Konten dari Pengguna

Mencari Keadilan bagi Anak Korban Perundungan

Carissa Aurelia
Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga
6 Oktober 2023 9:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carissa Aurelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Belakangan ini banyak kasus yang memberikan gambaran betapa minimnya ruang aman bagi anak-anak di ruang pendidikan. Bullying atau perundungan di sekolah marak terjadi. Bahkan, tak jarang mengakibatkan traumatis pada korban hingga luka fisik yang sadis dan miris.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dialami SAH, siswi kelas 2 SDN 236 Gresik, yang tidak dapat melihat indahnya dunia secara normal karena nyaris buta usai matanya dicolok tusuk bakso oleh kakak kelasnya. Dijelaskan kondisi SAH yang sedih dan trauma. Tangis pun dirasakan kedua orang tuanya melihat anak pertamanya itu hanya bisa melihat normal dengan satu mata.  
Hal nahas yang dialami oleh SAH itu terjadi pada 7 Agustus 2023 lalu. SAH tampaknya sedang setengah tidak sadar ketika siswa laki-laki yang merupakan kakak kelasnya itu memanggil namanya. Seseorang yang memanggilnya itu membawa SAH ke lorong sekolah, kemudian melakukan aksi pemalakan.
Siswa itu meminta uang, tetapi SAH enggan memberikan. Hingga kemudian kakak kelasnya itu melakukan hal nekat, mencolok mata kanan SAH dengan tusuk bakso dari bambu sampai nyaris mengalami kebutaan.  
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kasus siswi SD dicolok tusuk bakso tersebut, itu adalah contoh nyata dampak yang menumpuk karena aksi perundungan bisa berakibat sangat fatal. Bayangkan, mata kanan SAH kini tidak berfungsi secara sempurna. Ia harus menutup mata kanannya, karena ia merasakan sakit saat membuka mata yang tertusuk itu. Apalagi, ia harus memposisikan mata kirinya untuk melihat jelas.  
Akibat terbiasa dan selalu menutupi aksi bullying teman-temannya, sejak kelas 1 SD, SAH hanya membiarkan sehingga lama-kelamaan kondisinya semakin memprihatinkan. Bocah yang berambut seperti dora itu selalu diberikan uang saku oleh ibunya, paling sering Rp 10 ribu. Tetapi, uang tersebut tidak sering digunakan oleh SAH untuk membeli jajan lantaran selalu dipalak kakak kelasnya.  
Ilustrasi Anak dan Orang Tua, Pixabay
Usai kejadian tersebut, SAH sempat tidak masuk sekolah selama 42 hari. Ia mengalami trauma dan ketakutan mendalam, pihak sekolah SAH juga tidak memperhatikan kejadian ini. Padahal, di era modern saat ini sudah banyak bermunculan kasus-kasus kekerasan anak yang bahkan berakibat lebih fatal dari SAH. Lalu, mengapa pihak sekolah justru tidak turut serta menyelesaikan permasalahan ini.  
ADVERTISEMENT
Selain trauma dan ketakutan mendalam, SAH sempat melontarkan bahwa darah yang mengenai baju sekolahnya adalah saus. Dari pengakuan SAH ini, tampak dirinya tidak mendapatkan keadilan yang semestinya didapatkan oleh anak-anak di bawah umur sepertinya.
Melalui kasus terkait relevansi dengan kejadian SAH, aksi siswa yang memalak temannya sendiri dianggap sebagai hiburan. Seorang pelaku superior lebih memiliki peluang dan kuasa untuk melakukan aksi terhadap kaum subordinasi. 
Menurut hasil diskusi yang dilansir dari KemenPPPA, terlapor telah melanggar pasal 76C jo pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.  
ADVERTISEMENT
Apabila dari kejadian tersebut mengakibatkan luka berat bagi anak korban, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta sesuai pasal 80 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 
Alih-alih merespons perundang-undangan anak, dalam pasal 9 Ayat (1a) yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain. Sampai saat ini, tampaknya SAH masih belum mendapatkan hak yang semestinya.  
Namun, berbeda bilamana terlapor dalam kategori masih anak-anak. Terlapor harus menyelesaikan persoalannya sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).  
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan yang berakibat mungkin kesengsaraan dan penderitaan anak secara fisik, seksual dan psikologis. Hal ini juga termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2010). 
Ilustrasi CCTV. Foto: Pixabay
Kemudian, telah muncul ironi bahwa rekaman CCTV sekolah pasca kejadian penusukan itu tidak bisa dibuka atau rekamannya tidak mau muncul. Kondisi seperti ini yang membuat banyak pihak yang bersangkutan, khususnya orang tua dan elemen-elemen terkait tidak bisa memastikan seperti apa kronologi secara pastinya. Entah penyembunyian rekaman CCTV itu benar adanya atau memang sengaja dalam kutip agar kasus tidak semakin meluas.  
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, maka penyelesaian kasus akan merasa sedikit terhambat. Mengapa kasus kekerasan anak tidak boleh berujung dengan perdamaian karena hal itu akan berdampak kerugian kepada korban. Apalagi, SAH sedang mengalami trauma dan beban psikologis yang akan ditanggung korban seumur hidup.
Memang kasus penyelesaian secara damai akan berdampak positif bagi kedua belah pihak, namun tidak menutup kemungkinan pula korban bisa menanggung trauma berkepanjangan dan sulit untuk dilupakan. 
Berdasarkan kasus di atas, jika memang pelaku perundungan hanya dibiarkan, mereka masih memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan secara berulang, melakukan agresi bahkan sampai mengancam anak/korban selanjutnya (Kemdikbud, 2021). Tidak hanya itu, ketika beranjak dewasa pelaku memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan bermasalah dalam fungsi sosialnya.  
Ilustrasi Kekerasan, Pixabay
Selain berbagai bentuk penyelesaian, KemenPPPA juga telah merilis bahwa akan terus memantau kondisi perkembangan SAH pasca kejadian yang menimpanya dan akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan pihak sekolah. Di Indonesia memang telah ada UU tentang perlindungan anak dan banyak daerah telah memiliki peraturan tersendiri yang sifatnya mengikat.  
ADVERTISEMENT
Namun, dalam praktiknya semua itu tidak akan ada artinya bilamana tidak ada kepedulian dan keterlibatan dari berbagai pihak untuk menegakkan. Dukungan dari pihak manapun pada era digital saat ini akan menambah kepercayaan serta dianggap menjadi kunci untuk lebih memberikan jaminan terhadap upaya perlindungan anak, terutama dari kasus-kasus yang bisa dikatakan diluar nalar pikiran manusia.