Konten dari Pengguna

RUU Penyiaran: Membebaskan atau Membungkam?

Christian Imanuel Siboro
Mahasiswa Fakuktas Hukum USU.
30 September 2024 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christian Imanuel Siboro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
canva
zoom-in-whitePerbesar
canva
ADVERTISEMENT
Masih hangat dalam benak mengenai wacana pengesahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penyiaran yang cukup kontroversial. Hal ini sontak menggetarkan telinga masyarakat serta menimbulkan perdebatan yang cukup pelik dikalangan akademisi. Bagaimana tidak, RUU yang dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa adanya pemberitahuan pada masyarakat secara mendadak memiliki draf dan siap untuk segera disahkan. Wacana ini sudah direncanakan dari beberapa tahun ke belakang oleh Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) pada tahun 2012/2013, meskipun pembahasannya terhenti pada tahun 2020. RUU Penyiaran timbul sebagai usaha pemerintah untuk memperbaiki kelemahan dari aspek hukum penyiaran dalam UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Titik persoalan dalam hal ini bukan boleh atau tidaknya sebuah produk hukum untuk dirubah, tetapi sejauh mana perubahan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT

Niat Tersembunyi

Beragam pertanyaan muncul di tengah masyarakat. Mengapa RUU Penyiaran ini harus diselesaikan sebelum tanggal 30 September nanti? Mengapa harus sebelum pergantian kekuasaan? Apakah sebegitu perlunya? Adakah maksud tersembunyi? Kekhawatiran ini bukanlah tidak berdasar. Jika kita perhatikan, draf RUU ini berkontradiksi dengan semangat kebebasan pers. Dimulai dari ketentuan pada Pasal 50B Ayat (2) Huruf (c) yang melarang penayangan larangan jurnal investigasi. Ketentuan ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dimana seharusnya pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Bahkan, pada ayat pertama dikatakan bahwa kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi. Keduanya terkesan tidak sinkron, padahal dengan adanya jurnalistik investigasi tersebut akan membantu pihak kepolisian ataupun penegak hukum lainnya untuk mencari, memperoleh maupun menemukan bukti untuk membuat terang suatu perkara.
ADVERTISEMENT
Peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dianggap sepele. Peradaban manusia turut dipengaruhi oleh keterbukaan informasi dari pers yang kemudian menginisiasi kemajuan berpikir masyarakat. Voltaire salah seorang filsuf Perancis menekankan pentingnya kebebasan Individu dan kebebasan pers. Namun, kini jantung dari jurnalistik tersebut justru dikekang melalui RUU penyiaran tersebut dan kebebasan berekspresi dibatasi. Hal ini tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan Indonesia di awal. Immanuel Kant berpendapat bahwa kemerdekaan adalah mampu bertindak menurut hukum yang rasional dan terhindar dari pengaruh yang tidak rasional. ssss

