Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Akankah Karen’s Diner Bertahan dengan Gimmick sebagai Branding?
30 Desember 2022 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Chelsea Anastasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 15 Desember lalu, warganet dihebohkan dengan dibukanya Karen’s Diner di Jakarta. Pertama kali dibuka di Australia, keunikan dari restoran ini adalah pelayan yang memiliki persona menyebalkan, arogan, dan suka mengutarakan guyonan mengesalkan. Persona ini mengimitasi “Karen”, yaitu sebutan di negara Barat untuk orang-orang tua yang memiliki pemikiran yang cenderung masih konvensional dan merasa dirinya selalu benar, sehingga suka menyerang orang lain yang tidak menyukainya atau menyetujui pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Karen’s Diner menarik perhatian banyak orang sejak viralnya video-video TikTok dari orang-orang di Australia yang mengunjungi restoran tersebut. Cara pelayanan unik ini menghasilkan jutaan likes pada beberapa video pengalaman di Karen’s Diner. Dengan dibukanya Karen’s Diner di Jakarta, ternyata ada beberapa impresi negatif dari masyarakat.
Bagaimanapun juga. restoran dengan slogan “great burgers and rude service” ini memiliki aturan dalam pelayanannya, yaitu tidak boleh melontarkan kalimat ataupun perlakuan yang rasis, mengejek fisik atau tubuh (body shaming), seksis, homofobik, dan ableist (mendiskriminasi orang dengan disabilitas). Namun, para ‘Karens’ atau pelayan diperbolehkan untuk meledek pengunjung dengan kata-kata kasar. Hal ini membuat batasan antara perlakuan yang diperbolehkan dan yang dilarang menjadi kabur.
Dengan begitu, jika persona yang akan dibawa oleh Karen’s Diner Indonesia sama dengan versi aslinya di Australia, pelayan dapat berkata kasar dan melempar menu ke meja, bahkan membuangnya ke lantai, apakah dibukanya Karen’s Diner di Indonesia merupakan keputusan yang tepat?
ADVERTISEMENT
Dibuka untuk umum, pengunjung Karen’s Diner tentu berasal dari berbagai usia. Banyak orang, terutama para orang tua yang cenderung jarang update mengenai hal-hal yang viral di media sosial, terutama jika berkaitan dengan hal-hal yang ramai di kalangan generasi Z. Dengan demikian, jika beberapa orang tertentu mengunjungi Karen’s Diner tanpa mengetahui konsep atau gimik yang menjadi branding restoran tersebut, Karen’s Diner memiliki efek “pisau bermata dua” yang dapat merugikan restoran.
Selain itu, kita semua tahu bahwa sejak awal Karen’s Diner dikenal oleh warganet yang aktif di media sosial—disebabkan oleh gimik yang ditawarkan. Dengan dibukanya restoran unik ini di Indonesia setelah booming di TikTok, bisa saja banyak orang yang mengunjungi Karen’s Diner untuk membuat konten semata. Akhirnya, akan ada titik di mana nama Karen’s Diner menjadi redup dan kehilangan daya tariknya. Ketika sudah banyak orang yang mendokumentasikan pengalaman mengunjungi Karen’s Diner, rasa penasaran masyarakat akan menurun bahkan hilang. Dengan demikian, pondasi branding yang dimiliki Karen’s Diner kuat untuk saat ini, tetapi lemah untuk jangka waktu panjang.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat ketahanan nama Karen’s Diner di Indonesia, maka Karen’s Diner dapat mempertimbangkan untuk tidak seratus persen mengimitasi konsep yang dibawa oleh Karen’s Diner Australia dan beberapa negara Barat yang juga sudah ada Karen’s Diner. Salah satu caranya adalah dengan memperjelas aturan untuk para pelayan, misalnya aturan dilarang untuk melontarkan ucapan yang mengandung unsur SARA memiliki arti bahwa pelayan tidak boleh mengejek pelanggan sama sekali termasuk dari unsur fisik yang bisa mengarah ke indikasi diskriminasi SARA.
Selain itu, Karen’s Diner juga dapat berinovasi dengan memberikan banyak opsi pelayanan yang berbeda pada setiap kunjungan. Contohnya, pada setiap kunjungan, pengunjung tidak mengetahui pelayan jenis apa yang akan ia dapatkan. Misalnya, ada “Grumpy Karen” yang selalu kesal dan marah dengan setiap pertanyaan pengunjung, ada “Silent Karen” yang tidak menjawab dengan jelas ketika pengunjung bertanya, ada “Gaslighting Karen” yang berusaha meyakini pengunjung untuk memilih menu lain yang bukan menu pilihan pengunjung tersebut, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, meskipun sudah mengetahui jenis pelayanan yang akan dialami di Karen’s Diner dari video-video yang dipublikasikan orang lain, banyak orang yang masih mau berkunjung untuk mengetahui jenis ‘Karen’ yang akan melayani mereka. Bagaimanapun juga, gimik sebagai branding restoran dapat menjadi keuntungan dari sebuah usaha, tetapi tentu saja dengan banyak pertimbangan dan penyesuaian.