Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengupas Faktor Psikologis Bashar al-Assad Melanggengkan Jalan Otoriter
22 Desember 2024 18:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bulan Wahyu Laila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik Suriah kembali memuncak pada akhir tahun 2024 akibat serangan yang dilancarkan oleh kelompok oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) terhadap pasukan pro-pemerintah. Sejak dimulainya konflik pada tahun 2011, Suriah telah terjebak dalam kekuasaan rezim otoriter represif yang berujung pada krisis kemanusiaan. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), sekitar 16,7 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan dan lebih dari 50% penduduk Suriah terpaksa meninggalkan rumah mereka. Konflik ini berawal dari peristiwa Arab Spring yang mencerminkan ketidakpuasan masyarakat Suriah terhadap rezim Bashar al-Assad dan kebijakan represifnya.
ADVERTISEMENT
Namun, sejatinya Suriah telah terjebak dalam rezim otoriter sejak tahun 1970 ketika Hafez al-Assad, ayah dari Bashar al-Assad, merebut kekuasaan melalui kudeta militer internal partai. Hafez al-Assad memerintah Suriah dengan tangan besi selama hampir 30 tahun, membentuk sistem pemerintahan yang otoriter dan terpusat pada kekuasaannya. Setelah kematian Hafez al-Assad pada tahun 2000, Bashar al-Assad mengambil alih kekuasaan. Kekuasaan Bashar al-Assad tidak jauh dari gaya kepemimpinan ayahnya, meski masyarakat Suriah sempat melihat secercah harapan di awal kepemimpinannya, lantaran citranya yang terlihat lebih modern dan demokratis. Namun, laporan dari PBB kini telah mencatat kejahatan perang yang dilakukan oleh rezim Assad, seperti penggunaan senjata kimia, penyiksaan, dan serangan terhadap area pemukiman sipil. Bashar al-Assad dituduh bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di Suriah.
ADVERTISEMENT
Rezim Assad akhirnya runtuh setelah ditumbangkan oleh kelompok pemberontak HTS yang beraliansi dengan berbagai kelompok lain. Selama 54 tahun, Suriah telah berada di bawah cengkeraman kekuasaan keluarga Assad yang penuh dengan kekerasan dan penindasan. Lantas, faktor psikologis apa yang membentuk kekejaman dan kepribadian otoriter Bashar al-Assad?
Social Learning Theory: Fondasi Pemahaman Psikologi Bashar al-Assad
Dalam membedah faktor perilaku Bashar al-Assad yang otoriter, teori psikologi kejahatan Social Learning Theory mampu memberikan jawaban tentang mengapa seseorang melakukan tindakan kejahatan. Social Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku manusia dipelajari dengan cara mengamati tindakan orang lain dan meniru perilaku mereka, khususnya dalam lingkungan sosial. Perilaku, terutama pada anak-anak, dipelajari dengan meniru model seperti orang tua, teman, atau tokoh media, khususnya jika model tersebut dihormati dan dikagumi. Dalam kasus Bashar al-Assad, teori ini membantu menjelaskan bagaimana ia membentuk gaya kepemimpinan yang dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya
Sebagai seorang anak, Bashar tumbuh di lingkungan yang memperlihatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang absolut dan tidak dapat diganggu gugat. Pada awalnya, Bashar tidak dipersiapkan sebagai penerus estafet kepemimpinan keluarga Assad. Namun, kematian kakaknya, Bassel al-Assad, pada tahun 1994 akibat kecelakaan mobil, memaksa Bashar untuk siap menggantikan peran sang kakak. Bashar muda dikenal pendiam dan kurang menunjukkan bakat sebagai politikus. Minatnya lebih terarah pada dunia medis, dibuktikan dengan gelarnya sebagai seorang dokter mata. Kejadian naas yang menimpa kakaknya mengharuskannya untuk membanting setir menjadi seorang politikus. Bashar segera ditempa melalui akademi militer yang keras hingga meraih pangkat kolonel.
Bashar menyerap nilai-nilai keluarga yang menempatkan stabilitas rezim di atas segalanya. Bashar tumbuh dalam keluarga Assad yang mengandalkan kekerasan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka meyakini bahwa kekuasaan adalah hak istimewa yang wajib dijaga dengan segala cara. Ketika Bashar menghadapi ancaman dari rakyatnya, ia tidak hanya mengandalkan metode ayahnya, tetapi juga memodernisasinya dengan menggunakan teknologi dan propaganda untuk memperkuat kendali atas masyarakat. Dengan demikian, pola otoritarianisme yang diterapkan adalah cerminan langsung dari nilai-nilai yang diwariskan dalam keluarganya, terutama ayahnya.
ADVERTISEMENT
Lingkaran Sosial sebagai Pembentuk Mentalitas Otoriter
Lingkungan sosial juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku Bashar al-Assad. Pada masa kecilnya, Bashar cenderung kurang mendapatkan kasih sayang karena keluarganya yang sangat sibuk. Selain itu, semasa kecil, Bashar al-Assad memiliki hubungan rumit dengan kakaknya, Basel, yang menjadi panutan sekaligus pengganggu. Perundungan dari Basel turut membentuk pandangannya tentang kekuasaan dan rasa trauma. Setelah kematian Basel, Bashar mengalami tekanan akibat duka mendalam sekaligus beban tanggung jawab yang harus ia pikul. Kedisiplinan yang didapatkan selama “paksaan” pendidikan militer menjadi tekanan tersendiri yang turut membentuk kepribadiannya. Faktor-faktor tersebut menjadi faktor risiko seseorang memiliki kecenderungan untuk berperilaku kasar.
Masa kepemimpinan Bashar juga dipengaruhi oleh lingkaran kerabat yang mendukung kebijakan represifnya. Adiknya, Maher al-Assad, komandan Garda Republik Suriah, memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian Bashar dan bekerja sama erat dalam upaya menekan pemberontakan. Sepupu Bashar, Rami Makhlouf, mengendalikan sebagian besar ekonomi Suriah sehingga memperkuat cengkeraman keluarga Assad terhadap kekuasaan. Selain itu, iparnya, Assef Shawkat, pernah menjabat sebagai kepala intelijen militer yang memberikan pengaruh signifikan dalam kebijakan keamanan negara. Dukungan dari lingkaran sosial Bashar ini memberikan validasi terhadap pendekatan represifnya.
ADVERTISEMENT
Secara Singkat
Kediktatoran Bashar al-Assad bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses pembelajaran sosial yang kompleks. Social Learning Theory memberikan kerangka untuk memahami bagaimana Bashar mengadopsi pola-pola kekuasaan dari ayahnya, Hafez al-Assad, dan menggunakannya untuk mempertahankan kendali atas Suriah. Selain itu, otoritarianisme Bashar dilandasi oleh trauma masa mudanya yang kurang kasih sayang dan penuh tekanan. Lingkaran sosial dan budaya politik represif di sekelilingnya semakin memupuk keyakinannya bahwa tindakan tersebut sah dan diperlukan. Hasilnya adalah sebuah rezim yang tidak hanya melanggengkan kekuasaan, tetapi juga menciptakan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Suriah.