Konten Media Partner

Makna Kejawen di Balik Penyatuan Tanah dan Air di IKN

15 Maret 2022 14:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa membawa air dan tanah dari Bumi Majapahit saat prosesi mengisi Kendi Nusantara di IKN. Foto: Humas Pemprov Jatim
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa membawa air dan tanah dari Bumi Majapahit saat prosesi mengisi Kendi Nusantara di IKN. Foto: Humas Pemprov Jatim
ADVERTISEMENT
Ritual mengisi Kendi Nusantara dengan air dan tanah dari 34 provinsi yang dilakukan Presiden Jokowi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara merupakan sesuatu yang kultural dan bukanlah hal yang baru. Pasalnya prosesi tersebut pernah dilakukan di wilayah lain, salah satunya di Solo saat pembangunan Tugu Pajang.
ADVERTISEMENT
"Sama ya prosesinya dimana tanah dari beberapa provinsi dijadikan satu. Dan ini murni ritus kultural yang menjadi bagian kearifan lokal masyarakat Indonesia," jelas Riyadi saat dihubungi Basra, Selasa (15/3).
Riyadi menegaskan akan menjadi hal yang salah jika orang melihat ritual tersebut dalam perspektif agama. Dan ini yang akhirnya memicu polemik bahwa ritual tersebut sebagai penyimpangan agama tertentu.
"Kalau saya melihatnya memang ada bagian dari metafisika dimana aspek kultural masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari metafisika. Ini juga bukan semata-mata sebagai simbol penyatuan, tapi secara metafisika berusaha membangkitkan kejayaan masa lampau di masa Mataram," paparnya lagi.
Riyadi menilai ritual tersebut merupakan simbolisme dengan dua aspek. Pertama, wilayah IKN bukanlah wilayah yang lebih modern dari Jakarta. Artinya peradaban disana masih tradisional yang cukup dekat dengan ritual.
ADVERTISEMENT
"Sehingga apabila Presiden Jokowi melakukan ritual penyatuan Nusantara ini menunjukkan bahwa Presiden tidak ingin menggerus budaya lokal. Justru nantinya entitas tradisional di IKN akan tetap bersinergi dengan pemerintah pusat," jelasnya.
Kedua, ritual penyatuan tanah dan air dari 34 provinsi tersebut sebagai upaya mewujudkan kedaulatan.
"Kalau di keraton disebut Paseban yang menunjukkan bahwa keraton takluk atau menyerahkan tanah air kepada negara (Indonesia). Jadi menempatkan negara di atas kepentingan kerajaan (keraton). Jadi ada suatu kerelaan dari kesatuan tradisional untuk ikut serta dalam simbol pemerintahan yang baru," paparnya.
Riyadi tak menampik jika ritual penyatuan air dan tanah tersebut lebih kejawen. Meski demikian tak ada penolakan dari masyarakat mengingat instruksi yang diberikan kepada kepala daerah (provinsi) bukanlah kepala suku atau adat.
ADVERTISEMENT
"Provinsi itu kan struktural artinya kita tidak bicara kepala suku atau kepala adat sehingga tidak ada penolakan. Sehingga tidak ada masalah dengan entitas kesukuan. Lain ceritanya jika presiden menyerukan kepada kepala suku Dayak atau suku lainnya," tandasnya.