Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyisir Kisah Batik Pesisir
23 Maret 2018 0:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Bimo Gadabima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi pecinta batik, akan lekas tahu perbedaan batik pesisiran dan batik pedalaman. Secara kasat mata, batik pesisiran mudah dikenali dengan ragam warna cerah nan memikat. Motif-motifnya tidak seperti motif pada batik pedalaman yang sarat filosofi. Motif batik pesisiran banyak menyadur tentang alam sekitar, dari flora hingga fauna. Pakem yang dikenakan sangat jauh leluasa ketimbang batik pedalaman.
ADVERTISEMENT
Pada saat pameran Inacraft dan Adiwastra 2015, saya menemui kembali hal yang lazim terjadi manakala tengah melakukan liputan ke perajin-perajin batik yang turut dalam pameran. Ketika ada sebuah motif unik yang belum diketahui dipamerkan, maka pertanyaan pertama adalah motif apakah itu? Penjelasan akan mudah didapat dari pemilik koleksi tersebut. Tetapi tidak mudah untuk mendokumentasikan motif batik tersebut karena butuh izin dari pemiliknya.
Awalnya pemilik tersebut akan keberatan jika motifnya tersebut didokumentasikan. Latar-belakangnya macam-macam, ada yang beralasan menghindari tindakan plagiat motif yang mereka buat, hingga syndrom duplikasi motif yang original karyanya sendiri. Terlebih ada seorang perajin yang enggan disebut namanya, menceritakan kisahnya memproduksi motif batik yang menjadi unggulannya dibeli oleh pembeli asal Cina. Beberapa bulan kemudian, motif tersebut sudah tersedia di pasaran dalam jumlah banyak dengan harga sangat jauh lebih murah dari miliknya yang dibeli itu. Motif tersebut direproduksi dengan peralatan modern lantas diaplikasikan dalam tekstil dengan teknik printing.
ADVERTISEMENT
Penolakan yang nyaris terjadi adalah ketika hendak mendokumentasikan tenun gedog Tuban milik Anis, perajin dan pedagang asal Tuban. Ia menceritakan panjang lebar tentang proses pembuatan tenun gedog tersebut yang mengambil materialnya dari sisa perajin gedog di Tuban. Aplikasi motif batiknya dibuat sendiri dengan menggandeng pembatik asal daerahnya. Beberapa motifnya ada yang langka dan ada yang baru. Lagi-lagi ia berkeberatan didokumentasikan, namun akhirnya bersedia dengan catatan dua tiga shoot foto saja.
Sifat tertutup itu jauh berbeda dengan yang ditemui di Lasem. Keterbukaan mereka terhadap informasi dan detail produk batik mereka, sama halnya dengan kebanggaan mereka mampu menghasilkan produk batik dengan ragam motif peranakannya. Karena batik Lasem tak akan bisa ditiru begitu saja oleh pihak luar wilayah mereka. Dan tanpa tedeng aling-aling pula, akulturasi budaya Cina peranakan menjadi ciri khas kuat motif batik Laseman. Contoh batik Lasem yang tak dapat ditiru adalah warna merah darah ayamnya yang terkenal itu dan hanya bisa dihasilkan dengan material dan air dari wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Disaat SARA tengah menjadi isu di Indonesia, kota yang terkenal dengan julukan Little Tiongkok tersebut tidak menunjukkan gejolak tersebut. Sigit Witjaksono, perajin batik senior di Lasem menjelaskan situasi pembauran di Lasem tak perlu diragukan lagi.
Keterbukaan tersebut pula datang dari H.A. Failasuf, perajin batik asal Pekalongan. Ia mewarisi kemampuan orangtuanya dalam membatik dan kemudian menerjemahkan batik tidak semata barang seni, tetapi juga bisnis yang menjanjikan. Popularitas Pekalongan sebagai sentra batik ternama di Indonesia bahkan dunia, dimanfaatkannya dengan memberikan nama produk-produknya berlabel Batik Pesisir.
Dan Pekalongan pada hari ulang tahun kotanya yang ke-109, 1 April lalu dinobatkan sebagai jaringan Kota Kreatif Dunia oleh UNESCO untuk kategori Craft and Folk Arts atau kerajinan dan kesenian rakyat. Pengukuhan itu menguatkan Kota Pekalongan untuk berbagi pengalaman dan ilmu dengan puluhan anggota jaringan kota kreatif di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Trusmi di Cirebon memiliki potensi besar dalam daftar keunggulan batik pesisiran. Adalah Ki Buyut Trusmi, agengan yang dihormati sebagai penyebar agama Islam di daerah tersebut sekaligus pula sebagai pemberi indetitas baru desa sebagai penghasil batik khas Cirebon, Trusmi atau Trusmian. Hal tersebut semirip dengan keyakinan masyarakat Laweyan tentang Ki Ageng Henis, penyebar agama Islam yang pula memperkenalkan pembatikan kepada penduduk Laweyan, Solo, Jawa Tengah.
