Konten dari Pengguna

Sekilas Pendidikan Dasar di Selandia Baru yang Santai tapi Berkualitas

Bergman Siahaan
Analis Kebijakan Publik dan Penanaman Modal di Pemerintah Kota Medan
28 Agustus 2020 9:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana kelas sekolah dasar di Selandia Baru (Foto: Epuni Shcool)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kelas sekolah dasar di Selandia Baru (Foto: Epuni Shcool)
ADVERTISEMENT
Kualitas pendidikan biasanya dinilai dengan skor PISA (Programme for International Assessment) yang dikeluarkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). PISA mengukur kualitas pendidikan berdasarkan tiga bidang saja, yaitu literasi, matematika, dan sains (Dewabrata, 2019). Meski bisa dijadikan patokan, tetapi penulis melihat ada hal-hal lain, di luar tiga bidang tersebut, yang layak diperhitungkan dalam menilai sistem pendidikan.
ADVERTISEMENT
Finlandia sering disebut memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia meski hanya menempati peringkat ketujuh pada survei PISA 2018. Kalah dari Republik Rakyat Tiongkok bahkan Singapura, namun bagusnya sistem pendidikan Finlandia telah diakui banyak kalangan dan sudah diangkat dalam berbagai artikel dan buku.
Sama seperti Finlandia, sistem pendidikan Selandia Baru juga memiliki beberapa kelebihan yang patut dicermati, di luar matematika dan sains. Berikut ini adalah sekilas tentang pendidikan dasar di Selandia Baru hasil observasi penulis selama tinggal dan menyekolahkan anak di sana.

Waktu

Kewajiban bersekolah di Selandia diberlakukan untuk usia 6-16 tahun namun anak umur 5 tahun telah diterima di sekolah dasar (“Education,” n.d.). Pendidikan dasar dan menengah berlangsung hingga tiga belas kelas (Year 1—Year 13) atau sampai pelajar berusia 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Uniknya, anak-anak masuk ke sekolah dasar (primary school) berdasarkan tanggal ulang tahun kelimanya. Jadi misalnya, si anak berulang tahun ke-5 pada tanggal 10 April, maka ia pindah ke primary school pada tanggal 10 April meski pada tanggal 9 April ia masih berada di taman kanak-kanak (kindegarten). Begitu pula saat pelajar berulang tahun ke-19, ia boleh meninggalkan bangku sekolah meski tahun ajaran belum usai.
Tahun ajaran di Selandia Baru sendiri dimulai pada akhir bulan Januari atau awal Februari dan berakhir pada pertengahan bulan Desember (Government of New Zealand, n.d.). Tahun ajaran dibagi dalam empat masa (Term). Lamanya satu Term berkisar 2—2,5 bulan. Di antara Term ada libur selama 2—3 minggu.
ADVERTISEMENT
Jam pelajaran sekolah dasar dimulai pada pukul sembilan pagi dan berakhir pada pukul lima belas di sore hari. Meski demikian, anak diperbolehkan datang lebih lama atau pulang lebih cepat tanpa dikenakan sanksi. Aturan ini sangat menguntungkan anak-anak karena mereka tidak perlu bangun dini hari untuk terburu-buru ke sekolah. Cukup banyak waktu untuk ibadah, sarapan dengan santai, bahkan bermain sejenak.
Sebagai informasi, pada musim panas matahari terbit sekitar pukul enam dan saat musim dingin sekitar pukul tujuh. Artinya ada sekitar 2—3 jam rentang waktu sejak matahari terbit sampai masuk sekolah. Memang orang Selandia Baru konon sangat mengutamakan kualitas hidup, tak berbeda dengan prinsip yang dianut orang Finlandia.

