Konten Media Partner

Komisi III DPRD soal Gapura Taman Pataraksa Cirebon Ambruk: Semua Salah, Lalai

11 Januari 2024 19:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gapura tradisional di Taman Pataraksa Kabupaten Cirebon yang ambruk. Foto: Tarjoni/Ciremaitoday
zoom-in-whitePerbesar
Gapura tradisional di Taman Pataraksa Kabupaten Cirebon yang ambruk. Foto: Tarjoni/Ciremaitoday
ADVERTISEMENT
Ciremaitoday.com, Cirebon-Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon, Yoga Setiawan, menyebut semua pihak bersalah atas kejadian ambruknya gapura tradisional di Taman Pataraksa termasuk pihaknya di DPRD. Hal ini disampaikan Yoga, sebagai tanggapan atas pernyataan Bupati Cirebon.
ADVERTISEMENT
"Salah kabeh (semua), DLH salah, konsultan salah. Kita (DPRD) juga salah," ujar Yoga saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (11/1).
Kendati demikian Yoga enggan berkomentar lebih lanjut terkait dugaan adanya indikasi keterlibatan anggota dewan, seperti yang disebutkan bupati.
"Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh. Kalau soal itu sih. Itu kan hanya menduga-duga," ucapnya.
"Kalau masih dugaan-dugaan, kita kesampingkan saja dulu. Kita benahi sama-sama dari semua sisi. Dibenahi lagi," sambungnya.
Menurut politisi Hanura itu, ambruknya Gapura Taman Pataraksa dapat dilihat dari dua sisi. Pertama soal pengawasannya dan kedua soal perencanaan dari tim teknis.
Kata dia, seluruh dinas yang mengerjakan pekerjaan sipil, biasanya minim orang teknis. Karena orang teknisnya itu kumpul di DPUTR. Seyogyanya seluruh pembangunan sipil diharuskan adanya rekomendasi dari DPUTR dulu. Kontruksi yang dihasilkan oleh dinas lain pastinya berbeda dengan kontruksi dari DPUTR.
ADVERTISEMENT
Yoga mencontohkan, misalnya seperti di Disdik, DLH serta dinas yang menyelenggarakan pekerjaan fisik. Itu harusnya mendapatkan persetujuan dulu dari DPUTR, supaya jelas. Komposisinya.
"Orang meraciknya harus yang kompeten. Seperti DLH, itu kan kaitannya dengan lingkungan hidup. Walaupun mereka sebagai pengguna anggaran, tapi apakah ada orang teknisnya? Kan nggak ada," tandasnya.
Yang ada, lanjut dia, hanya dari konsultan. Harusnya, konsultan bisa tukar pikiran, berkonsultasi dengan orang dinas DPUTR.
Ia mengaku akan menyampaikan kepada bupati, ke depan harus ada persetujuan PU terlebih dulu seandainya ada hubungannya dengan proyek pekerjaan fisik yang membutuhkan anggaran besar.
"Mereka harus tau juga. Dinas paling teknis ya DPUTR dong. Kalau misalkan DLH, Disdik maupun Disperindag, emang mereka punya orang teknis. Kan nggak. Makanya dari segi administrasi juga harus dibereskan. Jadi ini dibilang kelalaian, ya kelalaian bersama," terangnya.
ADVERTISEMENT
"Karena dari dasarnya sudah nggak beres. Kecuali dalam kenyataannya itu DLH sudah mengantongi persetujuan dari DPUTR kemudian bangunan yang dihasilkan ambruk. Nah ini dipertanyakan," sambungnya.
Kalau yang terjadi sekarang di Pataraksa, saat dikonfirmasi ke DPUTR, apakah ada persetujuan dari DPUTR, ternyata tidak ada.
Kemudian, proyek strategis yang nilainya di atas Rp 2 miliar wajib ada pendampingan dari Aparat Penegak Hukum (APH). Meskipun tidak ada aturan baku, minimal ketika ada pendampingan dari APH penyedia jasa agak segan. Artinya, tidak asal-asalan mengerjakan pekerjaannya, karena diawasi.
"Ini harus diatur detail juga terkait pendampingan. Bila perlu diwajibkan. Nanti kita sebagai anggota DPRD akan mendorong untuk dibuatkan regulasinya," katanya.
"Jadi ada dua ya. Pertama soal administrasi kaitan dengan bangunan sipil ini harus ada rekomendasi dari PU. Kedua wajib ada pendampingan APH. Kalau proyek strategisnya itu nilai anggarannya di atas Rp2 miliar," katanya.
ADVERTISEMENT
Ia khawatir, ketika dua hal itu tidak dilakukan, ke depan kejadian serupa akan terjadi. Benang merahnya kata dia, wajib ditarik.
"Kalau bicara siapa salah? Siapa lalai? Salah semuanya. Lalai semua," tukasnya.
"Karena perencanaan tidak ditempuh dengan baik. DLH salah. Kita (DPRD) ya salah. Pokoknya salah kabeh (semua)" lanjutnya.
Lebih jauh, Yoga pun mengaku berani membeberkan, pekerjaan fisik yang ada pendampingan dari APH, semuanya tidak ada temuan, maupun tragedi yang membuat gempar, karena semua dipantau.
Jadi statement Bupati terkait kekhawatirannya dengan kualitas pekerjaan fisik yang ada di daerah yang jauh dari jangkauan umum, bisa dihapus kalau proyek strategisnya itu didampingi APH.
Ia pun mengusulkan pendampingannya itu total. Tidak tebang pilih atau sekadar formalitas. Asalkan, nilai anggaran di atas Rp 2 sampai Rp 3 miliar diharuskan untuk adanya pendampingan.
ADVERTISEMENT
"Jadi kembali lagi kalau nggak dilakukan pendampingan, ya leha-leha. Bukan tidak mungkin apa yang dikatakan bupati, benar adanya. Tapi beda cerita kalau ada pendampingan," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Bupati Cirebon, Imron, menegaskan agar kasus ambruknya gapura tradisional di Alun-alun Taman Pataraksa diusut tuntas, karena diduga ada anggota dewan yang terlibat di belakangnya. Apalagi proses pelaksanaan proyek taman miliaran rupiah itu tidak melibatkan unsur aparat penegak hukum (APH) sebagai pendamping.
"Sebagai bupati, saya sangat kecewa. Ini tamparan bagi pemerintah daerah. Kok bisa-bisanya, proyek di depan kantor bupati, DPRD, dan Kejaksaan serta instansi lainnya roboh. Ini pemborong mikir ga?" ujar Imron, kepada wartawan di Kantor DPRD Kabupaten Cirebon, Rabu (10/1).(*)