Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Inilah Sarco, Mesin untuk Bunuh Diri yang Tuai Kontroversi
29 Juli 2020 8:29 WIB
Tulisan dari Berita Unik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Mesin Bunuh Diri” ini dipamerkan pada sebuah pameran pemakaman di Belanda beberapa tahun lalu. Philip Nitschke, pejuang eutanasia , menjadi kreatornya. Ia dibantu oleh seorang perancang asal Belanda, Alexander Bannink.
Rancangan tersebut kemudian diberi nama “Sarco” sebagai singkatan dari sarkofagus. Berbagai kontroversi pun dituai keduanya saat memamerkan mesin tersebut.
Desain dari alat ini sangatlah sederhana. Sebuah pod atau tabung yang berada di atas sebuah penyangga akan menjadi tempat terakhir manusia yang ingin mengakhiri hidupnya.
Cara kerja mesin bunuh diri ini juga begitu mudah. Mesin memiliki sebuah tombol, jika ditekan akan mengeluarkan gas nitrogen yang secara langsung membunuh orang di dalamnya.
“Orang yang ingin mengakhiri hidupnya cukup menekan tombol dan kapsul yang ditempatinya akan diisi dengan nitrogen. Ia akan merasa sedikit pusing tetapi kemudian akan cepat kehilangan kesadaran dan mati,” kata Nitschke, seperti dikutip The Guardian.
ADVERTISEMENT
Nitschke meyakinkan bahwa alat ciptaannya itu adalah sebuah teknologi “yang disediakan untuk orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya.”
Dalam pameran di kota Amsterdam tersebut, Nitschke dan Bannink memberikan kesempatan kepada para pengunjung untuk merasakan sensasi menggunakan "mesin bunuh diri" ciptaannya menggunakan kacamata virtual reality.
Nitschke mengatakan ia bertujuan membangun pod yang berfungsi penuh secepatnya. Setelah itu, desain mesin ini akan ditempatkan secara online sebagai dokumen terbuka bagi orang-orang untuk mengunduhnya.
“Itu berarti siapa saja yang ingin membangun mesin ini dapat mengunduh dan mencetak 3D perangkat mereka sendiri,” kata Nitschke.
Ketika ditanya tentang kontroversi seputar eutanasia dan rintangan hukum, Nitschke percaya bahwa memilih untuk mati adalah hak asasi manusia.
“Saya percaya itu adalah hak asasi manusia yang fundamental untuk memilih kapan harus mati. Ini bukan hanya beberapa hak istimewa medis untuk orang yang sangat sakit,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
“Jika Anda memiliki karunia hidup yang berharga, Anda harus dapat memberikan hadiah itu pada saat Anda memutuskannya,” tutup Nitschke
(EDR)