Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pemerintah Pusat Didesak Kucur Dana Perbaikan Lingkungan di Maluku Utara
5 Januari 2023 12:35 WIB
ยท
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Perekonomian di Provinsi Maluku Utara menunjukkan tren positif. Industri pengolahan dan pertambangan dinilai berkontribusi besar.
ADVERTISEMENT
Tapi sumber daya ekonomi Malut yang terserap ke pusat sebesar Rp 3 triliun, hanya dibagi Rp 1 triliun ke daerah.
Sementara, dari daerah menyerahkan 20 persen ke pusat atas nama upah pungut. Sisa dari total tersebut justru ditahan.
"Itu yang kita tuntut," ucap pakar ekonomi Universitas Khairun Ternate, Mukhtar A. Adam, kepada cermat usai dialog di Kampoeng Melanesia, Rabu (4/1) malam.
Menurut Mukhtar, jika seperti itu, maka kesempatan Malut untuk memperbaiki lingkungan atas efek dari industri pertambangan akan menipis.
"Ini yang kami gugat," tandas Mukhtar, yang dihadiri sejumlah akademisi dan aktivis dalam dialog tersebut.
Pemda, kata Mukhtar, harus proaktif mengajukan program terkait pemulihan lingkungan hingga problem kemiskinan. "Harus dibenahi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika harga nikel anjlok, maka rakyat Malut punya subtitusi sumber pertumbuhan baru dari industri kopra dan rempah-rempah.
"Malut adalah daerah yang dikenal oleh dunia sebagai negeri rempah. Tapi kami tidak punya satu pun industri rempah," ungkapnya.
Di sisi lain, negara banyak memberi fasilitas berupa insentif pajak, ekspor, hingga akses infrastruktur ke sektor pertambangan.
Soal ekonomi Malut tumbuh 27 persen, diakui Mukhtar. Tapi itu disebabkan naiknya harga nikel 137,8 persen yang menguntungkan pengusaha Tiongkok.
"Ekspor kita meningkat Rp 116 triliun. Tapi harga komoditas kopra justru anjlok. Sementara, mayoritas masyarakat kita hidup dari kopra," ujarnya.
Apalagi kondisi lingkungan Malut hari ini sudah dibabat habis atas nama industri pertambangan. "Kita butuh instrumen fiskal untuk memperbaiki ini," pungkasnya.
ADVERTISEMENT