Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Warisan Makna : Laku, Budaya, dan Tradisi Manusia
6 April 2025 9:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Chindy Treisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah Anda pernah melihat seseorang yang dituakan membuka pintu dan jendela di pagi hari? Menyibakkan sebuah kebiasan, yang bukan hanya dilakukan lantara angin segar pegunungan Sewu di sepanjang selatan Jawa masuk melingkupi. Ataupun mengundang sinaran matahari menembus menyelusup dari pohon trembesi di hutan adat Wonosadi.

Keseharian sederhana yang ternyata mengandung makna—pesan kedalaman tak kasat mata yang terpancar dan terasa. Bukan hanya sekadar mempersilakan datangnya perputaran udara. Namun, menandai bahwa inilah pancaran nilai kebaikan tentang bagaimana cara manusia menyambut rasa kebersyukuran.
Merendahkan hati, lakuning bumi yang mendasari sifat dan cara memperlakukan semua realitas yang ditemui. Entah itu pintu, jendela, atau keberadaan objek lain di muka bumi. Ibarat menunjukkan ikatan kepada Tuhan dan tatanan alam semesta yang tak terpisahkan dari keberadaan diri. Warisan luhur budaya yang diturunkan oleh para nenek moyang. Makna yang dilahirkan dari sebuah bentuk kesadaran, meski hanya dari keseharian yang kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Mandi ‘Onsen’ Ala Jepang
Lain halnya dengan negara Jepang yang meyakini keseharian mandi sebagai sebuah kedalaman seni membersihkan diri. Onsen (温泉), tempat yang diyakini mampu mengeluarkan sumber mata air bersifat basa dan panas dari kedalaman bumi. Energi geotermal ‘do’— magma tanah yang tidak hanya dimanfaatkan sebagai media penyegar ragawi, tapi memiliki tingkatan etika pada setiap proses yang dijalani.
Pemandian bernilai estetika tradisi yang tak hanya mengenalkan pada urutan membersihkan tubuh manusia. Onsen yang mengenalkan para penikmatnya untuk mendekatkan diri pada makna membersihkan jiwa. Spiritualitas dari terbentuknya tanah, aliran air pegunungan, serta panas bumi yang dapat dialirkan ke dalam diri manusia. Bak mengalirkan energi rasa penciptaan Tuhan pada setiap tahap yang dilakukan.
Cara membersihkan diri melintasi zaman Edo yang menginspirasi para kaisar Jepang, untuk meyakini onsen sebagai perantara penyembuh fisik serta psikis alami. Sumber pemandian air panas yang tak hanya menarik energi dan mineral bumi, pun mengalirkan makna kausalitas keteraturan hidup yang sejati.
ADVERTISEMENT
Menyapu Energi di Negeri Tiongkok
Di Tiongkok, menyapu bukan hanya sekadar mempertemukan antara alat pembersih dengan kotoran atau debu yang berserakan. Bukan pula hanya bertujuan dalam satu kesepakatan untuk membersihkan dan mengindahkan. Konteks menyapu di setiap bangsa yang pastilah memiliki esensi makna dengan beda pengalaman dan keadaan yang dirasakan. Termasuk negeri Tiongkok yang masih kental dengan ajaran leluhur yang diturunkan.
Masyarakat negeri batu giok yang masih menjadikan energi-energi alam sebagai sumber napas kehidupan. Penerapan energi ‘qi’ (chi) atau Qigong yang menjadi satu kesatuan dengan konseptualisasi perjalanan manusia. Dari mulai kelahiran, adab, dan peradaban yang diwariskannya. Energi pertalian tak hingga yang diyakini keberadaannya. Antara energi langit, bumi (alam), dan diri manusia. Menyapu sembari menikmati terang rembulan, angin di pagi hari, hingga mempelajari fenomena di alam semesta.
