Satu perusahaan melakukan riset yang lama sebelum mengeluarkan mobil listrik. Perusahaan yang lain punya cara berbeda menciptakan mobil listrik, melalui tahapan dengan menciptakan mobil manual dulu, kemudian menciptakan mobil otomatis, sebelum akhirnya dapat membuat mobil listrik."
ADVERTISEMENT
Seorang mentor dalam satu kursus menulis yang diselenggarakan ASNation memberikan ilustrasi sederhana. Menulis apa pun itu perlu latihan, ibarat belajar naik sepeda. Supaya bisa naik sepeda, ya mulai mengayuh sepeda. Kalo jatuh, bangun lagi, coba kayuh lagi. Begitu seterusnya, nantinya secara alamiah kita dapat menyiasati menjaga keseimbangan supaya tidak jatuh tadi.
Mana yang kita pilih? Apakah sibuk mencari teori menulis dengan mengikuti kursus dan webinar sampai akhirnya baru tercipta KTI? Dengan risiko malah tidak ada satu KTI yang dibuat. Atau memulai menulis dengan tema apa pun yang menarik dan dikuasai menjadi sebuah tulisan, sampai akhirnya punya KTI?
Selain itu, yang penting diingat, penikmat tulisan punya preferensi sendiri, punya pilihannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Selamat menulis.