Konten dari Pengguna

Hanan Attaki, Baiat, dan Peta Pemikiran-Pergerakan Islam di Indonesia

Cindy Muspratomo
Penulis lepas, bookstagrammer, dan pemilik lapak haka bookstore
19 Mei 2023 14:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Muspratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ustaz Hanan Attaki, populer di kalangan anak muda. Foto: Instagram @Hanan_Attaki
zoom-in-whitePerbesar
Ustaz Hanan Attaki, populer di kalangan anak muda. Foto: Instagram @Hanan_Attaki
ADVERTISEMENT
Kabar baiat Ustaz Hanan Attaki saya terima dari video yang dikirim seorang kawan jelang tengah malam pada tanggal 11 Mei lalu. Saya sudah tidur dan baru melihatnya keesokan hari. Meskipun video itu terang benderang baik gambarnya maupun suaranya, tapi saya tidak langsung percaya.
ADVERTISEMENT
Saya langsung memeriksa info tersebut di internet, dan ternyata benar. Setelahnya, selama beberapa hari berita itu jadi perbincangan hangat di media.
Beberapa kalangan Nahdliyin menyambut baiat Hanan Attaki dengan suka cita seperti menyambut hari raya. Hal itu dianggap sebagai bentuk kemenangan kelompok tradisionalis-moderat atas kelompok konservatif-radikal.
Di lain pihak, beberapa kalangan mengkritisi baiat tersebut. Di antara yang dipermasalahkan adalah kalimat syahadat yang diucapkan di awal proses baiat. Mereka mempertanyakan mengapa sampai harus bersyahadat ulang? Padahal Hanan Attaki sudah Islam dari dulu.
Selain itu, mereka juga menganggap poin ikrar setia pada NKRI dalam baiat tersebut berlebihan, seakan-akan Hanan Attaki adalah sosok yang merusak persatuan.

Dinamika Pemikiran Islam di Indonesia

Ustaz Hanan Attaki menimba ilmu dari KH. Marzuqi Mustamar, ulama NU di Jawa Timur. Foto: Instagram @Hanan_Attaki
Satu hal yang meski kita pahami, peristiwa baiat Hanan Attaki merupakan bagian dari dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Tentu sudah kita ketahui, di Indonesia terdapat berbagai pemikiran Islam yang berbeda. Perbedaan itu tidak bisa kita lepaskan dari sejarah masuknya Islam ke Nusantara.
ADVERTISEMENT
Mengutip penjelasan Syekh Abdul Fadhal Senori Tuban dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-‘Asyrah, pada era Wali Songo—kira-kira abad 14 dan 15—Islam dikembangkan dengan prinsip Mauizhah yang baik, dakwah penuh hikmah, dan akhlakul karimah.
Selain itu satu prinsip penting yang dipegang adalah al-muhafazhatu alal-qadimish shalih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah yang dapat diartikan "memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik".
Dari fakta tersebut, kita bisa simpulkan bagaimana corak pemikiran Islam pada masa itu, yakni moderat dan akomodatif. Pada abad ke-17 corak pemikiran Islam dapat kita lihat dari kitab-kitab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang kental dengan ajaran Wahdatul Wujud.
Ajaran ini kemudian mendapat pertentangan dari Nuruddin ar-Raniri. Pertentangan tersebut menyebabkan perdebatan pemikiran yang cukup panas hingga akhirnya dicari titik temunya oleh Syekh Abdur Rauf as-Singkili.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-18 dan ke-19, pemikiran Islam di Nusantara bertumbuh amat pesat dengan munculnya sosok seperti Abdus Samad al-Palimbani, Arsyad al-banjari, Nawawi al-Bantani, Mahfuz Termas, Soleh Darat, dan lain sebagainya. Sosok-sosok ulama Nusantara ini merupakan bagian dari jejaring pemikir Islam dunia. Pada zaman itu, Nusantara menjadi salah satu wilayah penting pemikiran Islam di dunia
Perkembangan pemikiran Islam kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya seperti Syekh Kholil Bangkalan, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Hasyim Asy'ari.
Hingga abad ke-19, dapat dikatakan corak pemikiran Islam di Indonesia masih homogen dan berkelanjutan. Hal itu tidak lain terjadi karena pemikiran-pemikiran Islam selalu dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Munculnya Kelompok Modernis

Dinamika pemikiran Islam ini kemudian menjadi kompleks di akhir abad ke-19 dengan munculnya "modernisasi dan reformasi islam". Beberapa pelajar Nusantara yang belajar di Timur Tengah membawa ide-ide Wahabiyah yang berkembang di Makkah masa itu, juga ide-ide pembaharuan lain yang berasal dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha ke Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Pembaharuan ini kemudian berkembang di Nusantara hampir tanpa kendala berarti. Ekspansi pembaharuan itu membawa ide-ide seperti pemurnian (menolak taklid, bid’ah, khurafat, dan takhayul), menyeru umat kembali ke Al-Qur'an dan hadis, juga mengadopsi pendidikan barat (Eropa) untuk memajukan umat.
Tidak hanya bergerak dalam bidang sosial keagamaan, beberapa kelompok pembaharu ini juga menginisiasi gerakan politik yang bercita-cita menegakkan khilafah.
Sementara itu kelompok-kelompok lama "kaum tradisionalis" yang berpusat di pesantren-pesantren kemudian merespons pemikiran modernisme itu dan mengonsolidasi diri dalam organisasi Nahdlatul Ulama.

Peta Gerakan Islam di Indonesia

Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar saat baiat NU Ustadz Hanan Attaki di Pesantren Sabilurrosyad Gasek, Malang, Kamis (11/05/2023). Foto: Moch Miftachur Rizki/NU
Dinamika pemikiran Islam yang terjadi pada akhir abad ke-19 melahirkan gerakan-gerakan Islam yang berbeda. Jika kita perhatikan, perbedaan gerakan-gerakan Islam tersebut disebabkan karena perbedaan pandangan keagamaan dan pandangan politik.
ADVERTISEMENT
Dalam hal perbedaan pandangan keagamaan misalnya, kita bisa letakkan di satu sisi kelompok tradisionalis yang melanjutkan pemikiran Islam dari masa ke masa. Kelompok ini cenderung menerima tradisi-tradisi keagamaan baru, serta inklusif, dan akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal.
Di sisi lain adalah kelompok yang menganggap tradisi keagamaan baru sebagai bid’ah. Mereka cenderung tidak akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal.
Sementara itu, dalam urusan perbedaan politik, di Indonesia terdapat dua kelompok berbeda. Pertama kelompok formalistik yang menganggap Islam sebagai ideologi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, kelompok ini berjuang memformalkan hukum Islam secara kaffah, baik dalam hal akidah, syariat maupun etika moral. Tidak heran jika cita-cita utama kelompok ini adalah mendirikan khilafah.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah kelompok moderat yang menganggap Islam sebagai sumber etika dan moral dan sedapat mungkin mengintegralkan beberapa syariat agama dalam sistem nasional.
Kelompok ini menganggap dalam Al-Qur'an dan hadis tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Umat Islam boleh mendirikan sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat dan zamannya.
Kelompok moderat menerima formalisasi syariat Islam selama dalam batas-batas yang berkaitan dengan wilayah publik, bukan wilayah privat. Menurut kelompok moderat, substansi ajaran Islam lebih penting dibanding formalisasi simbol-simbolnya saja. Bagi mereka penegakkan Islam sebagai ideologi negara rawan disalahgunakan untuk menyerang kelompok-kelompok yang berbeda.
Nah, kembali ke baiat Hanan Attaki. Bagi kalangan Nahdliyin Hanan Attaki tergolong sosok yang berada pada sisi yang pertama. Secara keagamaan tidak akomodatif terhadap budaya lokal dan tradisi keagamaan baru, dan secara politik digolongkan dalam kelompok yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
ADVERTISEMENT
Tidak heran jika pengajian Hanan Attaki ditolak di beberapa wilayah dengan basis Nahdlatul Ulama (NU) yang kuat karena dianggap berseberangan dan mengancam. Meskipun secara idealis K.H. Anwar Zahid menyebut masuknya Hanan Attaki tidak membuat NU untung, dan ketika tidak masuk pun NU tidak rugi.
Tetapi menurut saya pribadi, secara pragmatis baiat Ustaz Hanan Attaki menguntungkan bagi NU. Namun, apa pun itu, baiat Hanan Attaki dan respons-respons umat Islam di media sosial setelahnya menunjukkan dinamika pemikiran antara Islam tradisionalis dan Islam modernis terus terjadi.
Satu hal penting yang harus kita pahami, kita tidak perlu berburuk sangka dengan menganggap pengkotak-kotakan Islam dalam kelompok-kelompok tertentu terjadi akibat intervensi rezim atau pihak-pihak di luar Islam, tetapi memang murni lahir sebagai konsekuensi dari dinamika pemikiran Islam yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT