Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Usang Sebelum Berkembang
11 Desember 2023 9:34 WIB
Diperbarui 2 Januari 2024 7:09 WIB
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana hak asasi manusia (HAM) di Indonesia adalah barang usang. Saya mengajukan dua (iya, dua saja, tidak usah banyak-banyak) alasan untuk pernyataan ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, wacana HAM sedemikian jauh dari masyarakat. Ketika bicara hak, masyarakat kita nyaris selalu menyandingkannya dengan kewajiban dalam konteks horizontal. Hak ada karena ada kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban ada karena ada hak yang akan dinikmati setelah pemenuhan kewajiban. Cara pandang ini terbawa pula dalam pemahaman HAM.
Misalnya, hak hidup. Hak ini tak boleh dikurangi dalam situasi apa pun (non-derogable right). Tak boleh dirampas dengan alasan apa pun. Tapi, hukuman mati masih diberlakukan.
"Kalau tak mau hak hidupmu dirampas, jangan rampas hak hidup orang lain." demikian pembenaran dari masyarakat berdasar pola pikir kemelekatan hak dengan kewajiban itu. Merampas hak hidup yang dimaksud contohnya dengan membunuh atau mengedarkan narkoba atau bentuk-bentuk kejahatan lain yang secara langsung maupun tidak bisa menghilangkan nyawa orang lain.
ADVERTISEMENT
Adapun negara biasanya berdalih bahwa hukuman mati efektif mengurangi angka kejahatan. Klaim yang tak dibarengi dengan bukti. Faktanya, kejahatan tidak berkurang dengan hukuman mati yang problematis itu. Di bidang kejahatan seksual dan korupsi misalnya. Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hukuman mati pada terpidana kejahatan seksual dan korupsi tidak mengurangi angka kejahatan-kejahatan tersebut. Atau setidak-tidaknya, pemerintah tidak bisa menyediakan bukti ilmiah keterkaitan hukuman mati dengan pengurangan angka kejahatan.
Dalam wacana HAM, hukuman mati sepatutnya dilihat sebagai jalan pintas yang diambil dan dipertahankan oleh negara karena kegagalannya melindungi warga negara.
Dalam wacana HAM, negara adalah pemangku kewajiban (duty bearer) sedang warga negara adalah pemangku hak (rights holder). Kejahatan-kejahatan yang diganjar oleh hukuman mati adalah kejahatan yang terjadi sebab negara tak mampu (dan tak mau!) memenuhi hak-hak asasi warga negaranya: pendidikan, kesehatan, hidup yang layak, pekerjaan, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dengan pemahaman tersebut, dakwaan kemarahan dan ketakpuasan harusnya ditujukan kepada negara, bukan kepada sesama warga negara. Apa mau dikata, pemahaman ihwal hak dan kewajiban yang mainstream itu masih susah lepas dari pikiran kita. Kewajiban yang harusnya dipenuhi negara malah dipandang sebagai kewajiban warga negara agar bisa memeroleh haknya: bekerja agar hidup layak, sekolah agar bekerja, sehat agar bisa sekolah, makan bergizi supaya bisa sehat, dan seterusnya.
Lalu Dora the Explorer pun bertanya, "Apa kalian melihat negara sedang melaksanakan kewajibannya? Di mana?" yang lalu ia jawab sendiri, "Sama, aku juga tidak melihatnya."
***
Hal-hal yang saya uraikan di atas menunjukkan bahwa wacana HAM masih begitu jauh dari pemahaman keseharian masyarakat. Saya tidak hendak mencari-cari siapa yang salah. Karena sudah jelas yang salah adalah negara. Kalaupun ada pihak lain yang layak disalahkan, tetap saja bobot kesalahan negara akan lebih besar.
ADVERTISEMENT
Kita belum melihat HAM diintegrasikan secara serius dalam penyelenggaraan negara. Sebaliknya, wacana HAM masih kerap dituduh macam-macam seolah ia kuda troya yang membawa petaka tersembunyi. Sebut saja kebangkitan komunisme atau penyusupan imperialisme barat yang sering disebut-sebut punya agenda terselubung di balik wacana HAM. Hahaha, gokil cum sentimentil. Alhasil, masyarakat kita jadi punya semacam alergi kala membicarakan isu-isu HAM.
Penjabaran alasan pertama agaknya sudah kepanjangan. Mari ke alasan kedua: HAM yang laris manis dalam pasar jual-beli isu jelang pemilu membuat masyarakat skeptis terhadap tema-tema perjuangan HAM.
Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tak kunjung selesai. Kronologinya dibiarkan jadi misteri yang membuat masyarakat terpolarisasi. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa kini juga dibiarkan mandek. Dianggap sebagai kewajaran oleh masyarakat yang dibodohkan. Eh, jelang pemilu, isu-isu HAM justru laris diperdagangkan. Ada yang buat mendongkrak elektabilitas sendiri, ada yang buat menjatuhkan elektabilitas lawan. Tidak kurang dan tidak lebih. Soal esensi, mana ada yang paham.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, masyarakat jadi bodo amat dengan isu-isu HAM. “Itu cuma mainan politik.” kata mereka menyimpulkan. Skeptisisme tersebut barangkali bagus kalau dimaknai sebagai kecurigaan pada janji-janji politisi. Sayangnya, skeptisisme itu kadung meluas. Tidak hanya politisi, aktivis HAM pun bisa "kena rujak" ketika mendengungkan isu HAM di masa-masa jelang pemilu. Isu yang padahal sudah diadvokasi mati-matian jauh sebelum rezim bakal berganti.
Bicara HAM jelang pemilu seringkali dituduh hendak menjatuhkan salah satu kandidat, dan dengan demikian hendak memenangkan kandidat lain. Belum lagi kalau tuduhan itu diperparah oleh kandidat yang pura-pura berdiri sebagai pendukung dari perbincangan HAM itu, hanya karena ia tahu bahwa perbincangan tersebut berpotensi menjatuhkan lawan politiknya.
Sebaliknya, bagi kandidat yang merasa tersentil—dan akan jatuh elektabilitasnya, akibat pembicaraan HAM itu hampir pasti bakal menyerang wacana HAM tersebut serta orang-orang yang mendengungkannya. Hal ini, lagi-lagi jadi penghambat bagi upaya penyebaran pemahaman HAM itu sendiri, sekaligus menambah skeptisisme masyarakat pada wacana HAM.
ADVERTISEMENT
Kondisi skeptisisme semacam ini dapat dikatakan sudah berada pada tahap kronis. Masyarakat ogah-ogahan belajar dan memahami HAM. Jadilah pelanggaran HAM di mana-mana, tanpa ada tuntutan dan perlawanan berarti dari masyarakat. Jadilah wacana HAM sebagai sesuatu yang usang, bahkan sebelum ia berkembang.