Biaya

Pendidikan Selandia Baru terdiri dari tiga tingkatan: early childhood education (sampai usia 5 tahun), primary and secondary education (usia 5—19 tahun), dan further education (pendidikan tinggi). Primary School menyelenggarakan kelas Year 1 hingga kelas Year 6, kemudian Intermediate School melanjutkan kelas Year 7 dan Year 8, dan Secondary School untuk kelas Year 9 hingga Year 13.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menggratiskan biaya pendidikan primary dan secondary school pada sekolah-sekolah negeri. Sementara untuk sekolah swasta, biaya pendidikan mengikuti kebijakan sekolah masing-masing. Menariknya, pengunjung sekalipun diperbolehkan mencicipi sekolah selama paling lama tiga bulan meski tanpa mengantongi visa pelajar. Sementara pemilik visa pelajar sudah barang tentu bisa bersekolah, juga dengan gratis selama masa visa berlaku.

Seragam dan zonasi

Sekolah-sekolah negeri di Selandia Baru pada umumnya tidak memberlakukan seragam. Anak-anak bebas menggunakan pakaian apa saja ke sekolah, bahkan sepatu pun tidak diwajibkan. Hanya pada musim panas, para murid diinstruksikan untuk menggunakan topi saat selama di luar gedung. Sekolah pun biasanya menyediakan topi bagi anak-anak yang tidak membawanya.
Selandia Baru juga menerapkan sistem zonasi sekolah. Artinya, anak dianjurkan bersekolah di sekitar tempat tinggal mereka. Sekolah wajib menyediakan tempat bagi anak-anak di lingkungannya. Bagaimana jika ingin sekolah di luar zona? Boleh saja, tetapi anak harus mengajukan permohonan dan sekolah tersebut tidak wajib memberi tempat, tetapi tergantung ketersediaan yang ada.
ADVERTISEMENT

Kurikulum

Satu hal yang unik adalah bahwa Selandia Baru memiliki dua kurikulum nasional. Kurikulum pertama disebut The New Zealand Curriculum yang diterapkan oleh sekolah-sekolah berbahasa Inggris secara umum, sementara sekolah berbahasa Maori (suku asli Selandia Baru), menggunakan kurikulum berbasis filosofi Maori yang disebut Te Marautanga o Aotearoa.
Pada pendidikan dasar, kurikulum pendidikan di Selandia Baru fokus pada dasar pembelajaran di berbagai mata pelajaran dan kompetensi tetapi terutama dalam literasi dan berhitung. Kemudian pada pendidikan menengah, mereka belajar kurikulum yang luas dan seimbang, dengan beberapa spesialisasi di Year 11—13.
Sederhananya, anak-anak di sekolah dasar diajarkan hal-hal dasar dari setiap ilmu. Tidak melebar kesana-kemari tetapi fokus pada hal-hal mendasar yang perlu diketahui anak pada setiap tingkatan usianya.
ADVERTISEMENT
Sekolah sangat meminimalisir pekerjaan rumah alias PR. Kalau pun ada, biasanya berupa proyek menulis, membaca dan membuat resensi buku atau proyek kreativitas. Prinsipnya, anak belajar di sekolah. Sementara rumah adalah tempat belajar kehidupan bersama keluarga.
Anak-anak tidak pernah membawa tas berat. Semua buku-buku pelajaran dan alat tulis disimpan di sekolah. Anak hanya perlu membawa perlengkapan diri seperti topi, jaket, makanan, minuman dan kebutuhannya yang lain setiap kali berangkat ke sekolah.
Visi kurikulum pendidikan Selandia Baru adalah: “Orang muda yang percaya diri, terhubung, terlibat secara aktif, dan pembelajar seumur hidup” (Ministry of Education, 2015). Prinsip dasar yang ditetapkan yaitu: Harapan tinggi, Perjanjian Waitangi, Keanekaragaman budaya, Inklusi, Belajar untuk belajar, Keterlibatan komunitas, Koherensi, Fokus masa depan.
ADVERTISEMENT
Kompetensi kunci pendidikan Selandia Baru juga patut sangat berkesan: “Kemampuan untuk hidup dan belajar seumur hidup”. Menurut mereka, ada lima kompetensi kunci pendidikan:
Penulis melihat langsung bagaimana pola pengajaran di kelas sekolah dasar di Selandia Baru benar-benar mengejawantahkan pokok-pokok kurikulum tersebut. Anak-anak dipersiapkan untuk menjadi orang yang mampu berpikir, mengendalikan diri, percaya diri, suka belajar, terlibat dan berkontribusi terhadap masyarakat. Bukankah itu kemampuan yang paling penting dimiliki seorang manusia?
Kompetensi “berkontribusi terhadap masyarakat” terwujud dengan menghargai keanekaragaman dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial. Singkatnya, murid-murid tidak dibentuk menjadi orang pintar yang terisolir dan tidak memberi manfaat pada lingkungannya. Keterlibatan dalam lingkungan sekitar yang majemuk dipercaya akan membentuk pikiran positif dengan memahami orang-orang di sekelilingnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungannya.
ADVERTISEMENT

