Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Huru-Hara Gus Miftah: Bukti Diskriminasi Kelas Sosial di Indonesia Masih Kuat
11 Desember 2024 14:48 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Bety Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Majelis sholawat, merupakan acara yang banyak digelar di beberapa daerah. Acaranya selalu mengundang antusiasme jamaah, terlebih lagi ketika acara tersebut dihadiri oleh tokoh agama yang masyhur. Biasanya, majelis sholawat digelar secara terbuka di tempat umum. Hal ini tentu saja memberikan peluang kepada para pedagang untuk berikhtiar menjemput rezeki. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang wajar jika banyak pedagang makanan dan minuman berlalu lalang menawarkan dagangannya kepada para jamaah di tengah-tengah kegiatan majelis.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, sosial media digemparkan dengan potongan video dalam acara “Magelang Bersholawat” yang disiarkan secara langsung melalu YouTube. Dalam video tersebut, salah seorang pemuka agama yang dikenal dengan sebutan Gus Miftah sedang memberikan ceramah di atas panggung bersama dengan pemuka agama lainnya.
Ketika acara kajian berlangsung, Gus Miftah menyoroti salah satu pedagang es teh keliling yang sedang menjajakan dagangannya di tengah para jamaah.
".....es teh... es teh..." teriak pedagang es teh.
“Iyo es teh! Cangkeme kuwi lho!” (“Iya es teh! Mulutnya itu lho!”) ucap Gus Miftah spontan. Ujaran tersebut disusul oleh gelak tawa dari jamaah. Tak menunggu lama, para jamaah meminta Gus Miftah untuk memborong dagangan penjual es teh tersebut.
ADVERTISEMENT
“O kon borong. Es tehmu ijik akeh ora?” (“O disuruh memborong. Es tehmu masih banyak nggak?”) tanya Gus Miftah kepada bapak pedagang es teh. Di seberang percakapan, pedagang es teh yang diketahui bernama Pak Sunhaji tersebut menjawab bahwa dagangannya masih banyak.
“Masih? Yo kono didol, goblok!” (“Masih? Ya sana dijual, goblok!). Ucap Gus Miftah.
Seketika, seisi majelis menertawakan lontaran tersebut, tak terkecuali para kyai yang duduk di atas panggung membersamai Gus Miftah.
“Dolen disik, mengko lak urung payu, wis takdir.” (Jual dulu, nanti kalau belum laku, sudah takdir.”) sambung Gus Miftah.
Seperti tidak terjadi apa-apa, Gus Miftah langsung melanjutkan ceramahnya yang saat itu sedang “mempromosikan” salah satu calon Bupati Magelang dan calon Gubernur Jawa Tengah. Acara tersebut telah digelar pada Rabu 20 November 2024 dan disiarkan langsung dari Lapangan Drh. Soepardi Kota Mungkid, Kabupaten Magelang. Akan tetapi, potongan video tersebut baru tersebar pada awal Desember 2024 ke seluruh penjuru media.
ADVERTISEMENT
Siapa Itu Gus Miftah?
Miftah Maulana Habiburrohman, merupakan pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta. Tokoh yang dikenal dengan Gus Miftah itu dikenal oleh publik karena gaya berdakwahnya yang ceplas-ceplos dan penuh dengan candaan. Pada 2018, ia sempat menjadi pusat perhatian karena berdakwah di salah satu pusat hiburan malam. Tak hanya itu, ia dijuluki sebagai pemuka agama yang menjunjung tinggi toleransi karena berdakwah di gereja-gereja. Melalui gaya dakwahnya yang dianggap nyentrik tersebut, Gus Miftah mendapatkan banyak simpati dari publik.
Gus Miftah kemudian banyak diundang untuk datang ke beberapa podcast di YouTube dengan jutaan subscriber, seperti Close the Door milik Deddy Corbuzier, Curhat Bang milik Denny Sumargo, hingga Need a Talk milik youtuber Atta Halilintar. Tak hanya itu, Gus Miftah juga kembali menyita kekaguman publik ketika ia menjadi perantara mualaf seorang Deddy Coubuzier. Kini, pada pemerintahan baru di era Presiden Prabowo Subianto, ia diberikan mandat untuk menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
ADVERTISEMENT
Identitas Sosial dan Diskriminasi pada Isu Gus Miftah
Kasus Gus Miftah dan Pak Sunhaji sang penjual es teh tersebut menggambarkan bagaimana kesenjangan terjadi di antara dua individu dengan identitas sosial yang berbeda. Dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Tajfel & Turner (1979), identitas sosial bermula ketika individu memperoleh sebagian konsep diri mereka dari keanggotaan mereka dalam suatu kelompok sosial. Dalam mencapai identitas sosial, ada 3 proses tahapan yang dilalui oleh individu, yaitu kategorisasi, identifikasi dan komparasi. Dalam tahap kategorisasi, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk mengklasifikasikan dirinya dan orang lain ke dalam berbagai kelompok sosial berdasarkan ras, jenis kelamin, kebangsaan, kelas, atau agama. Kategorisasi ini membantu individu untuk menyederhanakan lingkungan sosial mereka. Akan tetapi, dalam proses ini juga dapat memunculkan stereotip karena tumbuh suatu pemikiran dan upaya pembedaan antara “kami” dan “mereka” (“in group” and “out group”).
