Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Demam Labubu: Dari Mainan Koleksi ke Simbol Konsumerisme Modern
1 Desember 2024 18:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Cheryl Christabel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siapa sih disini yang belum kenal dengan Labubu?
ADVERTISEMENT
Si patung monster kecil yang telah merajai media sosial, muncul di mana-mana, dari postingan di media sosial hingga menjadi gantungan kunci di berbagai tas desainer. Apa yang dimulai sebagai barang koleksi sederhana kini menjadi simbol status, terutama karena tantangan untuk mendapatkannya.
Labubu adalah bagian dari seri “The Monsters,” yang diciptakan oleh seniman kelahiran Hong Kong, Kasing Lung. Meskipun seri ini debut pada 2015, Labubu benar-benar meroket ke puncak ketenaran setelah artis kpop, Lisa BLACKPINK, mengunggah kepada story Instagram-nya pada bulan April yang menunjukkan dirinya dengan salah satu boneka tersebut. Unggahan tersebut memicu lonjakan besar dalam penjualan, terutama di Thailand, Vietnam, dan Singapura. Di Indonesia, Labubu dengan cepat menjadi barang yang wajib dimiliki, dengan toko POP MART dipenuhi kerumunan besar.
ADVERTISEMENT
Ada berbagai versi Labubu, masing-masing dihargai berbeda tergantung kelangkaannya. Labubu memiliki harga awal sekitar 600 ribu rupiah. Beberapa figur edisi terbatas bisa dihargai mencapai jutaan rupiah. Yang membuat Labubu semakin diincar adalah bagaimana mereka telah berubah menjadi aksesori tren utama. Antrean panjang di toko POP MART kini menjadi pemandangan biasa dalam beberapa bulan terakhir, karena kolektor dan penggemar berlomba-lomba untuk mendapatkan rilisan terbaru. Banyak ‘reseller’ berbisnis dengan menjual Labubu dengan harga dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat dari harga aslinya, dengan beberapa versi langka dijual dengan harga yang sangat tinggi.
Tren Labubu mirip dengan tren KAWS. Patung dan figur ‘KAWS’ (kreasi seniman asal Amerika Brian Donnelly) juga sempat viral pada tahun 2019 lalu. Pada waktu itu, tren KAWS menyebabkan lonjakan permintaan barang-barang terkait KAWS; dari kolaborasi kaos UT (KAWS dan Uniqlo) yang membuat pembeli dan ‘resellers’ mengantri panjang di luar gerai Uniqlo sejak pagi. Pengaruh tren KAWS juga terlihat dari maraknya barang-barang tiruan yang dijual di mana-mana. Kejadian serupa juga dapat ditemukan saat ini pada Labubu: mulai dari kaos, tas, hingga mainan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Tren yang mengelilingi koleksi dan komersialisasi barang seni memiliki dampak negatif yang signifikan, mulai dari mendorong konsumerisme yang berlebihan, hingga mengurangi nilai budaya seni. Karena tren mendorong konsumsi berlebihan, orang-orang menjadi lebih mudah untuk dipengaruhi untuk membeli barang hanya demi status dan untuk "fit-in" , yang menyebabkan hubungan dangkal dengan seni dan kehilangan keunikan individu. Tekanan ini, yang dipicu oleh media sosial dan ‘FOMO’ (fear-of-missing-out atau takut ketinggalan), dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama di kalangan generasi muda, yang dengan meningkatnya kecemasan dan masalah harga diri. Selain itu, komersialisasi seni berisiko mengeksploitasi para seniman, dengan mayoritas keuntungan penjualan yang mengalir ke perusahaan besar. Meningkatnya ‘resellers’ membuat harga melonjak, sehingga barang-barang menjadi tidak terjangkau bagi penggemar sejati. Para ‘resellers’ memanfaatkan tingginya permintaan yang muncul akibat tren, menyadari bahwa barang edisi terbatas akan menarik pembeli yang ingin memilikinya sebelum habis terjual. Hal tersebut menghasilkan pasar penjualan di mana para pembeli terpaksa membayar harga yang terinflasi—kadang-kadang dua kali lipat atau tiga kali lipat dari harga asli—hanya untuk memiliki barang yang dianggap “hits.” Alih-alih melihat pembelian ini sebagai bentuk ekspresi pribadi atau kesenangan, banyak konsumen muda mulai menganggapnya sebagai mata uang sosial—barang yang dipamerkan bukan karena nilai inherennya, tetapi karena kemampuannya untuk menunjukkan rasa memiliki; mengirim pesan yang salah untuk generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Didorong oleh pengaruh sosial media dan penjualan kembali yang berbasis keuntungan, siklus ini menekan orang muda untuk membuat pembelian yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Ini memicu kebiasaan buruk konsumsi berlebihan. Fenomena Labubu menimbulkan pertanyaan tentang seberapa mudahnya kita dipengaruhi untuk mengikuti tren tanpa pemikiran jangka panjang. Betapa mudahnya kita terjerat kebiasaan konsumerisme yang buruk! Tidak hanya itu, orang-orang telah menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli aksesori tambahan agar Labubunya terlihat unik. Namun sebagian besar, aksesori tersebut digunakan untuk melengkapi tas desainer pemiliknya—seperti pakaian mini, topi, sepatu, kalung, dan lainnya. Tak hanya itu, orang juga membeli casing pelindung untuk Labubu mereka agar tidak kotor dan dicuri—karena ada beberapa kasus di mana pencuri memotong tali Labubu untuk dijual kembali di tengah tingginya permintaan figur tersebut.