Lembaga Superpower

Salah satu masalah lain dalam draf RUU penyiaran adalah dalam pasal 8A ayat (1) Huruf (q) yaitu, pemberian kewenangan penyelesaian sengketa jurnalistik kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini pun bertentangan dengan Kewenangan salah satu lembaga negara yaitu Dewan Pers yang telah ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Ada beberapa alasan kenapa kewenangan tersebut tidak cocok diberikan kepada KPI. Diantaranya, kewenangan dan fokus antara KPI dan Dewan Pers jelas berbeda, belum lagi soal kompetensi para anggota lembaga tersebut. Pemberian kewenangan ini juga akan membatasi dan mengekang kebebasan pers yang telah diamanatkan dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan KPI sendiri hanya mengatur dan mengawasi terkait hal penyiaran sesuai dengan nama komisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 34F ayat (2) mengatakan bahwa setiap konten siaran pun harus terlebih dahulu mendapat verifikasi dari KPI Sebelum menayangkan kontennya dan hal ini disamakan dengan Siaran televisi dan radio. Jelas pengaturan ini membingungkan kita semua, pertama, kita bertanya-tanya kenapa harus KPI yg terlebih dahulu mengesahkan? Belum lagi logika antara siaran di televisi dan konten Siaran tidak bisa disamakan. Dalam pasal 1 angka (2) mengatakan bahwa “Penyiaran adalah suatu kegiatan atau tindakan mentransmisikan sinyal siaran dengan menggunakan bagian dari spektrum frekuensi radio melalui transmisi terestrial, kabel, satelit, internet, atau sistem transmisi lainnya, atau dengan menggunakan spektrum elektromagnetik lainnya “. Kata lainnya sangat ambigu dan liar sekali jika dimaknai. Tetapi, jika hal tersebut coba dimaknai maka yang dimaksud mungkin saja adalah konten siaran seperti youtube, instagram, net-flix, amazon, dll. Jika ini memang benar terjadi maka hal ini akan berpengaruh besar kepada kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia. KPI nantinya akan menjadi sangat superpower jika mendapat kewenangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentu jika kita melihat dampak negatif dari akan diterapkannya kewenangan tersebut kepada KPI, kita bertanya-tanya mampukah KPI untuk menganulir itu semua nantinya? Terlebih seperti yang kita ketahui bahwa setiap hari penyiaran baik televisi maupun radio senantiasa berjalan, belum lagi jumlah konten kreator yang tak sedikit jumlahnya. Sementara jika kita melihat dalam UU No. 32 Tahun 2002 bahwa jumlah anggota KPI pusat hanyalah 9 orang dan KPI daerah sejumlah 5 orang. Ini akan menciptakan sistem birokrasi yang makin berbelit, belum lagi akan bertambahnya beban negara. Sebaiknya APBN dipergunakan untuk hal-hal fundamental seperti meningkatkan kecerdasan anak muda di Indonesia melalui penyediaan fasilitas pendidikan yang layak, maupun menyejahterakan masyarakat terpinggirkan di Indonesia. Belum lagi dengan adanya ketentuan pasal 34F tersebut masyarakat akan kesulitan mendapatkan informasi yang cepat dan faktual. Karena bisa saja ada unsur politis untuk menghentikan penayangan beberapa kasus seperti kasus korupsi oleh pejabat negara misalkan. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa anggota KPI terpilih melalui proses politis pula melalui DPR.
ADVERTISEMENT
Beberapa ketentuan atau standar yang ditetapkan untuk penyiaran di Indonesia pada draf RUU tersebut juga sangat absurd . Seperti dalam ketentuan pasal 50B ayat (2) melarang konten siaran yang ada unsur alkohol atau judi, dan juga pelarangan penayangan tokoh atau profesi yang memiliki gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat. Pertanyaannya kenapa itu dilarang? Orang yang menonton tersebut pastilah setidaknya memiliki akal sehat dan mampu mempertimbangkan yang mana yang baik dan yang tidak. kedua, dalam setiap karya seperti film misalnya, pasti ada tokoh yang baik atau tokoh antagonis untuk membuat karya tersebut menarik dan menghibur penontonnya. Apalagi dalam konsep dunia hiburan. Jelas pasal ini sangat-sangat karet dan tidak ada batasan yang jelas didalamnya. Dalam pasal yang sama pun melarang penayangan yang berisikan unsur-unsur kekerasan dan hal-hal mistik dan pengobatan supranatural. Apakah ini berarti bahwa film laga di Indonesia tidak akan diizinkan lagi? Atau film-film seperti pertempuran pahlawan di masa kemerdekaan tidak akan diizinkan lagi?. Tidak ada batasan yang jelas yang dibuat pembuat RUU tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejatinya tidak ada yang salah dari perubahan suatu undang-undang. Undang-undang adalah hukum yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur ketertiban antar sesama masyarakat dalam menjalankan suatu hubungan. Dan hukum selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat seperti yang pernah dikatakan Oleh seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Satjipto Rahardjo. Namun, perubahan itu sendiri haruslah berpihak kepada masyarakat. Bahkan dalam perubahan-perubahan tersebut sebaiknya jangan hanya berisi larangan-larangan saja tetapi juga berisi ketentuan - ketentuan yang membuat masyarakat semakin kreatif dan semakin bisa berkembang dalam kehidupannya. John Locke berpendapat bahwa “hukum diciptakan untuk melindungi hak-hak alamiah yang dimiliki setiap individu dan memastikan keadilan di masyarakat.”
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum USU