Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Etika Komunikasi Penyiaran sebagai Solusi Menjaga Integritas di Era Disinformasi
3 Desember 2024 17:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bianca Arvela tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disinformasi diartikan sebagai penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Disinformasi terjadi secara masif di Indonesia dan telah melibatkan banyak sektor. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat terdapat 12.547 konten hoaks yang beredar di website dan platform digital sepanjang Agustus 2018 hingga Desember 2023. Data ini menunjukkan perlunya perhatian serius dalam menangani disinformasi agar masyarakat dapat mengonsumsi informasi yang akurat. Etika komunikasi penyiaran bisa menjadi salah satu solusi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Disinformasi dapat terjadi kapan saja dan disebabkan oleh banyak faktor. Namun, kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berperan sangat besar dalam era ini. Perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang internet, mempengaruhi banyak sektor di dunia dan mengubah pola aliran informasi di masyarakat. Kini, disinformasi mudah menyebar melalui berbagai platform online, seperti media sosial, situs berita, dan aplikasi pesan. Arus informasi yang cepat tidak hanya memberikan manfaat untuk kemajuan berbagai sistem, tetapi juga menimbulkan tantangan besar dalam dunia komunikasi, salah satunya adalah disinformasi. Di tengah kemajuan TIK, disinformasi dapat dengan cepat mengubah persepsi masyarakat, menyebabkan keresahan, dan merusak kepercayaan publik terhadap media.
Literasi Media Sebagai Penyebab Utama Terjadinya Disinformasi
Ada begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan munculnya disinformasi, termasuk kepentingan tertentu seperti politik dan ekonomi, viralitas dari konten yang menarik perhatian, dan yang paling utama adalah kurangnya literasi media di kalangan masyarakat. Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Literasi media diperlukan setiap orang secara aktif saat mengakses media massa untuk menginterpretasikan pesan yang didapat. Kurangnya literasi media menyebabkan individu sulit mengevaluasi sumber informasi secara kritis. Masih banyak orang yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk membedakan antara berita yang akurat dan yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Penyebaran disinformasi didukung oleh teknologi dan algoritma media sosial yang turut memperburuk kondisi ini, karena platform-platform tersebut cenderung memperkuat konten yang viral tanpa memedulikan kebenarannya dan tanpa adanya verifikasi informasi. Informasi yang sensasional atau kontroversial lebih mudah tersebar, sementara fakta yang lebih seimbang sering kali diabaikan. Yang lebih disayangkan lagi, masih banyak pengguna media cenderung mencari dan mengonsumsi informasi yang sejalan dengan keyakinan atau harapan mereka. Hal ini dapat menyebabkan produsen dan/atau distributor informasi untuk menyebarkan informasi tanpa takut akan konsekuensi, sehingga lama-kelamaan sebagian besar masyarakat mengalami penurunan kepercayaan terhadap media informasi.
Situasi ini pernah dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw dalam teori Agenda Setting, bahwa seiring berjalannya waktu, agenda media membentuk agenda publik. Dengan kata lain, ada hubungan sebab-akibat antara pemberitaan dan cara pandang masyarakat terhadap dunia. Agenda Setting adalah kemampuan media yang kuat untuk membentuk persepsi kita tentang realitas.
ADVERTISEMENT
Solusi Untuk Meningkatkan Literasi Media di Masyarakat Sebagai Upaya Untuk Mengurangi Penyebaran Disinformasi
Meningkatkan literasi media di masyarakat merupakan langkah krusial untuk melawan disinformasi yang semakin luas dan kuat. Pemerintah berperan penting sebagai pemangku kebijakan dan regulasi yang mendukung pendidikan literasi media di sekolah-sekolah dengan mempertimbangkan adanya kurikulum literasi media dalam pendidikan formal, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dengan langkah ini, diharapkan generasi mendatang akan memiliki keterampilan kritis dalam mengenali, menganalisis, serta mengevaluasi berita palsu dan sumber informasi yang tidak terpercaya.
Pendidikan literasi media tak cukup hanya didapatkan dalam jenjang pendidikan formal karena media informasi amat bergantung pada kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang dinamis. Oleh karena itu, selain membentuk kurikulum literasi media yang lebih baik, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan berbagai bidang seperti lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan dan memfasilitasi pelatihan serta program edukasi untuk masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Peran pemerintah dalam menyediakan pendidikan literasi media dapat membantu masyarakat sebagai konsumen informasi untuk meningkatkan kemampuan kritis mereka dalam menanggapi informasi dan menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan aman bagi masyarakat.
Lalu, bagaimana solusi bagi produsen dan distributor informasi untuk tidak menyebarkan disinformasi di media massa? Bagaimana etika komunikasi penyiaran berperan dalam hal tersebut?
Etika Komunikasi Penyiaran Berperan Penting dalam Menjaga Integritas Informasi
Meskipun ada banyak definisi komunikasi, secara sederhana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan antara komunikator (pihak yang menyampaikan) dan komunikan (pihak yang menerima). Sementara itu, komunikasi massa, menurut buku “Introduction to Mass Communication” karya Stanley J. Baran, adalah proses penciptaan makna bersama antara media massa dan khalayaknya. Dalam proses komunikasi massa, perlu adanya kode etik yang digunakan sebagai pedoman penyebaran informasi untuk menjaga integritas. Kode etik adalah aturan, tata cara, dan pedoman etis untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Etika komunikasi merupakan aturan tingkah laku dalam proses penyampaian pesan antara komunikator dan komunikan yang berlaku pada setiap tataran komunikasi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak jenis kode etik untuk media yang berbeda. Misalnya, televisi dan radio berpedoman pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 juga mengatur bahwa radio harus menyampaikan berita yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Kegiatan jurnalistik berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers, yang menyatakan bahwa produk pers harus melalui tiga proses kerja yaitu, verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi.
Dengan berkembangnya teknologi, media digital juga diharapkan mengikuti prinsip-prinsip kode etik yang sama, meskipun regulasinya belum sepenuhnya diatur secara formal. Misalnya, tuntutan akibat unggahan tulisan di media sosial diproses oleh kepolisian menurut hukum pidana KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Peran etika komunikasi penyiaran sangat penting dalam menjaga integritas media dan kepercayaan publik, terutama di era kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang penuh tantangan. Etika komunikasi penyiaran memiliki berbagai fungsi dalam pencegahan penyebaran disinformasi, di antaranya untuk menjaga keakuratan informasi, menjaga keseimbangan dan objektivitas wartawan atau produsen informasi lainnya dalam menyebarkan sesuatu, melindungi privasi dan hak individu, serta memastikan media selalu menyebarkan informasi yang bermanfaat.
Dengan demikian, adanya dukungan pemerintah dan kerja sama masyarakat, diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih terdidik dalam literasi media, mampu mengenali dan melawan disinformasi, serta berperan aktif dalam memproduksi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan terjaga integritasnya.