Namun Trusmi Cirebon tengah mengalami dilema atas pemanfaatan namanya sebagai merek. Asosiasi Perajin dan Pedagang Batik Kabupaten Cirebon dalam pertemuannya Februari lalu membahas salah-satunya tentang penggunaan merek dagang Batik Trusmi. Mereka mempermasalahkan HKI atas merk Batik Trusmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tahun 2012 silam. Berita pertemuan ini dilansir oleh fajarnews.com (10/2), yang hadir pada acara tersebut diantaranya Ketua Asosiasi Perajin dan Pedagang Kabupaten Cirebon Rukadi Suminta, Sekdis Disbudparpora Kabupaten Cirebon Made Casta, serta Kepala Disperindag Kabupaten Cirebon H. Erry Achmad.
ADVERTISEMENT
Mereka mengangkat UU RI No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek terkait merek dagang Batik Trusmi karena berhubungan dengan geografis yang tak boleh dikenakan sebagai merek dagang. Menurut ketua asosiasi perajin dan pedagang batik Kabupaten Cirebon pada berita tersebut, Batik Trusmi milik masyarakat Kabupaten Cirebon dan bukan milik seseorang, karena di dalamnya terkandung khasanah budaya Cirebon dan menjadi kebanggaan serta ikon daerah Kabupaten Cirebon.
Kota Tegal yang notabene berada di pesisir utara Pulau Jawa, produk batiknya kini tengah didongkrak popularitasnya oleh Walikota Kota Tegal Siti Mashita Soeparno (kini dalam tahanan KPK). Keunikan batik Tegal adalah khasanah sejarah panjang hubungannya dengan Keraton Mataram. Pengaruh motifnya masih kuat dengan motif yang berkembang di masa Mataram. Hal tersebut diakui oleh dirinya terhadap pernyataan Ketua Umum Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad Ir. Dra. Larasati Suliantoro Sulaiman saat Pameran Batik Tulis Khas Tegal di Wisma Kagama Yogyakarta (28/3).
ADVERTISEMENT
Pengaruh Mataram terhadap batik Tegal dimulai saat Raja Amangkurat I melarikan diri ke Tegal Arum (Tegal). Tradisi membatik dari dalam keraton kemudian ditularkan ke masyarakat setempat dan berkembang hingga kini. Motif batik Tegal lebih merdeka dalam hal eksplorasi, karena lambat-laun tercipta motif dan warna khas Tegal. Warna khas tersebut berwarna hijau. Sedangkan motif baru khas Tegal diantaranya yang terkenal adalah Sekar Yos Sudarso dan beras mawur. Motif Sekar Yos Sudarso menggambarkan kekayaan daerah seperti maritim, pelabuhan, perahu, melati, serta patung Yos Sudarso. Sedangkan motif beras mawur menggambarkan harapan rezeki melimpah. Motif beras mawur diaplikasikan pula di tubuh rangkaian kereta api Tegal Arum.
Keanekaragaman corak dan motif batik pesisiran membuka aral yang menghinggapi pakem batik. Semisal motif kaligrafi yang ditemui pada batik Kudus, Demak, Jambi, Bengkulu, dan Cirebon, itu merupakan budaya akulturasi dengan Arab. Teknik stilasi banyak berperan menggantikan gambar mahluk hidup pada motif batik yang terpengaruh Islam. Begitupula yang terjadi pada motif buketan dan tulisan Tionghoa akibat pengaruh budaya Belanda dan Cina. Dengan kata lain, keragaman motif batik pesisir terkait dengan dua budaya atau lebih. Dan batik pesisiran punya peluang besar sebagai barang komoditi yang menjanjikan, karena menjembatani dua pasar atau lebih yang berkaitan dengan percampuran motifnya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika batik pedalaman sarat makna filosofis sebagai cipta, rasa, dan karsa masyarakat Jawa, maka batik pesisiran sarat dengan kreativitas, inovasi, dan akulturasi. Deretan panjang pesisir utara Jawa paling banyak berperan menghadirkan ragam warna dan ragam motif batik. Komoditas produknya menasbihkan kekayaan aneka ragam batik Indonesia. Dan bahkan, provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa yang mengembangkan tradisi membatik di wilayahnya, sering berkiblat ke batik pesisir. Dan batik pesisiran mampu menyemarakkan industri batik di Indonesia dengan keunggulannya tersebut.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah BATIK On Fashion Volume 6 Tahun 2015