Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Tarif Resiprokal Trump, Pelajaran dari Great Depression
6 April 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan penerapan tarif resiprokal global pada 2 April 2025 (MarketWatch), resonansi sejarah seketika mengemuka. Trump menetapkan tarif dasar sebesar 10% atas seluruh barang impor, disertai tambahan tarif terhadap negara-negara dengan surplus perdagangan tinggi terhadap Amerika Serikat—termasuk tarif sebesar 34% terhadap Tiongkok. Kebijakan ini disebut Trump sebagai bagian dari upaya “membebaskan” ekonomi Amerika dari ketergantungan luar negeri, dan dijuluki oleh Gedung Putih sebagai “Liberation Day.” Namun, langkah ini menuai respons keras dari mitra dagang dan kekhawatiran dari kalangan ekonom, yang mengingatkan pada kesalahan proteksionisme serupa yang memperburuk Great Depression hampir satu abad yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tarif resiprokal adalah pendekatan kebijakan perdagangan di mana suatu negara membalas tarif negara lain dengan tarif yang sama atau setara. Dalam narasi Trump, kebijakan ini dianggap sebagai instrumen keadilan dagang dan pemulihan industri domestik. Namun secara historis, tarif semacam ini cenderung memicu siklus balasan (retaliation) dan perang dagang, yang pada gilirannya memperlemah perdagangan internasional dan menekan pertumbuhan ekonomi global. Hal ini pernah terbukti lewat Smoot-Hawley Tariff Act yang diberlakukan oleh Kongres AS pada 1930.
Smoot-Hawley menaikkan tarif atas lebih dari 20.000 barang impor dengan harapan melindungi petani dan manufaktur AS dari tekanan harga global. Alih-alih memulihkan ekonomi, undang-undang ini memicu balasan dari negara lain dan menjatuhkan volume perdagangan dunia sekitar dua pertiganya antara 1929 dan 1933. Sejarawan ekonomi seperti Charles Kindleberger dan Barry Eichengreen sepakat bahwa meskipun Smoot-Hawley bukan penyebab utama Great Depression, kebijakan tersebut memperburuk krisis dengan mengganggu pasar global, menurunkan ekspor, dan memperdalam stagnasi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kemiripan struktural antara Smoot-Hawley dan tarif resiprokal Trump sulit diabaikan. Dalam dua kasus tersebut, tarif diterapkan sebagai respons terhadap tekanan ekonomi domestik, namun berdampak luas terhadap stabilitas perdagangan global. Dampak kebijakan Trump mulai terasa sejak awal April 2025. Pasar global bereaksi negatif; indeks saham AS mengalami penurunan mingguan terbesar sejak pandemi 2020 (MarketWatch). Tiongkok merespons dengan menerapkan tarif balasan 34% terhadap barang-barang AS, menandai dimulainya babak baru perang dagang yang dapat bereskalasi lebih jauh.
Banyak ekonom memperingatkan bahwa kebijakan ini akan berdampak seperti pajak tambahan bagi konsumen domestik, meningkatkan harga barang impor, dan mengurangi daya beli masyarakat. Dean Baker, ekonom dari Center for Economic and Policy Research, menyebut bahwa kebijakan tarif Trump berisiko tinggi memicu resesi baru, karena perusahaan akan menahan investasi dan konsumsi rumah tangga akan melemah akibat kenaikan harga (Business Insider).
ADVERTISEMENT
Jika Great Depression mengajarkan sesuatu, itu adalah bahwa pendekatan proteksionisme ekstrem saat ekonomi global sedang rapuh justru memperbesar krisis. Perdagangan internasional bukan hanya soal arus barang, tetapi juga tentang stabilitas ekonomi, diplomasi, dan distribusi teknologi. Alih-alih menciptakan “keadilan,” kebijakan tarif resiprokal justru memperluas ketidakpastian dan membahayakan upaya pemulihan ekonomi jangka panjang.
Dalam konteks ekonomi dunia yang semakin saling terhubung, membangun tembok tarif adalah tindakan regresif. Dunia telah melihat bagaimana kebijakan seperti Smoot-Hawley memperdalam kejatuhan ekonomi global pada 1930-an. Kini, saat Trump melangkah ke arah yang serupa, penting bagi publik, pembuat kebijakan, dan komunitas internasional untuk menyuarakan pelajaran sejarah: proteksionisme tidak pernah menjadi jawaban yang bertahan lama atas masalah struktural ekonomi. Jika sejarah memang guru terbaik, maka tarif resiprokal seharusnya menjadi peringatan, bukan preseden.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
MarketWatch. (2025, April 2). Stocks see biggest weekly fall since 2020 as Trump tariffs stoke recession fears. Retrieved from https://www.marketwatch.com/story/stocks-see-biggest-weekly-fall-since-2020-as-trump-tariffs-stoke-recession-fears-35fd7235?utm_source=chatgpt.com
Business Insider. (2025, April 2). Trump’s Liberation Day and the return of reciprocal tariffs. Retrieved from https://www.businessinsider.com/trump-liberation-day-reciprocal-tariffs-speech-2025-4?utm_source=chatgpt.com
Eichengreen, B. (1989). The Political Economy of the Smoot-Hawley Tariff. Research in Economic History, 12, 1–43.
Kindleberger, C. P. (1973). The World in Depression 1929–1939. University of California Press.