Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Reformasi Agraria dan Upaya Memperkuat Fondasi Perkebunan Rakyat
6 November 2018 10:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mengeluarkan dua regulasi potensial yang akan membawa dampak pada perkebunan di Indonesia, khususnya perkebunan sawit. Momentun ini seharusnya digunakan untuk memperkuat perkebunan rakyat di tengah turunnya harga tunas buah sawit dan karet serta turunnya ekspor CPO.
ADVERTISEMENT
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit, salah satunya menginstruksikan peningkatan pembinaan petani sawit.
Dalam Inpres tersebut, terlihat bahwa upaya peningkatan pembinaan petani sawit adalah melalui perluasan perkebunan rakyat dengan pengalokasian 20 persen untuk perkebunan rakyat dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan kewajiban perusahaan perkebunan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20 persen dari Hak Guna Usaha (HGU) yang didapatnya.
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, menjadi penopang dua objek tanah tersebut di atas dengan menjadikannya Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Belum lagi Objek-Objek TORA lain yang bisa diredistribusikan kepada petani pekebun dalam rangka perluasan dan penguatan perkebunan rakyat.
ADVERTISEMENT
Konstitusionalisme
Sejak era kolonial, perkebunan telah menciptakan dualisme pertanian, yaitu perkebunan skala besar milik swasta yang padat modal serta ekspansif, dan pertanian rakyat skala kecil yang subsisten. Ketidakberhasilan Reforma Agraria di masa lalu mengakibatkan struktur dan hubungan agraria di perkebunan tidak berkeadilan sosial dan terus memicu konflik agraria. Problemnya adalah UU 39/2014 tentang Perkebunan tidak menjawab persoalan tersebut.
Bersyukur pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi melakukan pembacaan putusan perkara pengujian UU Perkebunan terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan sebagian para pemohon yaitu yang Serikat Petani Kelapa Sawit, Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Sawit Watch, Bina Desa dan Field dengan kuasa hukum dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) .
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi keputusan bersejarah dalam histori perkebunan di Indonesia, karena diharapkan akan menjadi pintu pembuka reforma agraria di kawasan perkebunan, khususnya dalam persoalan tanah, perbenihan, dan kriminalisasi terhadap petani.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini meliputi: Pertama, petani perkebunan yang merupakan perseorangan petani kecil tidak perlu izin ke Pemerintah dalam rangka pencarian dan pengumpulan sumberdaya genetik, melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul, dan mengedarkan varietas hasil pemuliaan ke komunitasnya.
Kedua, Perusahaan Perkebunan harus memiliki izin dan hak atas tanah; Ketiga, kesatuan masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah ulayatnya sendiri tidak bisa dikriminalkan dengan tuduhan sebagai orang tidak sah melakukan perbuatan di lahan perkebunan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kemitraan usaha perkebunan tidak menutup peluang pola kerja sama untuk hal-hal lain di luar yang disebut oleh UU Perkebunan, bahwa pola kerja sama tergantung pada kesepakatan pihak-pihak yang akan bekerja sama atau bermitra, serta kedua belah pihak berpegang pada dokumen kesepakatan dan aturan yang sama, serta kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat dilaksanakan di luar areal yang dikuasai perusahaan perkebunan.
ADVERTISEMENT
Reforma Agraria
Korelasi antara Inpres Moratorium Sawit dan Perpres Reforma Agraria dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait penguatan perkebunan rakyat yaitu: Pertama, di bidang pertanahan memastikan pengalokasikan 20 persen dari pelepasan kawasan hutan dan dari HGU perusahaan perkebunan sawit, serta pendayagunaan HGU yang habis masanya, tanah terlantar dan tanah kelebihan maksimum untuk diredistribusikan kepada rakyat dalam rangka memperkuat perkebunan rakyat.
Kedua, di bidang kemitraan usaha perkebunan dan fasilitasi pembanguan kebun masyarakat juga harus dievaluasi karena terkait pengurusan izin dan HGU, peningkatan produktivitas, dan perlindungan petani. Tujuan kemitraan untuk penguatan perkebunan rakyat bukan, pengambilalihan perkebunan rakyat dengan dalih pengelolaan satu manajemen.
Untuk itu, Pemerintah perlu memastikan pembaruan pola kerja sama kemitraan usaha perkebunan, sehingga petani tidak kehilangan tanah, transparansi keuangan kredit, dan mendapat perlindungan dan pemberdayaan dari Pemerintah. Utamanya dalam hal pendanaan, perlindungan harga, dan masa depan petani pekebun swadaya.
ADVERTISEMENT
Pembaruan struktur dan hubungan agraria sebagaimana tersebut di atas diharapkan akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran petani serta mengurangi ketimpangan agraria dan kesenjangan sosial. Iniah reforma agraria yang sejati.
Moratorium perizinan sawit ini juga menjadi momentum perkebunan tidak hanya fokus ke Sawit, tapi juga perlunya memperluas dan memperkuat komoditas perkebunan yang berciri nusantara dan dikelola oleh perkebunan rakyat seperti kelapa, kopi, rempah-rempah, dan buah-buahan.