Konten Media Partner

OPINI: Mengurangi Nomophobia Melalui Layanan Konseling Realita

8 Juli 2022 18:45 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bermain smartphone. FOTO: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain smartphone. FOTO: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Teknologi internet di Indonesia terus berkembang. Salah satunya ditandai dengan munculnya gadget atau smartphone.
ADVERTISEMENT
Terdapat fakta menarik, di mana saat ini ada 83,6 juta pengguna internet atau bertumbuh sebanyak 33 % dibanding akhir tahun lalu. Sebanyak 34 % pengguna internet di Indonesia saat ini adalah pengguna aktif. Jumlah tersebut menggambarkan bahwa hampir setiap orang di Indonesia memegang ponsel sebanyak 1,13 unit, menurut catatan Good News.
Awalnya smartphone hanya digunakan orang dewasa. Tetapi beberapa tahun terakhir, smartphone mulai banyak digunakan remaja bahkan anak-anak. Seorang remaja usia sekolah dapat menghabiskan waktunya dengan bermain smartphone, untuk mencari materi pelajaran dan berkomunikasi jarak jauh.
Sayangnya, dampak positif penggunaan smartphone itu juga diiringi dampak negatif jika digunakan secara berlebihan. Mulai lebih sering menghabiskan waktu hanya untuk bermain smartphone, hingga lebih senang bermain smartphone daripada bermain atau berinteraksi dengan teman-teman sekitar.
ADVERTISEMENT
Akibatnya anak bisa malas belajar, motivasi untuk belajar dan berprestasi menurun atau menghilang, bahkan menjadi pribadi yang individualis. Hal itu bisa dipahami karena emosi remaja masih cenderung labil dan mudah terpengaruh lingkungannya.
Ketidakmatangan emosi tersebut juga mendorong remaja menginginkan atau ikut serta terhadap apapun yang sedang ramai diperbincangkan teman-temannya. Hal itu menjadi bentuk konformitas remaja, agar mereka merasa diterima serta diakui oleh lingkungannya (Paramita & Hidayati, 2016).
Ilustrasi pergaulan remaja. FOTO: Shutterstock
Meski awalnya hanya untuk bergaul, tanpa disadari remaja lama-lama akan tergantung dengan gawainya. Kebutuhan remaja untuk selalu terhubung dengan dunia maya sejalan dengan pendapat Erich Fromm (1995).
Fromm berpendapat, salah satu dampak modernisasi adalah kesadaran individu yang berganti dengan kebutuhan akan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial dan seluruh hukum-hukumnya. Individu akan berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti ritme hidup bersama, agar dapat diakui sebagai bagian dari golongan dengan menjalankan hal-hal yang sesuai aturan.
ADVERTISEMENT
Upaya remaja agar dapat diterima oleh lingkungannya inilah, yang akan mengantarkannya kepada nomophobia. Nomophobia atau Not-mobile-phone adalah ketakutan jika tidak memiliki akses smartphone.
Nomophobia dianggap sebagai gangguan modern dan baru-baru ini digunakan untuk menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan berlebihan saat tidak dekat dengan perangkat komunikasi virtual, seperti smartphone.
Hal ini ditandai ketakutan remaja ketika kehilangan ponsel, kebingungan mereka jika gawainya ketinggalan saat bepergian, kecemasan remaja jika jaringan seluler smartphone-nya terputus tiba-tiba, hingga kecenderungan tidak mematikan ponsel saat hendak tidur agar tetap responsif saat ada yang menghubungi.
Belum lagi fenomena di mana remaja lebih nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain menggunakan ponselnya, daripada berkomunikasi secara langsung.
Ilustrasi kecanduan smartphone. FOTO: Shutterstock
Di sinilah peran guru BK sangat diperlukan untuk mereduksi atau menghilangkan nomophobia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam bimbingan dan konseling adalah menggunakan konseling kelompok pendekatan realita, dengan teknik WDEP (Want, Do, Evaluation and Planning).
ADVERTISEMENT
Pendekatan realita bisa melatih remaja untuk mengubah perilaku atau kebiasaan yang salah, dan menggantinya dengan kebiasaan baru yang lebih positif. Sebab pendekatan ini menekankan kepada perilaku seseorang dalam bertindak.
Biasanya, layanan konseling pendekatan realita diberikan kepada sekelompok orang, dengan anggota maksimal 8 orang. Dalam proses konseling, guru BK dan anggota kelompok menerapkan asas kerahasiaan, asas keterbukaan dan asas kesukarelaan. Di mana, setiap anggota kelompok secara sukarela dan terbuka menceritakan permasalahan individu kepada pemimpin kelompok dan anggota kelompok lainnya.
Ilustrasi konseling kelompok. FOTO: Shutterstock
Dalam konseling kelompok pendekatan realita, guru BK selaku pemimpin kelompok akan mengajak anggota untuk menyadari bahwa perilaku yang dilakukan belum sesuai. Guru BK juga menggali keinginan anggota kelompok, terkait perilaku nomophobia yang mereka hadapi. Seperti keinginan untuk berhenti, hal apa saja yang sudah dilakukan, evaluasi serta komitmen anggota kelompok.
ADVERTISEMENT
(*)
Penulis: Anindita Dwi Kusti Aprilia, SPd
Mahasiswa PPG Prajabatan Bimbingan dan Konseling, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta