Konten dari Pengguna

Milenial Langganan Koran, Anyone?

Brian Hikari Janna
Bukan wartawan bodrex.
29 Oktober 2018 17:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brian Hikari Janna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Milenial Langganan Koran, Anyone?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Pixabay
Pada sore yang agak santai ini, walaupun masih dikejar target, aku punya sedikit waktu buat baca berita internasional di media berbahasa Inggris. Seperti yang dulu suka kulakukan di sela-sela pelajaran waktu SMK.
ADVERTISEMENT
Namun ada yang sedikit beda. Kalau dulu sumber beritaku dari koran, sekarang, lebih banyak situs berita online semacam NYT, Vox, dan BBC.
Ah, sungguh nostalgia, biarpun agak beda, rasanya tetap sama. Jadi ingat masa-masa dulu mulai tertarik dengan dunia jurnalisik lewat kebiasaan baca koran. Sampai akhirnya bela-belain langganan meski enggak punya uang, bahkan bisa enggak jajan di sekolah.
Sebagian dari kalian, para pembaca mungkin agak skeptis. Atau mungkin ada yang B aja. Tapi ya, dulu, saat SMK, aku langganan koran. Kebiasaan yang kalau dulu sih, cuma aku yang lakukan di sekolah. Guru-guruku pun sebagian ada yang heran.
"Lho kamu langganan? Bahasa Inggris lagi, emang ngerti?" kata salah satu instruktur di bengkel cetak. Dia heran, melihatku menenteng koran lalu duduk dan membaca sebelum praktik dimulai.
ADVERTISEMENT
Aku hanya nyengir. Sebetulnya ngerti enggak ngerti. Bahasa Inggrisku enggak bagus-bagus amat. Tapi niatku dulu memang sebenarnya satu. Mau belajar, sambil memuaskan dahaga akan informasi dari luar sana.
Tiba-tiba, sebelum aku sempat menjawab, Ibu Ani, orang yang setiap minggu rajin membawakanku koran, nyeletuk begini. "Dia mah tiap minggu pasti beli," katanya singkat sambil mengacungkan jempol. Aku pun nyengir lagi. Bingung harus apa.
Usai keduanya kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, aku lanjut membaca. Bagian yang paling aku suka dan pasti kubaca pertama, berita internasional. Entah mengapa, buatku itu menarik. Apalagi setiap malam Bapak selalu nyetel TV di kanal berita nasional. Jadi ya, pikirku buat apa baca berita nasional lagi. Wong sama saja.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi media massa (Foto: Karolina/Kaboompics (CC0 Public Domain))
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media massa (Foto: Karolina/Kaboompics (CC0 Public Domain))
Namun sayang, aku tak bisa membaca lama-lama. Instrukturku datang, mesin cetak siap dijalankan. Aku pun kembali berjibaku dengan kertas dan tinta. Sambil tak sabar menunggu waktu luang untuk kembali membaca koran usai sekolah.
Kebiasaan itu berlangsung hingga sekian bulan. Setelah beberapa waktu, aku tak lagi punya cukup uang untuk langganan. Padahal, waktu itu aku cuma langganan 2 koran seminggu, yang sebenarnya tak bisa begitu. Anak Bu Ani, kebetulan loper koran, dan bisa diajak kongkalingkong. Jadi kesempatan itu tak kubiarkan lewat begitu saja. Walaupun akhirnya mesti berhenti karena tak ada dana.
Kini, aku bekerja di salah satu media nasional sebagai salah satu karyawan paling muda. Alhamdulillah, sesuai minat dan cita-citaku sejak lama.
ADVERTISEMENT
Di news room, tempatku menghabiskan waktu sehari-hari, aku kadang bertanya. Masih adakah anak muda di luar sana yang rutin baca koran sepertiku beberapa tahun lalu? Mungkin ada, namun berapa banyak?
Bahkan adik kecilku sendiri, malas membaca. Baru dia mulai sesekali membaca usai tahu abangnya kerja di media. Tak apalah, asal dia tak buta dengan wawasan umum, yang buatku, abang sekaligus figur bapak di keluarga, jauh lebih penting daripada ilmu matematika.
Ah, jadi melantur kan. Tapi kalau boleh, di ujung tulisan ini, izinkan aku melantur sekali lagi.
Aku harap, anak muda mulai membaca. Bahkan kalau boleh, bersahabat dengan kebiasaan meresapi dan merangkai kata-kata. Gunanya apa? Ya biar enggak bodoh. Sekarang hoaks betebaran di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Tak perlu baca koran sepertiku dulu. Sumber berita sekarang banyak. Tinggal pilih, apalagi sekarang semua punya gadget. Tak sepertiku dulu, yang mesti baca koran karena enggak punya hape. (Serius, aku baru punya hape saat masuk kuliah. Itu pun hasil bandel, pakai duit beasiswa).
Muluk ya? Ah, sudahlah. Tulisan ini juga belum tentu dibaca. Tapi kalau dibaca, ya Alhamdulillah. Ada yang mau temani aku melantur di kala senggang. Hahaha.