Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Mau Berpendapat tapi Tersumbat, Mural Penyampai Pesan yang Frontal dan Efektif
23 Agustus 2021 12:20 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan sejumlah mural yang menyinggung pemerintah dan kemudian viral.
ADVERTISEMENT
Salah satunya yakni mural bergambar wajah mirip Presiden Joko Widodo yang ada di Kota Tangerang. Bahkan mata dari sosok wajah di mural itu tertutup tulisan '404: Not Found'.
Tak sedikit pula pengamat hingga pihak Istana Kepresidenan berkomentar mengenai mural tersebut.
Menanggapi hal itu, Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Igak Satrya Wibawa S.Sos., MCA.,Ph.D menyampaikan bahwa mural sudah dikenal sejak dahulu sebagai salah satu media berekspresi.
Melalui perkembangannya, mural di era kontemporer menjadi hal yang tak terpisahkan saat menyebutkan kata kritik di ruang publik.
"Mural adalah salah satu bentuk streetart, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," kata Igak, Senin (23/8).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, meskipun sama-sama termasuk dalam seni jalanan, nyatanya mural berbeda dengan graffiti. Menurutnya, graffiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.
"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," jelas pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di FISIP Unair ini.
Terkait etika dan perizinan mengenai penempatan di ruang publik, Igak menanggapi bahwa hal tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi.
"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Dalam dimensi seni, wajar bila mural dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik ataupun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik.
"Untuk itu agak susah bila kita menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya," tambahnya.
Igak berpendapat mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis, yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan.
"Hanya bedanya, mereka yang official punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini. Akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," tuturnya.
Dalam era digital dimana semua orang bisa mengabarkan semua hal, siapapun yang menjadi sasaran kritik melalui mural perlu memperhatikan tanggapan yang akan diberikan.
ADVERTISEMENT
"Karena apapun bisa menjadi sesuatu yang besar bila direspon dengan cara yang salah, dan bila ditanggapi secara reaktif maka kemungkinan akan semakin menggaungkan pesan dalam mural," tutupnya.