Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanggapan Realis terhadap Alasan Amerika Serikat Menginvasi Irak Tahun 2003
19 Desember 2022 13:44 WIB
Tulisan dari SFA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2003 pernah terjadi Invasi Irak oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak sejak 19 Maret 2003. Invasi Amerika Serikat ke Irak tersebut berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Invasi Irak oleh Amerika Serikat ini terjadi karena Amerika Serikat memiliki alasannya sendiri untuk menginvasi Irak. Setelah berhasil menaklukkan Irak, sebanyak 150.000 pasukan Amerika Serikat menduduki negara tersebut secara paksa(Adryamarthanino 2022).
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak adalah untuk memburu Saddam Hussein. Pada 20 Maret 2003, AS memimpin invasi ke Irak setelah Presiden George W. Bush menuduh Saddam Hussein memegang senjata pemusnah massal atau weapon of mass destruction, walau setelah investigasi lebih lanjut Irak dinyatakan tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan(Iswara 2022). Dengan latar belakang tersebut, penulis akan merumuskan masalah dengan “Mengapa Invasi Irak oleh Amerika Serikat bisa terjadi?” dan dengan menggunakan teori realis.
Awal mula invasi Irak oleh Amerika Serikat adalah Amerika Serikat menganggap Irak berpotensi menjadi ancaman bagi kepentingannya di kawasan Teluk selama Saddam Hussein berkuasa. Tetapi, pada 2003 Amerika Serikat justru melakukan invasi ke Irak setelah pengaruh Saddam Hussein memudar(Adryamarthanino 2022). Kemudian masih ada alasan lain Amerika Serikat melakukan invasi kepada Irak, pada 20 Maret 2003, AS memimpin invasi ke Irak setelah Presiden George W. Bush menuduh Saddam Hussein memegang “senjata pemusnah massal” (Iswara 2022).
ADVERTISEMENT
Walaupun presiden saat itu George W. Bush menjadikan hal tersebut untuk menjadi alasan melakukan invasi kepada Irak, tetapi sebenarnya menjadi prioritas utama untuk untuk memuluskan agenda-agenda lainnya yang tersembunyi yang memberi dampak kepada Amerika Serikat berupa keuntungan-keuntungan materi maupun kepuasan batin setelah berhasil mengalahkan musuh bebuyutan, ada pula yang berupa kemenangan atas nama hegemoni politik, ekonomi, militer dan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dengan mengumpulkan serta menganalisa data yang ada, maka disimpulkan bahwa invasi Amerika Serikat kepada Irak didasari oleh keinginan Amerika Serikat untuk lebih mengukuhkan supremasi kekuasaannya sebagai satu-satunya super power yang tandingan di muka bumi ini. Dengan cara melemahkan atau mengalahkan kekuatan yang berpotensial menandingi sebelum benar-benar menjelma menjadi kekuatan yang besar (Azman Ridha Zain 2004).
ADVERTISEMENT
Konsisten dengan kerangka tersebut, tujuan utama Amerika Serikat melakukan invasi kepada Irak adalah untuk efek demonstrasi mengalahkan Saddam Hussein yang berkuasa di Irak akan membuat negara-negara lain takut pada Amerika Serikat dan tunduk pada otoritas dan tatanan globalnya (Butt 2019). Invasi Amerika Serikat ke Irak menyebabkan kematian lebih dari 4.400 personel militer Amerika Serikat dan hingga 208.000 warga sipil Irak (Kaplan 2021).
Pasukan Amerika Serikat bersikukuh bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Kemudian menjadikan hal tersebut sebagai salah satu alasan kuat untuk melakukan invasi ke Irak. Tetapi, kemudian setelah diselidiki terbukti bahwa senjata pemusnah massal tersebut hanya ilusi dan pemberontakan kekerasan muncul, yang selanjutnya membuat perang tersebut kehilangan dukungan dari publik. Selain itu, Saddam Hussein juga ditangkap, diadili, dan kemudian diadakan pemilihan demokratis. Saat itu juga politik Irak sempat rapuh.
ADVERTISEMENT
Pada 9 April 2003, sebuah rezim dikatakan runtuh karena Amerika Serikat, Inggris, dan pasukan koalisi lainnya dengan cepat sudah menguasai Angkatan Darat Irak. Meskipun, masih banyak yang setia mengikuti Saddam Hussein yang nantinya akan menjadi inti dari perjuangan pemberontakan pascaperang. Tiga minggu kemudian setelah invasi, warga sipil Irak dan tentara Amerika Serikat merobohkan patung Saddam Hussein di Lapangan Firdaus Baghdad.Pada 1 Mei 2003, Presiden George W. Bush mengumumkan telah berakhirnya operasi tempur besar di Irak dari geladak kapal induk USS Abraham Lincoln. Pelanggaran hukum dan beberapa pertikaian di negara itu akan dianggap sebagai tindakan putus asa dari “dead-enders” oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld(“The Iraq War” t.t.).
Saat Amerika Serikat melakukan invasi Irak pada 19 Maret 2003, dengan menjadikan adanya senjata pemusnah massal di negara itu sebagai alasan. Sebenarnya, sebagian besar penduduk Irak tahu bahwa itu hanya tuduhan palsu.”Sebagian besar orang di negara saya tahu sebelum invasi Amerika Serikat bahwa (senjata pemusnah massal) adalah dalih, bendera palsu, yang digunakan Amerika Serikat dan Pasukan Sekutu untuk menghalalkan segala cara,” kata al-Mahdawi yang merupakan petugas politik untuk Misi Bantuan PBB Irak pada saat itu kepada Anadolu Agency(Lyn 2022).
