Konten dari Pengguna

Muka Baru, Gaya Lama: Hantu Feodalisme dalam Pendidikan Indonesia

Cipta Sajati
Suka berbagi cerita-cerita unik di balik sebuah peristiwa sejarah. Bekerja sebagai pengajar pada SMAN 52Jakarta
3 Desember 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Empty Chairs in Theater Photo by Nathan Dumlao on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Empty Chairs in Theater Photo by Nathan Dumlao on Unsplash
ADVERTISEMENT

Permasalahan dalam dunia pendidikan Indonesia seolah tak pernah habis dibahas. Diskusi-diskusi kritis, baik lisan maupun tulisan, terus bermunculan, menggali berbagai isu yang melilit sistem pendidikan kita. Saking banyaknya masalah yang ada, sering kali kita bingung harus mulai dari mana untuk memperbaikinya. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mengurai atau memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut, melainkan mencoba menambah sudut pandang tentang kompleksitas pendidikan Indonesia yang hingga kini belum jelas kapan akan benar-benar terurai.

Progres dan Realita Pendidikan Indonesia

Dalam perjalanannya, pendidikan Indonesia telah menunjukkan beberapa pencapaian yang patut diapresiasi. Berbagai aspek kehidupan masyarakat mulai menunjukkan kemajuan berkat kontribusi individu-individu yang terdidik melalui sistem pendidikan nasional. Namun, di balik progres tersebut, selalu ada tantangan baru yang muncul, terutama dengan hadirnya perubahan kebijakan setiap kali berganti menteri pendidikan.
ADVERTISEMENT
Salah satu perubahan besar terjadi saat pandemi COVID-19 melanda. Krisis global ini memunculkan berbagai permasalahan yang tak terduga, seperti ancaman learning loss yang mengganggu keberlangsungan pendidikan. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah meluncurkan Kurikulum Merdeka, sebuah upaya untuk memberikan ruang belajar yang berdiferensiasi dan mendorong setiap peserta didik mencapai cita-citanya.
Namun, meskipun setiap kurikulum baru dirancang dengan tujuan mulia, kenyataannya kebijakan ini sering dianggap tidak efektif. Mengapa demikian? Salah satu alasan utamanya adalah adanya hambatan laten dalam sistem pendidikan kita: praktik feodalisme yang mengakar kuat dan dilakukan secara terstruktur.

Feodalisme dalam Pendidikan

Pendidikan sejatinya merupakan ruang egaliter yang membuka pikiran dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Namun, pada praktiknya, feodalisme justru menjadi penghalang utama. Pola pikir dan sikap feodal, baik dari para pendidik maupun pihak penyelenggara pendidikan, telah menciptakan sekat yang mempersempit ruang untuk inovasi dan keterbukaan.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk feodalisme terlihat pada pola pikir sebagian guru. Contohnya, ketika kebijakan baru seperti Kurikulum Merdeka diluncurkan, banyak guru yang dengan cepat menolaknya tanpa memahami esensinya. Mereka cenderung berpikir, “Ah, ini sama saja,” atau “Saya sudah tahu semua ini.” Sikap seperti ini muncul karena selama ini mereka berada dalam budaya yang mengutamakan senioritas. Semakin lama pengalaman dan semakin tinggi pangkat seseorang, semakin sulit bagi mereka menerima perubahan, terutama jika informasi atau ide baru datang dari pihak yang dianggap "hijau" dalam dunia pendidikan.
Sikap menutup diri ini akhirnya berdampak pada proses pembelajaran di kelas. Guru yang merasa "paling tahu" sering kali enggan menerima masukan dari peserta didik yang kritis atau memiliki pengetahuan lebih luas. Akibatnya, peserta didik dianggap kurang ajar atau tidak menghormati guru. Sikap seperti ini merugikan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang seharusnya membuka jalan bagi generasi muda untuk berpikir lebih sistematis dan kritis.
ADVERTISEMENT

Feodalisme Struktural

Namun, feodalisme ini tidak muncul begitu saja. Guru juga menjadi korban praktik feodalisme yang terstruktur dalam sistem pendidikan kita. Secara hierarkis, guru sering kali dianggap sebagai pihak paling bawah yang harus patuh pada kepala sekolah, pengawas, atau dinas tanpa boleh mengkritisi. Selain itu, guru kerap dibebani tugas-tugas tambahan di luar perannya sebagai pendidik, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas pengajaran.
Tekanan ini membuat guru yang menjadi korban sering kali melampiaskan frustrasinya dalam lingkungan sekolah, baik kepada peserta didik maupun rekan guru lainnya. Lingkaran feodalisme ini terus berlanjut, menciptakan suasana pendidikan yang semakin jauh dari nilai-nilai egaliter.

Menghancurkan Feodalisme untuk Masa Depan Pendidikan

Silhouette of People Standing on Hill Photo by Baim Hanif on Unsplash
Feodalisme dalam pendidikan bukan hanya menghambat inovasi, tetapi juga membentuk pola pikir masyarakat yang sulit menerima perbedaan. Ketika seseorang merasa "tahu segalanya," maka ide-ide baru akan langsung ditolak. Inilah akar masalah yang membuat perubahan sulit terjadi. Padahal, para pendiri bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, sejak awal abad ke-20 telah berupaya meruntuhkan pola pikir feodal ini demi menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan progresif.
ADVERTISEMENT
Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, seharusnya diposisikan sebagai mitra sejajar oleh pihak-pihak di atasnya. Jika guru dihormati dan didukung, maka potensi mereka untuk menciptakan pembelajaran yang inovatif dan bermakna akan semakin besar. Menghapus praktik feodalisme, baik dalam pola pikir maupun struktur pendidikan, adalah langkah awal yang harus diambil untuk memajukan pendidikan Indonesia.
Pada akhirnya, membongkar hantu feodalisme dalam pendidikan bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan keberanian, kerja sama, dan komitmen dari semua pihak untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, terbuka, dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa: mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa.