Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Hari Gini Dengar Musik Analog?
3 November 2023 19:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, apa yang istimewa dari musik analog? Pertanyaan ini sering dialamatkan oleh teman-teman penikmat musik dalam format digital, kepada saya yang selama setahun terakhir ini mencoba menikmati kembali musik dalam format analog.
ADVERTISEMENT
Saya ingat, sampai kelas 3 SD pada 2006-2007, saya masih sempat memutar-mutar kaset pita di walkman yang saya dapatkan sebagai hadiah undian di event kabupaten. Tak lama setelah itu, pada proses yang seakan saya tidak sadari, tiba-tiba saja saya sudah lebih sering memutar VCD/DVD di rumah. Tidak hanya suara, tapi kali ini ada visualnya juga. Tiap kali punya uang jajan lebih, VCD/DVD pun berada di daftar teratas barang yang harus saya beli.
Lalu pada tahun 2009-2010, tiba-tiba saja saya sudah membuat akun facebook, memainkan gim Counter-Strike, dan menonton rekaman konser melalui YouTube di warnet. Mungkin ini bukan gambaran yang utuh—apalagi efektif mengenai transisi dari era kaset pita ke VCD dan lalu ke digital atau era internet.
ADVERTISEMENT
Karena saya yakin, transisi semacam ini bisa mengambil rentang waktu yang berbeda di tempat lain. Tergantung seberapa cepat teknologi merambat ke tempat-tempat tersebut, misalnya. Atau, tergantung pada kemampuan masyarakat mengakses teknologi tersebut, dan seterusnya.
Tahun 2006 ke 2009. Dari walkman ke YouTube. That’s my point! Saya hidup di masa transisi, dari musik analog ke digital. Namun, musik analog yang saya dengarkan pada saat itu hanya sebatas kaset pita yang diputar pakai walkman. Kasetnya bisa saja bajakan, dan walkman-nya hanya produksi dalam negeri yang murah-meriah. Sederhananya, saya tidak mengalami sepenuhnya masa-masa musik analog itu. Itulah kenapa saya menulis miring kata ‘kembali’ di paragraf pertama.
Lalu perihal tanya tentang keistimewaan musik analog. Tidak hanya teman-teman saya yang mengajukan pertanyaan ini. Saya juga tak henti-hentinya melemparkan pertanyaan serupa pada diri saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai penikmat musik analog, saya harus akui betapa tak mudahnya menjawab pertanyaan semacam ini. Apalagi jika si penanya punya tendensi untuk membuat saya merasa tidak nyaman dengan pilihan saya bermain analog. Tendensi yang juga membuat saya reaksioner lantas mengajukan daftar kenikmatan-kenikmatan yang didapat dari musik format analog tapi tidak dari format digital.
Faktanya, menghadap-hadapkan format analog dengan format digital tak pernah semudah itu. Misalnya, mengatakan bahwa pemutar musik analog di masa lalu jauh lebih bagus dibanding dengan yang ada sekarang.
Hal ini problematis, karena perusahan-perusahan produsen pemutar musik di masa-masa sebelumnya nyatanya masih terus berinovasi dan memproduksi pemutar musik yang kian canggih. Sesuatu yang barangkali didambakan saat pemutar musik masih sesederhana di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, mengatakan pemutar musik zaman bahela lebih bagus adalah sebentuk penyangkalan kita pada pesatnya kemajuan yang telah menggilas kita dan cara kita menikmati musik. Saya setuju soal pesatnya kemajuan yang menggilas rasa, tapi tidak sepenuhnya setuju dengan kualitas yang menurun.
Soal kualitas audio yang dihasilkan oleh perangkat analog dengan format digital juga tidak selalu bisa diandalkan sebagai argumen. Pasalnya, kualitas audio ini ditentukan oleh beberapa faktor. Bukan hanya persoalan kualitas rekaman yang tersimpan dalam rilisan fisik, tapi juga kualitas pemutar yang digunakan. Mulai dari player, kabel, hingga amplifier dan speaker-nya.
Agak gimana gitu kalau seorang penikmat analog, misalnya, mengatakan bahwa ia mendengarkan musik dengan kualitas audio yang jauh lebih bagus ketimbang temannya yang mendengarkan musik di Spotify, kalau ia hanya mengandalkan tape deck merk JVC yang head-nya sudah diganti dengan head Polytron karatan, sementara temannya penikmat digital itu memutar musik dari Spotify yang kemudian disambungkan ke speaker merk Mashall seharga nyaris sepuluh juta.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang istimewa dari analog?
Bagi saya, keistimewaan itu jelas ada dan akan selalu ada. Dari bebunyian instrumen yang kedengaran sangat hidup dan nyata, narasi utuh yang selalu menyertai setiap rilisan, bentuk fisik yang memberi kepuasan sekaligus dorongan untuk apresiasi, serta hal-hal lain yang mungkin sulit dibahasakan.
Kendati demikian, hal-hal ini bukan untuk dibanding-bandingkan dengan musik format digital yang ada saat ini. Menurut saya, musik kiwari bisa saja menghadirkan kembali pengalaman-pengalaman analog ini meski dapat dipastikan pengalaman tersebut akan berbeda.
Jadi, kalau ada yang nanya kenapa saya main analog, ya karena saya pengen. Lagipula, kenapa tidak? Ada pengalaman dalam bermain analog yang saya tidak bisa dapatkan dari mendengarkan musik dalam format digital. Pun demikian sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Namun, pengalaman main analog jadi lebih berharga, karena di sana ada an effort that I enjoy doing it buat menggali lagi musik-musik dari era lampau yang sudah tergilas zaman. Pengetahuan musik saya juga jadi terasah, dan saya punya literasi awal yang mumpuni untuk memahami dan menikmati musik hari ini.