Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menghirup Aroma Tradisi di Berbagai Negeri
10 Juli 2024 6:31 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Chindy Treisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Percayakah Anda bahwa menjaga beberapa tradisi dapat meningkatkan kualitas hidup kita sebagai seorang manusia?
Setidaknya, begitu yang diyakini oleh para leluhur dari suku nomaden Dukha di Mongolia. Kelompok pengembara di belahan Arktik yang tak hanya sekadar menggembalakan rusa-rusa kutub, tapi sekaligus meletakkan makna alamiah hidup di dalam keseharian mereka.
ADVERTISEMENT
Makna Tradisi
Dalam bahasa Yunani kuno, tradere atau tradisi dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dilakukan terus-menerus dan diturunkan. Pengetahuan luhur yang diwariskan dengan tingkat kemurnian tujuan.
Aliran pengenalan dari seluruh pengetahuan diri yang telah disarikan oleh para nenek moyang. Ibarat menjaga kitab-kitab suci yang harum tulisannya tetap lekang bersahutan di sepanjang peradaban.
Tangan Dingin Orang Mongolia
Kata tradisi yang kini jarang dibubuhi pada tempat-tempat, aktivitas keseharian, serta pola pikir manusia secara nyata. Turunan mutiara keyakinan atas menyatunya jiwa dalam setiap kehadiran di alam semesta. Seperti penduduk suku di pedalaman Taiga yang memahami jika hutan salju, tempat tinggal mereka ini memiliki satu aliran napas dan denyut nadi yang sama.
Yurt, rumah berbentuk tenda khas Mongolia yang tak akan melukai tanah-tanah di bawahnya. Rusa-rusa yang dijaga dengan penuh penghormatan seperti sakral tempat yang disinggahi mereka. Juga anak keturunan yang diajari cara menjaga setiap benda dan makhluk, sebagaimana manfaat dan pengetahuan hidup yang mereka terima.
ADVERTISEMENT
Keajaiban nilai-nilai kebaikan serupa yang ternyata masih dapat kita temui di berbagai belahan dunia.
Hangat Hati Suku ‘Bedouin’
Kisah dari selatan Yordania, Wadi Rum, juga turut menghidupkannya. Sebuah lembah luas berpasir yang menjadi tempat bermukim bagi Bedouin, kaum nomadik yang meyakini bahwa rumah adalah seluruh bentangan pasir di sana. Orang-orang yang berhasil menaklukkan jantung hati sang gurun, dan pengelana yang memiliki nyala hidup seperti di zaman kenabian secara turun-temurun.
Tradisi mempelajari hidup dengan mencintai gurun apa adanya. Menerima anugerah terik dan gersang yang diberikan, serta dingin udara yang menyentuh angka 8⁰ Celcius ketika malam menjelang.
Keluarga yang dikenali cara memelihara unta-unta sebagaimana menjaga separuh penciptaan, serta menyesap hangat teh kayu manis dengan penuh penghayatan. Ilmu menyatukan seluruh jiwa yang bertiup antara gurun pasir bersama semua kehadiran.
Tak pelak, jika nilai-nilai tradisi bukanlah sekadar melakukan semua yang diturunkan di sepanjang perjalanan. Namun, menciptakan suatu kenikmatan penuh kasih sayang Tuhan pada setiap aktivitas yang dihidupkan. Bak berbincang dengan tebaran bintang di sepanjang Laut Merah menuju Aqaba.
ADVERTISEMENT
Tradisi kebahagiaan tak terbilang, seperti puisi-puisi yang diceritakan suku Bedouin di atas bebatuan besar di Jazirah Arab sana.
Menyesap Ketenangan Ala Jepang
Tak jauh berbeda dengan pandangan orang-orang Jepang dalam memandang kehidupan. Tradisi meminum teh yang konon menjadi jalan menuju keseimbangan hidup selaras dengan penyebutannya, sadō atau chadō. Ritual sederhana penuh kelembutan yang telah diturunkan dari generasi di zaman Heian hingga di zaman Edo.
The Way of Tea atau jalan meminum teh yang ternyata memiliki keserupaan dengan seni estetika spiritual pada tradisi Zen. Cara mengenali diri serta seluruh keberadaan dengan menerapkan empat konsep pengajaran. Wa Kei Sei Jaku (harmoni, penghormatan, kemurnian, dan ketenangan hati).
Wa, menjadi satu kesatuan dengan alam di sekitar juga tamu di dalam perjamuan. Kei, menghargai setiap objek, ruangan, lukisan dinding, bunga, taman, dan peralatan yang dipakai dengan rasa penghormatan.
ADVERTISEMENT
Sei, memerhatikan cara tuan rumah membersihkan mangkuk-mangkuk keramik dengan penuh penghayatan, bak memurnikan seluruh aliran pikiran. Jaku, ketenangan hati yang hadir pada orang-orang yang menikmati sajian tehnya.
Tradisi ketekunan menyesap teh berdurasi empat jam yang tak akanlah sia-sia.
Sakral Kunci-Kunci Rumah di Palestina
Meneruskan tradisi bukan hanya tentang mengenali budaya dan unsur-unsur kearifan lokal yang menyertainya. Bak mengunjungi sebuah tempat penuh artefak tanpa menjelajahi setiap sudut di sana. Garis tanah yang tak terlihat, retakan dinding yang terlewat begitu saja, atau frekuensi suara yang tak dikentarai resonansinya.
Singkat kata, tradisi tetap perlu dihidupkan warna serta wanginya. Ibarat nyala api abadi yang selalu dijaga oleh bentangan alam di seluruh rangkai dunia. Tak peduli seberapa banyak tumbuh dan bergantinya suatu peristiwa. Seperti sebuah kisah menakjubkan dari negeri di seberang Laut Mediterania, Palestina.
ADVERTISEMENT
Sejarah generasi mengharu biru membuat hampir setiap anak cucu di sana tetap menjaga tradisi memegang kunci rumah mereka, meski telah lenyap tak bersisa.
Rumah yang mungkin berpuluh tahun lalu dihiasi dengan taman-taman kecil di dalamnya. Sayup suara para orang tua dan anak-anak yang bercengkerama menanti makan malam tiba. Tak lupa, tembok-tembok batu kapur berkesan putih bersih turut meramaikan suasana.
Tampaknya, ini bukan sekadar tradisi mengenang sesuatu yang tak rela ditinggalkan atau sangat dirindukan. Bak rasa manis Qatayef, kudapan manis di pinggiran negeri Syam yang tak ingin dilewatkan.
Mewariskan harta batiniah kehidupan berupa kekuatan dan keteguhan yang menjadi satu sakral tujuan. Anak-anak yang suatu hari akan tumbuh dengan tradisi meneguhkan keberanian dan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Menjaga kunci-kunci rumah sebagai simbol kebaikan tanah yang telah dititipkan Tuhan. Mirip seperti kisah berabad keturunan Bani Syaibah, yang turun-temurun memegang kunci-kunci pintu Ka’bah.
Mlaku Wungkuk dari Tanah Jawa
Pernahkah Anda melihat seseorang berjalan membungkuk ketika melewati orang lainnya? Mlaku Wungkuk, begitu orang-orang asli Jawa menyebutnya.
Tata krama yang sejatinya bukan hanya menjadi suatu budaya, tapi meresap menjadi makna tradisi luhur penghormatan kepada sang pencipta. Sikap menaruh hormat dan merendah kepada orang yang dituakan, alam semesta, manusia, serta keberadaan lainnya.
Tradisi kaya hati yang semestinya tetap diturunkan menjadi laku khazanah kearifan, meski kini sudah jarang ditemukan. Aliran-aliran keilmuan yang telah lahir ketika pulau Jawa masih menjadi bagian dari kejayaan Nusantara.
ADVERTISEMENT
Unggah-ungguh, sikap penghormatan menundukkan badan yang menempatkan keberadaan Tuhan sebagai pemberi napas kehidupan.
Bak para pedagang sutra di Laut Cina atau bahkan para biarawan Katolik Roma, yang merasakan energi dahsyat penyaksian kemasyhuran kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
Benarlah jika setiap tempat memiliki harum pengenalan tradisi yang berbeda-beda. Sentuhan yang mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan jiwa di dalam diri manusia. Begitu pula dengan negara kita. Negeri yang memiliki kuat aroma sejarah, spiritual tradisi, serta adat istiadat di dalamnya.
Namun, tetaplah ada satu titik keindahan yang mampu menyatukan semua. Kemurnian hati untuk menurunkan setiap tradisi yang dimilikinya.