Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perkembangan Profan Menurut Emile Durkheim dalam Sosiologi
19 Oktober 2024 16:52 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari A Rima Mustajab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Emile Durkheim adalah salah satu tokoh penting dalam sosiologi yang memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman tentang masyarakat, agama, dan struktur sosial. Salah satu konsep yang ia kembangkan adalah dikotomi antara yang suci (sacred) dan profan, yang menjadi dasar bagi analisisnya terhadap masyarakat dan agama. Dalam karya monumentalnya, The Elementary Forms of Religious Life (1912), Durkheim menguraikan bagaimana masyarakat mengorganisasi kehidupan mereka berdasarkan pemisahan yang tegas antara kedua kategori ini.
Menurut Durkheim, profan merujuk pada segala sesuatu yang bersifat duniawi, biasa, dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ini kontras dengan hal-hal yang dianggap suci, yang dipandang sebagai sesuatu yang spesial, dihormati, dan sering kali terkait dengan kepercayaan dan ritual agama. Bagi Durkheim, masyarakat tradisional cenderung mengaitkan hampir semua aspek kehidupan dengan hal yang sakral. Setiap tindakan, peristiwa, atau objek bisa diberi makna religius yang lebih mendalam, sehingga kehidupan sehari-hari sering kali sarat dengan unsur-unsur yang dianggap suci.
ADVERTISEMENT
Namun, Durkheim melihat bahwa seiring dengan berkembangnya masyarakat, terjadi pergeseran besar dari yang suci menuju yang profan. Di masyarakat modern yang semakin sekuler, aspek-aspek kehidupan mulai lebih dipisahkan dari pengaruh agama dan cenderung bersifat rasional serta pragmatis. Profan dalam konteks ini menjadi lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai fungsional, ilmiah, dan material lebih diutamakan daripada nilai-nilai religius atau sakral.
Durkheim menjelaskan bahwa perkembangan profan ini berkaitan erat dengan munculnya masyarakat modern yang terorganisir berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Dalam masyarakat seperti ini, agama tidak lagi mendominasi seperti pada masyarakat tradisional, dan pengaruhnya terhadap pengaturan kehidupan sosial semakin berkurang. Sebaliknya, kehidupan sehari-hari lebih diatur oleh aturan-aturan sosial yang bersifat sekuler, seperti hukum, ilmu pengetahuan, dan norma-norma rasional.
ADVERTISEMENT
Sosiologi profan menurut Durkheim menunjukkan bagaimana masyarakat modern menjadi lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat material dan duniawi. Pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi, misalnya, mulai dilihat sebagai kegiatan yang berdiri sendiri tanpa perlu dikaitkan dengan makna religius. Dalam masyarakat modern, agama tetap ada, tetapi perannya mulai bergeser dari pusat kehidupan sosial menjadi salah satu aspek di antara banyak aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Durkheim juga berpendapat bahwa meskipun aspek profan semakin berkembang dalam masyarakat modern, masyarakat tetap membutuhkan bentuk-bentuk solidaritas baru. Ini karena agama tradisional, yang dahulu menjadi sumber utama solidaritas sosial, tidak lagi mendominasi kehidupan kolektif. Sebagai gantinya, ritual-ritual sekuler, seperti perayaan kebangsaan, acara sosial, atau kegiatan budaya, mengambil alih fungsi ini. Melalui ritual-ritual sekuler tersebut, masyarakat masih dapat membangun rasa kebersamaan dan identitas kolektif.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dalam konteks sosiologi profan, perayaan sekuler seperti Hari Kemerdekaan atau upacara kenegaraan dapat dilihat sebagai bentuk ritual yang menggantikan peran agama dalam menyatukan masyarakat. Meski tidak bersifat religius, ritual-ritual ini tetap berfungsi untuk menciptakan solidaritas sosial, memberikan identitas kolektif, dan memperkuat kohesi sosial.
Dalam kesimpulannya, Durkheim melihat bahwa perkembangan profan merupakan bagian dari proses modernisasi masyarakat, di mana kehidupan sehari-hari semakin dipisahkan dari pengaruh agama dan dikuasai oleh aturan-aturan rasional. Namun, meskipun demikian, masyarakat tetap mencari cara baru untuk membangun solidaritas sosial, sering kali melalui ritual-ritual sekuler yang menggantikan peran agama dalam menciptakan rasa kebersamaan.