Sederhana menyapu, menggerakkan putaran anggota tubuh secara linear ke satu arah yang ditujukan. Perpaduan kuat nilai-nilai kehidupan selaras dengan energi qi yang diseimbangkan. Bak menghiasi sungai panjang Yangtze dengan kapal dan lentera-lentera saat senja naik ke permukaan. Gerakan berulang yang mengandung kelembutan sekaligus kekuatan, dalam irama napas keteraturan.
ADVERTISEMENT
Meminum Kehangatan Hati Penduduk Turki
Berbeda dengan Turki, sebuah negara yang berada di antara Semenanjung Anatolia dan persimpangan Balkan benua Eropa. Secangkir teh—‘ҫay’ menjadi budaya keakraban bagi para penduduk yang tinggal di sana. Tanah empat musim yang memaknai sajian secangkir teh lebih dari sekadar mengajak dan memperkenalkan rasa. Makna menghadirkan hangat tradisi menyapa jiwa—kedalaman diri manusia dalam analogi teh yang dituangkannya.
Kebiasaan turun-temurun yang diilustrasikan indah dalam laku dan adab menghormati setiap manusia yang singgah, meski bukanlah kerabat atau saudara. “Merhaba!” sapaan yang kerap dilontarkan ramah oleh para penduduk serta pedagang, kepada pejalan yang melewati mereka. Tak segan mempersilakan, sembari bergegas menyiapkan teko bertingkat khas Turki berisi teh yang sudah dipanaskan.
Bercengkerama dan menyapa seakan menjadi panganan utama yang disajikan dalam kehangatan hati orang-orang di sana. Ibarat menjaga aroma kebersamaan yang dituangkan, dalam simbolisasi secangkir teh beserta hidangan manis kunafa.
ADVERTISEMENT
Krama Duduk Khas Masyarakat Jawa
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Sebuah pepatah Jawa yang mengenalkan manusia untuk mengalami hadirnya realitas kehidupan. Laku ilmu yang datang dari pengajaran para leluhur dan nenek moyang. Bergerak untuk mengalami meski dari sederhana keseharian yang dilakukan. Ibarat duduk memandangi Gunung Merapi dari kejauhan. Tak hanya menikmati keindahan, tapi meresapi makna kehadirannya sebagai sakral cipta pusat keseimbangan.
Serupa dengan laku duduk di dalam keseharian masyarakat Jawa. Patrape Linggih—sikap selaras dengan adab duduk yang menjadi perilaku alamiah pada kehidupan manusia. Tingkat peletakan krama bahasa yang diberikan sesuai penempatan posisi duduk yang ditunjukkan.
Misalnya, pada sikap duduk dari seorang dalang atau pasindhian (pesinden) dalam suatu pagelaran wayang. Letak penempatan tangan dan kaki yang akanlah berbeda. Menyesuaikan lakon atau peranan dari setiap pemainnya.
ADVERTISEMENT
Pesinden dalam sikap duduk timpuh (bersimpuh) dengan kedua kaki dilipat ke belakang. Sedangkan dalang akan menunjukkan sikap duduk sila tumpang, yakni duduk bersila dengan salah satu kaki dinaikkan ke atas paha pada kaki yang lainnya.
Krama duduk bernapaskan tradisi yang tak sekadar menyamankan. Namun, menjadi lelaku—sikap spiritualitas yang akan mengantarkan pemahaman manusia pada kehadiran Tuhan. Duduk yang akan membukakan jalan pada tingkatan-tingkatan pengertian. Kerendahan hati dengan tersentuhnya kaki ke bumi, hingga menjadi tanda kesantunan dan penghormatan pada sang pencipta diri.
Setiap wilayah dan negeri yang sama menyisipkan khazanah diri, pada budaya serta tradisi yang dimiliki. Manusia yang tak hanya meninggalkan harta untuk diwarisi. Makhluk cipta kosmik yang akan selalu dilingkupi makna, pada tempat di mana pun ia berdiri.
ADVERTISEMENT