ADVERTISEMENT
Begitu individu mengakategorikan diri mereka sebagai anggota kelompok tertentu, mereka kemudian mengadopsi norma, nilai, dan perilaku sebagai identitas dari kelompok. Setelah mengkategorisasi dan mengidentifikasi diri dengan suatu kelompok, individu tersebut kemudian membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Perbandingan ini cenderung menguntungkan kelompoknya sendiri, yang berujung pada favoritisme dalam kelompok dan diskriminasi terhadap kelompok lain.
Diskriminasi merupakan salah satu dampak dari adanya proses identitas sosial yang ada di masyarakat. Menurut Theodor & Theodor dalam Fulthoni (2009), diskriminasi dimaknai sebagai perlakuan yang tidak seimbang terhadap individu atau kelompok berdasarkan sesuatu yang biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Seperti halnya diskriminasi yang dilakukan oleh Gus Miftah terhadap Pak Sunhaji. Diskriminasi ini berakar dari perbedaan kelas sosial di antara kedua belah pihak. Sebagai kelompok kelas atas, Gus Miftah tentunya memiliki banyak privilese, khususnya privilese untuk meng-influence para jamaah yang hadir dalam kajian tersebut. Sedangkan Pak Sunhaji adalah salah seorang pedagang es teh yang secara hierarki sosial berada di bawah Gus Miftah, yang mana pada saat itu tujuan dari kehadirannya hanyalah menjajakan dagangannya untuk mencari sumber penghidupan. Perbedaan kelas dari kedua belah pihak dalam acara tersebut sangatlah mencolok. Jika perbedaan kelas ini disinggung, baik di ranah privat maupun di hadapan publik, maka hal ini sudah termasuk dalam kategori diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Reaksi Publik Terhadap Arogansi Gus Miftah dan Pak Sunhaji Pedagang Es Teh
Setelah viralnya potongan video Gus Miftah yang bersikap arogan kepada seorang pedagang es teh yang bernama Pak Sunhaji, kegaduhan dan komentar negatif kemudian membanjiri media sosial. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang berada di posisi Pak Sunhaji merasa bahwa ujaran Gus Miftah telah melukai kelompok kelas sosialnya. Pada tanggal 4 Desember 2024, Gus Miftah berkunjung ke kediaman Pak Sunhaji untuk mengklarifikasi dan meminta maaf. Akan tetapi, tindakan Gus Miftah tersebut kembali menyita perhatian publik karena gestur dan tingkah laku Gus Miftah yang justru mempertegas adanya kesenjangan status sosial antara Gus Miftah dan Pak Sunhaji. Banyak komentar di media sosial yang menangkap ketidaksopanan itu. Mereka melihat bahwa gestur Gus Miftah yang merangkul pundak Pak Sunhaji ketika sedang melakukan klarifikasi memperlihatkan bahwa Gus Miftah masih ingin menunjukkan posisinya yang lebih unggul dibandingkan dengan Pak Sunhaji.
ADVERTISEMENT
Publik yang sangat geram melihat tindakan diskriminasi tersebut menuntut Gus Miftah agar turun dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden. Para khalayak menilai bahwa sikap dan ujaran dari Gus Miftah tersebut sangat tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh agamawan sekaligus Utusan Khusus Presiden, yang idealnya dapat memberikan rasa kedamaian, kerukunan, dan menjunjung tinggi toleransi. Alhasil, 6 Desember 2024, Gus Miftah menyatakan pengunduran dirinya dari Utusan Khusus Presiden yang disiarkan di beberapa media nasional.
Refleksi Diri
Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup dengan beragam identitas sosial, tindakan yang berpotensi dan mengarah pada diskriminasi harus dihindari. Diskriminasi tidak melulu soal agama, ras, dan kesukuan, namun juga tentang kelas, status sosial, dan golongan. Identitas yang melekat tidak serta merta menjadi penyebab perpecahan. Akan tetapi, mencela, meremehkan, atau merendahkan akan menjadi penyulut nyata di tengah banyaknya perbedaan. Menghargai, mengakui, dan menghormati setiap identitas yang dimiliki oleh individu atau kelompok lain merupakan langkah terbaik untuk merawat keberlangsungan hidup di Indonesia yang penuh dengan keragaman.
ADVERTISEMENT
Referensi
Fulthoni, dkk. (2009). Memahami Diskriminasi, Buku Saku Untuk Kebebasan Beraagama. Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of inter-group conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of inter-group relations (pp. 33–47). Monterey, CA: Brooks/Cole.