ADVERTISEMENT
Tren Labubu menunjukkan bagaimana konsumerisme dipermuliakan, mengubah mainan sederhana menjadi simbol status yang mencolok. Labubu dalam konteks tersebut diperlakukan sebagai sebuah aksesori. Membuat dan membeli beberapa aksesori untuk sebuah aksesori merupakan tindakan yang cukup boros, dan hanya akan menambah sampah di masa depan. Obsesi mengikuti tren ini juga menciptakan siklus pengeluaran tanpa pemikiran, di mana orang mengejar apa yang “terbaru” demi menyesuaikan diri atau menonjol. Tren ini dipicu oleh platform media sosial, dan mengingat banyak penggunanya yang muda dan mudah terpengaruh, ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana algoritma media sosial dengan sengaja memperluas jangkauan tren tertentu. Lebih buruk lagi, laporan tentang Labubu yang dicuri menyoroti bagaimana materialisme dapat mendorong orang membuat pilihan yang meragukan!
ADVERTISEMENT
Dengan beberapa aspek ekonomi yang melambat, tampaknya beberapa orang gagal mengelola kebiasaan pengeluaran mereka. Perilaku ini dapat ditelusuri kembali ke "lipstick effect," sebuah konsep di mana orang beralih ke barang-barang mewah kecil yang terjangkau pada masa-masa sulit untuk meningkatkan suasana hati atau rasa status. Bagi banyak orang, boneka Labubu menawarkan bentuk kemewahan yang terjangkau—lebih murah dibandingkan barang-barang mewah seperti tas tangan tetapi tetap menjadi pernyataan tentang kepribadian dan gaya. Tren Labubu semakin diperburuk oleh cara popularitasnya yang tumbuh. Jika seorang selebritas bisa membeli barang ini, maka hal itu menciptakan keinginan bagi orang lain untuk memilikinya juga, didorong oleh ide untuk berbagi gaya hidup dan status mereka. Meskipun ‘lipstick effect’ berakar pada keinginan akan kemewahan yang terjangkau, tren Labubu menunjukkan bagaimana perilaku ini bisa dengan mudah berubah menjadi kebiasaan boros. Gabungan antara pengejaran tren dan konsumerisme ini akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita menyeimbangkan kepuasan dengan kesadaran dalam pilihan pengeluaran kita.
ADVERTISEMENT
Fenomena Labubu ini menunjukkan dampak dari konsumerisme dan pengejaran tren, tetapi juga memberikan kesempatan untuk refleksi dan perubahan. Meskipun mudah untuk terjebak dalam dorongan mengikuti tren terbaru, kita bisa mengalihkan narasi ini ke kebiasan konsumsi yang tidak berlebihan dan lebih sadar. Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus berjuang untuk mendorong fokus kepada ekspresi pribadi, keberlanjutan, dan nilai intrinsik seni! Berinvestasi dalam barang yang memiliki makna pribadi, dan menghindari tekanan untuk terus-menerus membeli barang-barang terbaru bisa membantu memutus siklus konsumsi berlebihan. Kita, sebagai generasi muda, memiliki kekuatan untuk merubah tren ini dengan menolak materialisme demi keaslian dan pembelian yang penuh tujuan!
Mengutamakan keberlanjutan dan memilih kualitas daripada kuantitas bisa mengarah kepada cara yang lebih memuaskan dan ramah lingkungan dalam menikmati barang-barang yang kita cintai. Selain itu, sebagai konsumen, kita bisa mengadvokasi transparansi yang lebih baik dan praktik etis dalam produksi dan penjualan kembali koleksi, mendorong merek dan pengecer untuk mengutamakan keadilan dan aksesibilitas. Pada akhirnya, meskipun tren akan selalu datang dan pergi, kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan kebiasaan konsumsi kita dan membuat pilihan yang lebih bijaksana dan berdampak. Dengan fokus pada apa yang benar-benar memberi nilai dalam hidup kita, kita bisa menciptakan budaya yang mengutamakan makna dibanding status dan keberlanjutan dibanding kelebihan.
ADVERTISEMENT