Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menggunakan Media untuk Melawan Perubahan Iklim Dunia
5 Januari 2022 19:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Brilliant Dimas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alerta! Alerta! Alerta!
Dunia sedang dalam bahaya. Bahaya apa? Bahaya perubahan iklim yang akan mengubah drastis kondisi lingkungan seluruh dunia. Jumlah bencana yang akan kita hadapi tidak dapat dihitung dengan jari saja, dan manusia sendiri memiliki 20 jari di tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Contohnya apa? Naiknya temperatur dunia, melelehnya lapisan es, dan akhirnya tenggelamnya Jakarta. Tidak hanya itu saja, bencana besar lainnya seperti puting beliung, cuaca ekstrem, dan kerugian ekonomi yang jumlahnya triliunan siap membayangi kita.
“Kiamat sudah dekat.” Sering kali kita mendengar ucapan ini di berbagai media. Mulai dari orang tua, guru, media sosial, spanduk, hingga tulisan di bokong truk.
Selama ini kita tidak menghiraukannya. “Halah, kiamat masih lama.” Bisik saya kepada diri saya sendiri setiap kali membacanya.
Dalam dunia modern ini, kita sering merasa dunia semakin dekat dengan surga. Segalanya kini mudah. Rasanya jarang sekali ada hal yang membuat kita gundah. Kiamat terasa sangat jauh karena kemajuan teknologi yang telah membantu bagaimana kita menjalani hidup. Namun kenyataannya, kenyamanan yang ditawarkan dunia membuat kita lupa dengan keadaan bumi yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, apa yang dapat kita lakukan? Kita lawan perubahan iklim dunia dengan perubahan juga. Bill Gates, dari buku terbarunya yang berjudul “How to Avoid A Climate Disaster” mengatakan:
“Namun jika tidak ada perubahan, dunia akan terus memproduksi gas rumah kaca, perubahan iklim akan terus memburuk, dan dampaknya terhadap manusia kemungkinan besar akan menjadi bencana besar.”
Saat ini penduduk bumi mengeluarkan 51 miliar ton gas rumah kaca setiap tahunnya. Lalu tugas kita? Menurunkan angka tersebut menjadi 0. Selama ini banyak yang berpikir bahwa isu kompleks seperti ini sebaiknya ditangani oleh para pejabat negara dan mereka yang ada di bidangnya.
Persepsi yang hadir adalah kita hanya sekadar manusia biasa, tak dapat memberikan dampak apa-apa. “Itu tidak akan terlalu berarti” sebut kita dalam hati. Di sini saya memberikan penyanggahan: Jika kita bisa mencoba, kenapa tidak? Lagipula kita tidak akan rugi dengan mencobanya. Mari kita mulai melawan perubahan dengan perubahan.
ADVERTISEMENT
Media: Otak Bersama Kita
Otak manusia dibentuk dengan apa yang ada di sekitarnya. Semua pemikiran, pendapat, gaya berbusana, hingga perilakunya dapat ditelusuri asal muasalnya. Dalam survei Literasi Digital Indonesia yang dilakukan oleh Katadata dan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), 76 persen responden menyatakan bahwa informasi yang mereka peroleh berasal dari media sosial, dan 25,2 % dari berita online.
Menurut Schmidt, media berita adalah “sistem interpretatif” utama dari sebuah masyarakat modern, dengan demikian memiliki posisi yang sangat krusial dalam penyerapan atas pengetahuan perubahan iklim dan politik iklim untuk masyarakat. (Schmidt et al., 2013, 2) Hal ini menunjukkan bahwa media, terutama media massa, berperan besar dengan apa yang ada di dalam otak kita. Oleh karena itu, langkah pertama dan paling mudah yang dapat kita lakukan dalam rangka melawan perubahan iklim dunia adalah melalui media.
ADVERTISEMENT
Melihat pemberitaan yang lebih mengacu pada gosip dan drama perpolitikan terasa sangat menyedihkan. Masih ada permasalahan-permasalahan yang perlu diangkat dan menjadi fokus masyarakat, khususnya pemerintah dalam memberikan regulasi serta solusi yang efektif untuk mengatasinya.
Berdasarkan observasi dan pengamatan pribadi mengenai pola pikir masyarakat Indonesia, masih banyak yang belum “terbangun” dan sadar akan pentingnya permasalahan perubahan iklim.
Tidak hanya pengamatan pribadi, Dalam International Public Opinion on Climate Change, Indonesia masih menempati posisi paling bawah dari 31 negara dalam kepercayaan atas perubahan iklim. Total 73 persen responden Indonesia juga menyatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak informasi mengenai perubahan iklim. (Leiserowitz et al., 2021, 8)
Kembali lagi mengutip Bill Gates, pemberitaan perubahan iklim layak menempati tajuk utama seluruh media massa setiap harinya karena betapa mendesaknya isu tersebut. Media biasanya memberitakan berita yang memang terbukti laku dengan melihat jumlah klik dan jumlah pembaca. Oleh karena itu, jangan heran jika media-media Indonesia jarang memberitakan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Memulai Dari Kita
Daripada menunggu dan berharap atas perbaikan mengenai pemberitaan, mengapa tidak kita yang memulai perubahan? Kita sering sekali menyiarkan berbagai macam pesan yang tidak jelas akurasinya di aplikasi WA. Kita juga sering menyebarkan berita mengenai tokoh idola politik kita di akun Facebook kita masing-masing.
Twitter memiliki fenomena berjudul “Twitter, do your magic!” yang seakan sebuah permintaan menjadi terkabul. Viralnya sebuah berita di media sosial juga dapat membuat polisi membuka kembali kasus yang sudah lama mereka tutup. Di atas merupakan bukti, bahwa kita bisa. Oleh karena itu, mengapa kita tidak menggunakan kekuatan yang telah diberikan kepada kita untuk menghindari bencana iklim?
Seperti contohnya adalah Sebastian Vettel, seorang pembalap F1 yang mengaku bahwa olahraganya menyumbang karbon besar untuk dunia. Dalam sesi pra-balap pada GP Prancis 20 Juni 2021 lalu, ia menggunakan sebuah kaos yang bertuliskan “Climate Justice Now!” yang memiliki arti “keadilan iklim sekarang!”
ADVERTISEMENT
Mengingat betapa mendesaknya isu ini, kita memerlukan segala yang kita punya. Kita wajib untuk terus saling mengingatkan atas isu ini. Kita juga harus mendesak orang-orang di sekitar kita untuk memulai mengaku atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kita lakukan dan melakukan perubahan.
Melalui media, kita dapat menginspirasi dan mengajak orang-orang untuk ikut dalam perjuangan menyelamatkan satu-satunya rumah yang kita miliki. Dengan demikian, kita dapat melakukan perubahan, walaupun perlahan-lahan. Seperti kura-kura dalam lomba balapnya melawan kelinci, Lambat tapi mantap dapat memenangkan perlombaan. (Brilliant Purwadi)
Referensi
ADVERTISEMENT