Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Potret Kemiskinan Kampung Genderuwo, Lebih Takut Tak Punya Beras Dibanding Setan
11 Desember 2021 15:56 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Gedung Setan bukan satu-satunya tempat yang dianggap menyeramkan di Surabaya. Tak banyak yang tahu, kalau ternyata di Surabaya juga ada sebuah permukiman yang dijuluki Kampung Genderuwo.
ADVERTISEMENT
Genderuwo adalah penampakan hantu yang konon menyerupai manusia dengan ukuran lebih besar dan berbulu lebat. Nah, Kampung Genderuwo ini berlokasi di Jalan Tempurejo Tanggul.
Basra pun mendatangi Jalan Tempurejo Tanggul untuk bertemu langsung dengan warga Gang Genderuwo. Adalah Susiloningsih, wanita berusia 36 tahun ini bercerita tentang asal-usul kampung yang saat ini dihuni 15 kepala keluarga ini.
"Sejak kecil saya sudah tinggal di Gang Genderuwo ini. Bisa dibilang saya penghuni pertama di sini sama orang tua saya. Nama Gang Genderuwo ini sejak dulu. Karena memang dulu banyak pohon besar-besar, masih sepi, dan kata orang yang datang kesini pernah lihat penampakan genderuwonya di sini," kata Ningsih pada Basra, Sabtu (11/12).
Ningsih mengaku sejak kecil hingga dewasa tak pernah melihat langsung sosok genderuwo itu. Tapi sang suami, yang kerap pulang malam selepas melaut atau bekerja sebagai kuli bangunan pernah memergoki genderuwo tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kata suami saya mata genderuwonya merah, badan besar, di pohon itu (depan rumah)," kata Ningsih.
Meski menurut Ningsih genderuwo di kampungnya tidak mengganggu, tapi ada kebiasaan para ibu di sana untuk memasukkan anaknya di dalam rumah menjelang Magrib sampai esok pagi.
"Pokoknya anak-anak di sini pas Magrib sampai besok pagi sudah di dalam rumah enggak kemana-mana. Ya percaya atau tidak tapi ini kebiasaan warga di sini," kata Ningsih.
Lebih Takut Tidak Punya Beras dibanding Genderuwo
Warga Gang Genderuwo rata-rata bekerja sebagai kuli bangunan, sekuriti, nelayan, dan serabutan. Mereka tinggal di sepetak bangunan berukuran 3x5 meter yang sempit, pengap, dan dekat dengan kolam tak terawat yang dihuni biawak, nyamuk, dan bahkan ular liar.
ADVERTISEMENT
"Nyamuknya banyak kalau malam, saya juga cuma punya kipas angin kecil satu jadi anak-anak sering kepanasan digigit nyamuk," kata Ningsih.
Ningsih mengatakan, keluarganya sudah lama menjadi penerima Program Keluarga Harapan dari pemerintah. Putri sulungnya kini menjalani sekolah di sebuah SMK swasta, sedangkan putri bungsunya baru berusia dua tahun.
Untuk membantu ekonomi keluarga, Ningsih bersedia mengantar tetangganya sebagai ojek dengan ongkos Rp 15 ribu sekali jalan.
Bagi Ningsih, ada atau tidak keberadaan genderuwo di kampungnya tidak lagi menakutkan. "Saya lebih takut enggak bisa beli beras. Ini tadi saya mau ambil jatah beras 15 kilo, telur 1 kilo, katanya kartu saya rusak. Katanya harus sabar karena nanti diurus di kementerian, saya enggak tahu sampai kapan," ujar Ningsih dengan tatapan kosong.
ADVERTISEMENT