Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Militer
10 Desember 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Cica Angkara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh:Cica Angkara, Universitas Sriwijaya
Keterlibatan perempuan dalam strategi militer
Peran wanita sebagai kombatan dalam strategi perang telah mengalami perubahan signifikan seiring waktu. Awalnya, wanita dipandang sebagai kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan selama konflik bersenjata, namun kini, mereka juga diakui sebagai aktor strategis dengan kontribusi penting dalam perang dan keamanan. Peran ini mencerminkan perubahan paradigma dari korban menjadi pelaku aktif yang dapat memengaruhi dinamika konflik maupun perdamaian.
ADVERTISEMENT
Dalam konflik bersenjata, wanita sering kali menjadi simbol kehormatan dan sasaran kekerasan seksual. Perang Dunia II, genosida Rwanda, hingga konflik di Republik Demokratik Kongo menjadi bukti nyata bagaimana kekerasan terhadap wanita sering digunakan sebagai senjata perang. Perlindungan terhadap mereka telah diupayakan melalui instrumen hukum internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 dan berbagai deklarasi PBB. Namun, perlindungan ini tidak selalu berjalan efektif di lapangan, terutama dalam menghadapi kelompok ekstremis dan teroris.
Pada saat yang sama, kesetaraan gender dan emansipasi telah membuka jalan bagi wanita untuk bergabung sebagai kombatan di militer dan kelompok bersenjata lainnya. Ini mencerminkan perubahan persepsi bahwa perang bukanlah domain eksklusif pria. Negara-negara seperti Korea Utara, Tiongkok, dan bahkan Pakistan telah membuka ruang bagi wanita dalam kemiliteran. Namun, keterlibatan mereka sering diwarnai dilema—antara mengadopsi nilai-nilai maskulin militer atau mempertahankan ciri khas feminin yang dapat berkontribusi unik dalam operasi militer.
Dalam strategi perang, wanita memainkan peran penting dalam dua elemen utama, yakni means (sumber daya) dan ways (cara). Sebagai sumber daya, mereka adalah aset yang dapat meningkatkan daya tahan dan kapasitas militer suatu negara. Misalnya, wanita memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi elemen strategis seperti kondisi lingkungan (heaven dan earth menurut Sun Tzu), yang berguna untuk perencanaan perang. Selain itu, sensitivitas dan pendekatan kolaboratif mereka dapat membantu membangun moral law dalam pasukan.
ADVERTISEMENT
Dalam elemen ways, wanita menawarkan pendekatan unik terhadap penyelesaian konflik. Kombatan wanita sering lebih cenderung mengeksplorasi opsi kerja sama atau mediasi, dibandingkan pendekatan konfrontasional yang sering diambil pria. Pendekatan ini sejalan dengan kontribusi mereka dalam mendorong perdamaian pascakonflik, sebagaimana ditunjukkan oleh gerakan wanita Liberia yang berhasil mendorong proses damai dan pemilihan demokratis setelah perang sipil.
Keterlibatan wanita sebagai kombatan juga memunculkan pertanyaan tentang dinamika gender di medan perang. Ada pandangan bahwa wanita perlu menyesuaikan diri dengan norma maskulinitas militer untuk diterima, sementara yang lain menekankan bahwa karakteristik feminin dapat menjadi keunggulan kompetitif. Sejarah mencatat nama-nama seperti Lyudmila Pavlichenko, penembak jitu Uni Soviet, yang menunjukkan kemampuan luar biasa dalam operasi militer.
ADVERTISEMENT
Namun, di banyak negara, hambatan struktural masih membatasi peran wanita dalam kemiliteran, terutama untuk posisi kepemimpinan. Misalnya, akses wanita ke akademi militer baru dibuka di beberapa negara berkembang dalam dua dekade terakhir. Kuota keanggotaan dan diskriminasi terselubung menjadi tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan kesetaraan gender di sektor ini.
Wanita sebagai kombatan bukan hanya simbol emansipasi, tetapi juga aset strategis dalam perang modern. Dalam skenario tertentu, keberadaan mereka dapat memengaruhi hasil konflik, baik melalui keahlian militer langsung maupun melalui pengaruh mereka terhadap moral dan opini publik. Selain itu, wanita juga sering dimanfaatkan oleh kelompok teroris dan ekstremis sebagai martir atau agen propaganda, yang mencerminkan pentingnya posisi mereka dalam taktik perang non-konvensional.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari strategi perang, wanita memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan. Namun, ini membutuhkan pelatihan yang setara dengan pria serta perlindungan hak asasi mereka, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual. Dalam hal ini, komunitas internasional memiliki peran besar untuk memastikan bahwa wanita yang terlibat dalam perang tetap memiliki hak dan perlindungan yang sama.
Mengapa Peran Wanita Penting?
Wanita tidak lagi bisa dianggap hanya sebagai korban dalam konflik bersenjata. Mereka adalah bagian integral dari upaya pertahanan dan keamanan, yang mampu menggabungkan perspektif humanis dan keahlian teknis dalam strategi militer. Namun, pengakuan terhadap peran mereka harus melampaui simbolisme. Negara-negara harus memastikan bahwa wanita mendapatkan akses penuh ke pelatihan, sumber daya, dan peluang karier dalam kemiliteran.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan wanita juga mencerminkan komitmen terhadap kesetaraan gender yang sejati. Sebagaimana dikatakan dalam Piagam PBB, "kesetaraan antara pria dan wanita adalah dasar perdamaian dan keamanan." Dengan memperluas peran wanita di medan perang dan menjaga hak mereka, kita tidak hanya menciptakan militer yang lebih inklusif, tetapi juga meningkatkan kapasitas pertahanan secara keseluruhan. Dunia modern membutuhkan strategi yang melibatkan semua potensi manusia, termasuk kontribusi wanita sebagai kombatan yang setara.
Wanita sebagai kombatan dalam strategi perang mencerminkan transformasi sosial dan nilai kesetaraan gender. Mereka adalah bagian dari sumber daya strategis yang penting, baik dalam peran langsung di medan perang maupun dalam mendukung proses perdamaian. Dengan pelatihan yang tepat dan kebijakan yang inklusif, wanita dapat memberikan kontribusi yang tak ternilai dalam melindungi kedaulatan negara sekaligus memperjuangkan perdamaian global.
ADVERTISEMENT
Daftar pustaka
Alain-Guy Tachou-Sipowo, “The Security Council on women in the war: between peacebuilding and humanitarian protection”, International Review of the Red Cross, Vol. 92, No. 877, 2010, hlm. 205— 206.
Austrian Development Cooperation. 2009. “Focus: Women, Gender and Armed Forces. Vienna: Austrian Development Cooperation”. October.
Cassandra K. Shepherd, op.cit., hlm. 58—59.
Matondang, E. (2020). WANITA DALAM STRATEGI PERANG: TINJAUAN EMANSIPASI DAN PERLINDUNGAN WANITA. Jurnal Pertahanan dan Bela negara, Vol 10, No 2 . https://jurnal.idu.ac.id/index.php/JPBH/article/view/878/JPBHV10N2A6N
Fitri Bintang Timur, “The Tales of the Three Asian Countries: How Indonesia, India, and the Philippines Recruited Women for UN Peacekeeping Missions”, Global, Vol. 18, No. 1, 2016, hlm. 55—56.
International Committee and the Red Cross. 2003. Women and War: Special Report. Maret.
ADVERTISEMENT
Joyce P. Kaufmann dan Kristen P. Williams, Women at War, Women Building Peace: Challenging Gender Norms, (Boulder: Kumarian Press, 2013), hlm. 1.