ADVERTISEMENT
Diantara realitas tersebut maka bisa diketahui bahwa alasan Amerika untuk menginvasi Irak terdapat maksud terselubung yaitu agenda tersembunyi yang sudah direncanakan serta diperhitungkan dengan sangat matang. Selain itu, juga terdapat realitas yang tidak sempat Amerika Serikat pikirkan atau malah sengaja mereka abaikan dari dampak invasi yang Amerika Serikat lakukan kepada Irak. Bidang politik menjadi salah satu bidang yang cukup terdampak oleh invasi tersebut yaitu terjadi perubahan konstelasi politik internasional yang cukup signifikan. Dampak dari perubahan tersebut cukup luas, yang kemudian mengarah kepada terjadinya konflik-konflik susulan yang semakin memanaskan suhu politik dunia. Tidak hanya wilayah Timur Tengah yang merasakan dampaknya melainkan seluruh dunia. Akibatnya, akan terjadi pergeseran kekuatan antara Timur dan Barat, peran PBB akan semakin berkurang, dan akan munculnya kekuatan-kekuatan dunia baru yang memiliki potensi untuk menahan laju keserakahan Amerika Serikat untuk menguasai seluruh dunia. Hal tersebut akan mengakibatkan semakin terkonsentrasinya kekuatan dunia ke arah kawasan Timur Tengah. Kondisi tersebut, terpolarisasikannya kekuatan dunia menjadi dua kekuatan utama, yaitu Islam dan Barat (Azman Ridha Zain 2004).
ADVERTISEMENT
Sebenarnya dari pandangan realis, kekuatan yang relatif itu penting, seperti pembuat kebijakan, aktor, atau pemerintah yang bertanggung jawab kepada konflik-konflik yang terjadi. Jika kita perhatikan bagaimana cara berpikir rasional Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Inggris mengantarkan kepada hal yang cukup buruk yaitu perang dan invasi. Sebagai aktor dalam perihal tersebut, mereka hanya mementingkan kepentingan nasional Amerika Serikat dibandingkan perdamaian dunia.
Keputusan kedua pihak tersebut mengarah pada tanggal 20 Maret 2003, yang lebih tepatnya adalah dua hari setelah pemungutan suara parlemen, ultimatum Saddam Hussein untuk meninggalkan Irak berakhir. Kemudian, Amerika Serikat dan sekutunya tersebut meluncurkan invasi dengan skala penuh. Mereka mengadopsi strategi “Shock and Awe”, yang bertujuan untuk mengurangi keinginan Irak untuk memberontak dengan cara menyerang saat malam hari menggunakan serangan udara dan rudal yang ekstensif menghantam sasaran di seluruh Irak(“Iraq War: The Invasion | National Army Museum” t.t.).
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat melakukan invasi kepada Irak secara sepihak yang dilakukan oleh Pasukan Amerika Serikat-Inggris sebagai “coalition of willing” merupakan masalah bagi integritas dan otoritas PBB dan merusak sistem hukum dan keamanan internasional pasca Perang Dunia II secara keseluruhan (Wulandari 2015). Hal tersebut membuat pandangan realis defensif seperti Stephen Walt, yang percaya bahwa Irak tidak menimbulkan ancaman dan juga menentang perang, sedangkan banyak orang mungkin berharap perang sesuai dengan pandangan para realis ofensif bahwa kekuatan besar tidak pernah bisa mendapatkan kekuatan yang cukup.
Kita bisa lihat dari berhasilnya Amerika Serikat melakukan invasi kepada Irak bahwa Saddam Hussein tidak memiliki pasukan militer yang siap saat perang atau invasi terjadi. Bisa disimpulkan bahwa Saddam Hussein tidak pernah berpikir bahwa Irak akan diinvasi oleh Amerika Serikat pada Maret 2003. Invasi tersebut juga menyebabkan Saddam Hussein tertangkap pada Desember 2003. Saddam Hussein kemudian diserahkan ke pengadilan untuk diadili, dinyatakan bersalah dan akhirnya dieksekusi pada tahun 2006. Sebenarnya, Saddam Hussein juga bertanggung jawab atas rezim yang tidak demokratis di negaranya, yang dimana hal itu merupakan perihal yang diperdebatkan para realis. Sedangkan, untuk George W. Bush yang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat saat itu lebih mementingkan kekuatan Amerika Serikat di sistem internasional, menjaga hegemoni global. Walaupun, untuk invasi ini Presiden George W. Bush lebih seperti mementingkan Amerika Serikat saja, dikarenakan Presiden George W. Bush tidak mempertimbangkan perdamaian dunia saat melakukan invasi kepada Irak saat itu.
ADVERTISEMENT
Para realis berpendapat bahwa “power” bisa membuat sebuah negara mendapatkan kapabilitas dan kredibilitas dari negara-negara lain. Dalam internasional sendiri terdapat dua macam “power” yaitu soft power dan hard power. Untuk para realis sendiri tidak akan memilih soft power melainkan mereka akan memilih hard power. Contoh dari hard power ini salah satunya adalah Presiden George W. Bush dan diplomasi yang digunakan pemerintahannya untuk memimpin Amerika Serikat menginvasi Irak pada tahun 2003.