Konten dari Pengguna

Makna Halal Bihalal dan Gaya Kepemimpinan Mas Lindra, Bupati Tuban

DADANG BUDI SETIAWAN
ASN pada Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Tuban
9 April 2025 8:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DADANG BUDI SETIAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mas Lindra saat halal bihalal
zoom-in-whitePerbesar
Mas Lindra saat halal bihalal
ADVERTISEMENT
Halal bihalal merupakan tradisi khas Indonesia yang tumbuh subur di kalangan masyarakat Muslim sebagai wujud silaturahmi pasca-Idulfitri. Istilah ini berasal dari kata Arab halal, yang berarti “diperbolehkan” atau “menjadi halal”. Dalam konteks sosial, istilah ini dimaknai sebagai upaya saling memaafkan dan menghalalkan kesalahan satu sama lain setelah melewati bulan suci Ramadan. Meski tidak memiliki landasan langsung dalam syariat Islam, tradisi ini telah menjadi bagian integral dari budaya sosial Indonesia.
ADVERTISEMENT
KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, dalam salah satu artikelnya di NU Online, menyebut bahwa pada masa awal kemerdekaan, halal bihalal menjadi sarana strategis untuk menyelesaikan konflik dan mempererat persatuan di antara anak bangsa. Tradisi ini menjadi ruang dialog, rekonsiliasi, dan penguatan kohesi sosial.
Secara historis, istilah halal bihalal mulai populer pada tahun 1948, ketika KH Abdul Wahab Hasbullah—tokoh pendiri Nahdlatul Ulama—mengusulkan kegiatan silaturahmi nasional dengan nama tersebut kepada Presiden Soekarno. Gagasan itu lahir dari kegelisahan melihat elite politik yang saling bersitegang. Maka, halal bihalal hadir sebagai jembatan komunikasi dan harmonisasi antar pemimpin.
Namun, jejak lebih awal tentang tradisi ini ditemukan dalam Majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 5 tahun 1924. dilansir di suaramuhamamdiyah.id, dalam tulisan seorang warga Muhammadiyah asal Gombong bernama Rachmad, disebut istilah chalal bil chalal sebagai sarana silaturahmi untuk menyatukan perbedaan dalam keluarga maupun masyarakat. Edisi menjelang Idulfitri tahun 1926 juga memuat iklan bertema serupa, menunjukkan bahwa tradisi ini telah dikenal dan dipraktikkan sejak awal abad ke-20.
akrab
Kini, makna halal bihalal terus berkembang. Tidak hanya berlangsung dalam lingkup keluarga atau komunitas, tetapi juga diadopsi oleh institusi pemerintahan sebagai sarana mempererat hubungan antara pemimpin dan rakyat. Contoh menarik datang dari Bupati Tuban, Aditya Halindra Faridzky beserta jajaran Pemkab Tuban yang rutin menggelar halal bihalal bersama Aparatur serta instansi dan mengadakan open house bagi masyarakat setelah Idulfitri.
ADVERTISEMENT
Acara halal bihalal yang digelar dalam suasana hangat dan penuh keakraban tersebut menjadi momen penting dalam memperkuat jalinan sosial di lingkungan pemerintahan Kabupaten Tuban. Dalam sambutannya, Bupati yang akrab disapa Mas Lindra ini menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada seluruh tamu undangan. Ia menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin atas nama pribadi, keluarga, dan Pemerintah Kabupaten Tuban, sembari berharap agar Idulfitri menjadi awal baru yang membawa keberkahan serta semangat tulus dalam mengabdi dan bekerja. Menurutnya, kegiatan halal bihalal tidak hanya sebagai wujud syukur, tetapi juga sebagai momentum strategis untuk memperkuat sinergi lintas sektor demi mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Mas Lindra juga menekankan bahwa keberhasilan pembangunan di Tuban merupakan hasil kolaborasi antara berbagai elemen—pemerintah, TNI/Polri, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat. Ia meyakini, semangat gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan yang terbangun lewat kegiatan seperti ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan pemerintahan yang inklusif dan responsif. Apalagi, halal bihalal digelar tepat di hari pertama masuk kerja pasca-Idulfitri, sebagai penanda semangat baru dalam menjalankan roda pemerintahan dengan lebih solid, berintegritas, dan berorientasi pada pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Kegiatan ini tidak hanya menjadi seremoni rutin, melainkan juga merefleksikan nilai-nilai kepemimpinan humanis. Dalam interaksi dengan aparatur pemerintah dan stakeholder terkait, halal bihalal menjadi ajang memperkuat relasi kerja yang didasari semangat kolaboratif dan saling menghargai. Kehadiran pemimpin yang turut berjabat tangan dan berbincang akrab dengan bawahannya membangun kepercayaan serta memperkuat loyalitas dalam tim birokrasi.
Sementara itu, kegiatan open house bersama masyarakat menegaskan bahwa kepemimpinan tidak hanya bersifat top-down, melainkan partisipatif dan terbuka. Bupati Halindra, dengan menyambut langsung warganya, mendengarkan aspirasi secara personal, serta menunjukkan empati, mencerminkan gaya kepemimpinan yang inklusif. Ini menjadi perwujudan nyata dari komunikasi dua arah antara pemimpin dan masyarakat, di mana rakyat tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek yang didengar dan dihargai.
Sinergi
Dari perspektif ilmu komunikasi, kegiatan ini dapat dibaca melalui teori komunikasi interpersonal dan komunikasi simbolik. Interaksi tatap muka dalam halal bihalal membuka ruang empati dan keintiman sosial yang sulit dicapai melalui kebijakan formal semata. Secara simbolik, berjabat tangan, senyum, dan sapaan hangat menyampaikan pesan-pesan moral, keterbukaan, dan ketulusan—yang sering kali lebih bermakna dibanding retorika resmi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, halal bihalal yang dilakukan oleh Bupati Tuban menjadi contoh konkret bagaimana tradisi lokal dapat diangkat menjadi instrumen strategis dalam membangun kepemimpinan yang efektif dan diterima luas. Lebih dari sekadar seremoni, halal bihalal merupakan media komunikasi sosial yang mempererat jejaring antarindividu, memperkuat identitas kolektif, serta menjaga integritas dan legitimasi institusi pemerintahan.