Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Pangan 2024: Indonesia Perlu Solusi Nyata, Bukan Sekadar Wacana
2 Desember 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari D AN Devina Putri Anjani 162 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang berada di titik kritis dalam menghadapi masalah pangan. Cuaca ekstrem yang kerap tak terduga telah menghancurkan sebagian besar hasil panen. Tanaman utama seperti padi, jagung, dan sayuran mengalami penurunan produktivitas drastis. Namun, bukan hanya alam yang menjadi biang keladi. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan komersial seperti mal, perumahan, dan pabrik juga berkontribusi signifikan terhadap menurunnya luas lahan produktif. Akibatnya, ketergantungan pada impor pangan meningkat tajam.
ADVERTISEMENT
Meskipun pemerintah telah mencoba mendorong diversifikasi pangan dengan alternatif seperti jagung, sagu, ubi, dan sukun, respons masyarakat masih minim. Mengubah kebiasaan makan yang sudah berakar puluhan tahun jelas bukan hal yang mudah. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan intensif melalui edukasi dan kemudahan akses terhadap produk-produk alternatif tersebut.
Langkah nyata lain yang dicanangkan pemerintah adalah Program Percepatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI). Program ini bertujuan memperbaiki sistem irigasi di daerah-daerah rawan kekeringan. Di atas kertas, ini tampak menjanjikan. Namun, implementasi di lapangan sering terkendala masalah teknis dan birokrasi, sehingga manfaatnya belum optimal dirasakan oleh petani.
Selain itu, pemerintah bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) terus berupaya menjaga stabilitas harga pangan. Sayangnya, harga di pasar masih fluktuatif. Biaya distribusi yang tinggi dan ketidakseimbangan antara daerah penghasil dan konsumen menjadi kendala yang sulit dipecahkan. Di satu sisi, petani sering merugi karena harga jual hasil panen terlalu rendah. Di sisi lain, konsumen di kota besar harus membayar mahal untuk produk yang sama.
ADVERTISEMENT
Solusi jangka panjang seperti pengembangan pertanian organik dan ekowisata juga dicanangkan. Pertanian organik dianggap sebagai model ideal untuk menciptakan ketahanan pangan berkelanjutan. Namun, proses transisinya menuntut biaya besar, waktu panjang, serta komitmen yang tidak semua petani mampu lakukan. Sementara itu, ekowisata sebagai strategi meningkatkan pendapatan petani terdengar menjanjikan, tetapi realisasinya masih jauh dari cukup untuk mengatasi persoalan pangan secara menyeluruh.
Masalah mendasar lainnya adalah buruknya infrastruktur pendukung di wilayah pedesaan. Jalan desa yang rusak dan minimnya akses pasar membuat distribusi hasil panen tidak merata. Daerah penghasil pangan sering mengalami surplus yang tidak terserap, sementara daerah kekurangan hanya bisa menunggu pasokan yang kerap datang terlambat.
Krisis pangan ini adalah persoalan besar yang tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pemerintah harus lebih serius dalam mempercepat perbaikan infrastruktur, memastikan kebijakan pangan yang adil, dan mendukung inovasi di sektor pertanian. Sektor swasta juga harus berperan aktif, bukan hanya mencari keuntungan, tetapi juga mendukung petani melalui investasi dan transfer teknologi.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sebagai konsumen akhir juga punya peran penting. Mulai dari mendukung diversifikasi pangan, mengurangi ketergantungan pada impor, hingga memilih produk lokal yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan tidak boleh hanya menjadi slogan. Ini adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan aksi nyata. Dengan kerja sama semua pihak, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengatasi krisis ini dan memastikan masa depan pangan yang lebih baik untuk semua.