Keunggulan dan kelemahan

Pendidikan di Selandia Baru juga terlihat unggul pembentukan karakter anak. Kalau soal mengantre tak perlu dibahas lagi, sepertinya sudah otomatis sejak lahir atau meng-copy perilaku orang tuanya. Karakter lain yang dibangun sejak dini adalah memahami bahwa manusia itu berbeda-beda. Berbeda ras, budaya, agama bahkan kondisi kesehatan yang berbeda.
Selandia Baru memang memiliki keanekaragaman karena banyaknya pendatang yang tinggal di sana. Hampir di setiap kelas terdapat murid dari berbagai negara, ras dan agama di setiap kelas. Namun dibalik perbedaan itu, anak-anak juga diajak mencari kesamaan melalui permainan. Bahwa dengan orang yang berbeda ras dan budaya pun ternyata terdapat kesukaan yang sama, sifat yang sama dan kesamaan-kesamaan lainnya. Hal ini akan memperkuat rasa kebersamaan dan mengikis intoleransi.
ADVERTISEMENT
Sekolah mengajarkan anak-anak untuk saling memberi manfaat kepada rekan-rekannya dan bukan saling bersaing apalagi menjatuhkan. Sebagai contoh, anak-anak sering belajar dalam kelompok kecil. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan bersama. Lalu anak-anak yang lebih paham diwajibkan untuk mengajari temannya yang belum paham.
Tidak ada ranking kelas dan ujian yang berujung nilai angka. Tidak ada pula rapor yang berhias angka-angka. Gantinya, "Rapor" siswa adalah sebuah laporan kualitatif tentang perkembangan anak dibandingkan periode sebelumnya, termasuk memberitahu orang tua tentang kelebihan dan kekurangan si anak.
Kepercayaan diri dipupuk sejak kecil. Anak-anak dibiasakan untuk menyampaikan pendapat, pidato singkat, atau menceritakan resensi buku yang dibaca. Porsi belajar satu arah diminimalisir. Sebaliknya, sering dilakukan metode interaksi. Guru terbiasa menghargai setiap pertanyaan dan bantahan anak, seburuk apa pun itu. Hal ini terbangun terus hingga dewasa di mana penulis mengalami bagaimana para dosen selalu menyambut pertanyaan mahasiswa dengan “Good question!”.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat anak-anak bersemangat selama di sekolah, mungkin proses belajar yang tidak monoton. Ruangan kelas mereka mirip kelas anak TK di Indonesia, penuh warna dan posisi tempat duduk yang fleksibel. Metode belajar mengkombinasi penggunaan audio visual dan aktivitas di luar kelas, mirip sekolah alam di Indonesia. Semua sekolah dasar di Selandia Baru juga dilengkapi dengan satu set taman bermain seperti yang ada di sekolah TK Indonesia. Di sanalah mereka berlatih otot-otot dan mengendurkan pikiran setiap jam istirahat. School is fun!
Hal paling mendasar adalah mengenai standar pelajaran. Di Kindergarten (usia empat tahun ke bawah) anak sama sekali tidak diajar calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Mereka berpendapat bahwa anak balita tidak seharusnya dibebani calistung namun menikmati fase untuk belajar bersosialisasi, bermain dan merangsang kreativitas.
ADVERTISEMENT
Calistung dikenalkan dengan halus pada kelas Year 1. Secara umum metode belajar matematika di sekolah dasar adalah logika dan tematik bukan dengan cara menghapal. Contoh-contoh atau praktik didesain sedemikian rupa untuk mengajarkan anak berhitung.
Alih-alih mengejar kemampuan matematika dan sains, sekolah dasar di Selandia Baru memberikan pendidikan pokok tentang kehidupan. Sejak usia dini, anak-anak diedukasi tentang keselamatan diri, baik di darat maupun di air.
Keselamatan di air diajarkan, misalnya, dengan latihan mengapung untuk bertahan di air. Sementara keselamatan di darat diajarkan dengan simulasi menghadapi gempa, bagaimana bereaksi terhadap pelecehan dan kekerasan, hingga edukasi lalu lintas seperti menyeberang, berskuter dan bersepeda.
Polisi mengajarkan aturan keselamatan berskuter (Foto: Epuni School)
Pendidikan pokok tentang kehidupan nyata sehari-hari ini menjadi catatan penting bagi penulis. Tak heran jika anak-anak tumbuh dengan pemahaman penggunaan helm dan taat berlalu-lintas, misalnya, yang sangat baik. Mungkin karena itulah pekerjaan negara tidak terlalu sulit dalam mengatur warganya setelah dewasa.
ADVERTISEMENT
Dibalik keunggulan sistem pendidikan Selandia Baru itu, tentu terdapat kelemahannya, setidaknya dari perspektif pribadi penulis dalam bingkai norma-norma yang dianut Indonesia. Selandia Baru menerapkan sistem pendidikan non-religius, sehingga pelajaran agama tidak diwajibkan.
Beberapa sekolah memang menggelar sesi pelajaran agama namun sifatnya pilihan dan atas seizin orang tua. Faktanya, kelas agama sepi karena mayoritas orang tua tidak mengizinkan anaknya mengikuti sesi itu atau karena si anak yang tidak mau dan tidak boleh dipaksa guru.
Hal lain yang mungkin bisa dianggap kelemahan adalah budaya santun yang berbeda dengan kebiasaan di dunia timur. Laiknya di negara-negara barat, anak-anak sering menyela dan membantah, bahkan meluapkan kemarahan kepada guru. Sementara guru tidak dapat menghukum secara fisik maupun verbal.
ADVERTISEMENT

Penutup

Demikianlah sekilas sistem pendidikan dasar di Selandia Baru. Menarik, bukan? Rasanya kelebihannya jauh lebih banyak dari kekurangannya. Dari segi waktu belajar dan pembagian tahun ajaran saja sudah cukup menyenangkan. Anak-anak dapat menikmati proses belajar yang tidak terkesan marathon. Orang tua juga dapat menyesuaikan waktu dengan nyaman seperti persiapan berangkat sekolah hingga masa libur panjang yang relatif serentak dengan dunia kerja.
Materi pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai usianya. Pendidikan karakter dan keselamatan menjadi poin yang krusial. Pengetahuan tersebut benar-benar berguna bagi anak-anak dalam menghadapi dunia nyata. Pelajaran yang variatif dan seimbang membuat anak-anak malah lebih suka sekolah daripada libur.
Selandia Baru memang tidak mengejar kemampuan matematika dan sains pada usia muda seperti yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai hal yang penting. Toh dengan sistem pendidikan seperti itu, Selandia Baru menempati ranking yang cukup baik berdasarkan skor PISA 2018, yakni peringkat kesebelas, jauh di atas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perlu dicermati juga bahwa PISA melakukan survei terhadap pelajar berusia lima belas tahun, setara murid kelas 9 di Indonesia atau Year 11 di Selandia Baru. Hal ini menunjukkan bahwa usia dini bukanlah saat yang tepat untuk mengukur kemampuan literasi, matematika dan sains. Meskipun, barangkali, kualitas akademik anak-anak sekolah dasar Selandia Baru diasumsikan tertinggal, tetapi pada akhirnya mereka unggul secara keseluruhan. Bukankah ini baik sebagai bahan pertimbangan?